Sedang Membaca
Diaspora Santri: Masjid-Masjid NU di Lintas Negara
Munawir Aziz
Penulis Kolom

Kolumnis dan Peneliti, meriset kajian Tionghoa Nusantara dan Antisemitisme di Asia Tenggara. Kini sedang belajar bahasa Ibrani untuk studi lanjutan. Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom.

Diaspora Santri: Masjid-Masjid NU di Lintas Negara

Selama ini, diaspora santri yang tersebar di berbagai negara tidak hanya berkumpul secara organisasi di PCINU semata. Mereka juga berkhidmah di komunitas-komunitas pengajian di beberapa kawasan. Komunitas muslim yang menggerakkan pengajian ini, merupakan ruang dakwah diaspora santri yang tersebar di beberapa negara.

Memang, bagi teman-teman santri yang tinggal di negara-negara muslim, berdakwah atau mengikuti agenda keislaman itu hal yang biasa. Bagi santri di Mesir misalnya, terbuka lebar kesempatan untuk mengaji dengan Syaikh-Syaikh al-Azhar dengan berbagai macam spesialisasi keilmuan agama. Bahkan, secara spesifik, juga mengaji rutin untuk memperdalam ilmu di luar jadwal kampus. Sejauh perjalanan keilmuan teman-teman santri di Mesir, sistem dan infrastruktur untuk menebarkan Islam sebagai agama yang penuh rahmah menjadi lempang.

Bahkan, tidak hanya di Mesir, kawan-kawan santri di Sudan, Maroko, Lebanon, Libia, Jordania hingga Arab Saudi juga menikmati petualangan ilmu dengan mengikuti halaqah, pengajian dan simaan dengan Syaikh-Syaikh di masing-masing negara. Sungguh petualangan ilmu yang menyegarkan, menantang sejauh mana fokus, ketersediaan waktu dan juga energi.

Akan tetapi, bagi teman-teman diaspora santri yang tinggal di negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Australia, Jepang dan Korea Selatan, menggerakkan dakwah Islam itu bukan perkara sederhana. Butuh perjuangan besar, energi berlipat dan keberanian untuk menegakkan panji-panji dakwah seiring waktu berjalan.

Di satu sisi, menjadi minoritas muslim di negara-negara sekuler itu bukan perkara gampang. Meski secara mayoritas, negara-negara demokratis menjamin hak-hak dan kebebasan beragama, tapi kebutuhan untuk menegakkan Islam dalam konteks dakwah terbuka menjadi tidak mudah.

Baca juga:  Film, Sastra, dan Sains

Bayang-bayang hukum negara begitu ketat. Di negara-negara Eropa, adzan di masjid sangat dibatasi, tidak boleh disiarkan dengan speaker secara luas. Argumentasinya, hal itu bisa jadi mengganggu orang lain. Dan, jika terkait ketertiban umum, negara hadir dengan hukum dan undang-undang yang berlaku.

Bahkan, urusan membangun rumah ibadah juga harus sesuai dengan hukum negara masing-masing. Di Inggris misalnya, ada sejumlah syarat untuk mendirikan rumah ibadah. Misalnya, lokasi bangunan, desain, anggaran dana, hingga komite yang harus disiapkan

Di sisi lain, ‘penyakit’ Islamophobia masih menjadi bagian dari interaksi/komunikasi warga yang seolah mengendap di alam bawah sadar. Ada semacam keanehan melihat atribut-atribut agama dikenakan di ruang publik. Meski ini sangat subyektif dan parsial, tapi kasus-kasus Islamophobia masih sering kita baca di media.

Saya sendiri pernah mengalami perisakan dari seseorang, sesaat ketika saya berangkat Shalat Jumat ke Masjid Bashir Ahmad Southampton. Masjid ini dikelola oleh pengusaha British-Pakistan yang sukses dengan beberapa waralaba kuliner. Waktu itu, selepas memarkir mobil di kawasan Portswood Southampton Inggris, saya bergegas memakai paci dan menyelempangkan sajadah. Seketika, ada seseorang–warga lokal–yang memaki saya karena pakaian yang saya kenakan. Makian itu tentu tidak pantas saya tuliskan di sini.

