Tepat setelah Gus Yahya Cholil Staquf diumumkan sebagai Ketua terpilih Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) hasil Muktamar NU di Lampung, saya teringat dengan forum dialog yang terselenggara atas kerjasama KBRI London, Gusdurian UK dan PCINU United Kingdom.
Pada 25 Desember 2020, kami menyelenggarakan agenda diskusi “Diplomasi Gus Dur”. Saya mengajak KBRI London untuk membahas tema besar ini, sebagai pintu masuk untuk mengomando ‘diplomasi ala NU’, yang sudah disegarkan oleh Kiai Abdurrahman Wahid.
Pada waktu itu, Duta Besar RI di London, Dr. Desra Percaya sangat antusias dan mendukung penuh program ini. Juga, jajaran tim KBRI London memback-up penuh agenda ini dengan baik. Selain Gus Yahya dan Pak Desra Percaya, kami mengajak Pak H.E Hartyo Harkomoyo (Counsellor Pensosbud KBRI London) dan Mas Choirul Anam (PPI Dunia) sebagai narasumber.
Sekitar satu bulan sebelumnya, saya kontak tim KBRI London untuk menyampaikan usulan agenda ini, sekaligus briefing singkat untuk memetakan tujuan dan strategi teknisnya. Saya siapkan TOR sebagai konsep program, sekaligus target-target yang mungkin bisa tercapai. Ini tentu saja, sejalan dengan beberapa perbincangan personal saya dengan Gus Yahya, maupun ketika berdialog dalam forum-forum yang diselenggarakan jaringan PCINU lintas negara.
Enam bulan sebelum agenda diskusi itu, saya mulai menyiapkan draft buku ‘Diplomasi Gus Dur’. Esai-esai ringkasnya sudah saya publikasikan pelan-pelan di Alif.id dan jaringan website lain. Saya anggap agenda diskusi mengundang Gus Yahya dan Pak Desra Percaya untuk menguatkan fondasi gagasan atas buku itu.
Saya mengajak Rahma Arifa, mahasiswa LSE London & kader PCINU UK, untuk memandu diskusi ini. Rahma Arifa merupakan coordinator Gusdurian UK, yang selain cerdas, juga bekerja sangat rapi. Ia memahami betul alur diskusi, sekaligus menyegarkan ruang-ruang diskusi dengan pertanyaan yang tajam.
Saya menikmati kolaborasi ini, karena bertemu dengan orang-orang yang professional di bidangnya. Kerja dengan teman-teman diplomat yang terbiasa dengan sistem kerja intensitas tinggi ini enak sekali: thas-thes, sat-set, sekaligus rapi dan terkoordinasi. Saya belajar banyak dari teman-teman diplomat senior ini, dalam hal merapikan gagasan dan mengkonsolidasi program.
Kepada Gus Yahya saya sampaikan rencana agenda ini, sekaligus menyampaikan tujuan jangka panjangnya. Beliau langsung setuju untuk menjadi narasumber, dan memberikan beberapa arahan khusus terkait tema. Saya jelaskan, bagaimana pentingnya agar jaringan PCINU melanjutkan mimpi-mimpi Gus Dur, dengan kerja yang terkoordinasi serta program yang terkonsolidasi. Dan ketika itu, Gus Yahya menyampaikan panjang sekali terkait rumusan diplomasi internasional Gus Dur.
Gus Yahya menyampaikan fondasi apa saja yang melatarbelakangi diplomasi Gus Dur. Ada banyak kisah bagaimana Gus Yahya memandang dan memaknai zig-zag dan strategi Gus Dur dalam berdiplomasi.
Bahkan, Gus Yahya menyampaikan bahwa PCINU punya potensi sebagai ‘Emissary’ NU di level internasional. Artinya, diaspora-diaspora Santri yang berkhidmah di PCINU, bisa secara resmi diangkat sebagai ‘Duta Besar’ atau ‘Utusan Khusus’ NU di negara-negara masing-masing. Tentu saja, gagasan ini sangat menarik. Dan Insya Allah, akan semakin relevan dan menemukan signifikansinya ketika Gus Yahya terpilih menjadi Ketua Umum PBNU.
Bagaimana mekanismenya PCINU menjadi Emissary NU? Ya, nanti kita kawal bersama-sama. Saya yakin Gus Yahya sudah memikirkan secara detail, tinggal mendorong dalam mekanisme organisasi perihal ini. Saya menuliskan gagasan PCINU sebagai Emissary di website NU Online (5 Januari 2022).
Dubes RI di London, Pak Desra Percaya berkisah tidak kalah unik. Ketika beliau bertugas sebagai diplomat yunior di New York, beliau mengawal sebuah pertemuan bergengsi antara Gus Dur dengan beberapa pemimpin negara lain.
Pak Desra ditugaskan sebagai notulen untuk mengawal meeting ini, sekaligus merapikan pointers sebagai laporan. Karena ini pertemuan di New York, tentu saja Pak Desra Percaya meyakini meeting akan dilangsungkan dalam bahasa Inggris.
Gus Dur membuka pertemuan dengan bahasa Inggris yang fasih. Dan setelah 1-2 menit membuka, Gus Dur melanjutkan pidato dalam bahasa Arab. Sontak saja, diplomat yunior yang ditugaskan menjadi notulen ini keluar keringat dingin. Sudah persiapan bahasa Inggris, tapi ternyata yang muncul Bahasa Arab. Hehehe.
Singkat cerita, diskusi ‘Diplomasi Gus Dur’ yang kami gelar pada 25 Desember 2020 itu berlangsung lancar. Bisa dikatakan sukses, kami tujuan dan target-target yang kami rancang tercapai.
Tujuan menengahnya, saya ingin merekatkan PBNU-KBRI London dan PCINU UK juga networking di Westminster, dalam satu tarikan program. Ini tentu saja membutuhkan dukungan dari banyak pihak, sekaligus ketajaman visi dan energi untuk menuntaskan gagasan agar menjadi program jangka Panjang.
Sekitar 2 minggu setelah agenda ini, saya mendapatkan pesan singkat di WA. “Wir, aku butuh ngomong karo Pak Desra”, demikian pesan ini. Siapa yang mengirim? Gus Yahya C Staquf.
Mendapat perintah ini, saya langsung gerak cepat untuk kontak tim KBRI London. Dalam waktu singkat, meeting terbatas digelar antara Gus Yahya, KBRI London dan jaringan Westminster. Saya lega sekali.
Tujuan menengah tercapai. Setidaknya sinyal dan lampu hijau dari Westminster sudah kami menyala. Gus Dur sebagai wasilahnya. Setahun yang lalu, Gus Yahya sudah benar-benar menghidupkan Gus Dur. Kini, setelah Gus Yahya terpilih sebagai Ketua Umum PBNU, menghidupkan Gus Dur bukan lagi angan-angan semata, namun sebagai kerja Bersama yang nyata adanya (*).