Mengingat waktu itu, saya ingin balas memaki juga. Tapi, niatan naif itu segera saya urungkan mengingat saya udah berwudlu, bersiap shalat, memakai busana muslim rapi-berpeci. Jadi, tak perlu saya balas makian dengan makian. Cukup saya tanggapi dengan melempar senyuman. Saya husnudzzon itu hanya personal, dan hanya karena informasi yang salah tentang Islam, sehingga membentuk perspektif negatif.

Baca juga:  95 Tahun Nahdlatul Ulama: Bagaimana Menggerakkan Diaspora Santri?

Nah, melihat dua dimensi di atas: role of law dari pemerintah setempat dan penyakit Islamophobia yang masih mengendap di memori sebagian warga Inggris dan juga Eropa.

Dakwah Masjid Nahdliyyin

Di negara-negara sekuler, saya ingin menyebut dakwah penting bagi teman-teman diaspora santri yang penting: jihad membangun masjid. Saat ini, teman-teman santri dan jaringan PCINU sedang berjuang membangun masjid serta cultural center. Di antaranya di Belgia, Jepang, dan Korea Selatan.

Di Belgia, komunitas santri yang dikomando Kiai Bahtiar dan Gus Ayang Utriza Yakin serta lintas komunitas, sedang berjuang membangun masjid dan pusat kebudayaan: Nusantara Cultural Center (NCC). Pendirian masjid Indonesia di Belgia di bawah koordinasi organisasi nirlaba Nusantara Cultural Center, yang sebelumnya bernama Yayasan Keluarga Pengajian Muslim Indonesia (KPMI).

Rencananya, bangunan masjid akan berlokasi di kawasan Sterrebeek, Zaventeem. Proses penandatanganan persetujuan telah dilakukan pada 26 Juli 2021 lalu, yang diikuti kunjungan lokasi pada 7 Agustus lalu. Dari kesepakatan ini, rencananya Gedung tiga lantai di Joseph Depawstraat, St Pieters Leew akan menjadi masjid sekaligus pusat budaya Indonesia di Belgia. Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Belgia dan Luxembourg Dr. Andri Hadi mendukung penuh rencana ini.

Sementara, teman-teman diaspora santri di Jepang juga berdakwah dengan membangun beberapa masjid di beberapa kawasan. PCINU Jepang telah membangun empat masjid, yakni: Masjid Nusantara Akhibara, Masjid al-Ikhlas Kabukicho, Masjid Fijikawaguchiko, dan Masjid at-Taqwa di Koga, Provinsi Ibaraki.

Baca juga:  Zero Waste dan Bayang-bayang Ilusi Implementasinya

Masjid at-Taqwa baru saja diresmikan pada Juli 2021 lalu. Masjid ini merupakan wujud dari kontribusi santri-santri dan Nahdliyyin di Jepang untuk syiar Islam dan dakwah an-Nahdliyyah. Hadir pada peresmian masjid at-Taqwa, Duta Besar RI untuk Jepang, Heri Akhmadi.

“Adanya masjid NU di Jepang ini dapat semakin memperkokoh persatuan WNI di Jepang. Seperti lalu Ya lal Wathan karya Kiai Wahab Chasbullah yang berisi semangat cinta tanah air dan kerap terdengar di berbagai acara-acara besar NU”, ungkap Dubes RI di Jepang, Heri Akhmadi.

Masjid-masjid yang didirikan oleh diaspora santri di berbagai kawasan, merupakan bagian dari dakwah Islam Nusantara, yang mendorong washatiyyah dan nilai-nilai keindonesiaan yang harmonis dengan budaya setempat. Kisah tentang pendirian masjid oleh warga Nahdliyyin dan diaspora santri di berbagai negara belum menemui paragraph akhir, masih banyak pengabdian yang akan menjadi karya, cerita yang akan dikisahkan dan sejarah besar yang akan ditulis (*).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top