Sedang Membaca
Di Tengah Pandemi, Mengapa Islamophobia di Inggris Meningkat?
Munawir Aziz
Penulis Kolom

Kolumnis dan Peneliti, meriset kajian Tionghoa Nusantara dan Antisemitisme di Asia Tenggara. Kini sedang belajar bahasa Ibrani untuk studi lanjutan. Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom.

Di Tengah Pandemi, Mengapa Islamophobia di Inggris Meningkat?

Ujaran Kebencian Serupa dengan Ghibah bahkan Fitnah

Di tengah pandemi, kelompok minoritas di Inggris mengalami berbagai macam tantangan. Tidak hanya tantangan berupa virus Covid-19 yang mengkhawatirkan, namun juga ancaman berupa kebencian dan juga Islamophobia yang tersirkulasi sama cepatnya di tengah pandemi.

Penyerangan terhadap komunitas muslim meningkat selama lima tahun terakhir. Sebanyak 52% dari catatan kebencian berbasis agama yang terjadi di Inggris dan Wales pada 2017-2018 menyasar kelompok muslim. Data ini diungkap dari laporan publikasi lembaga monitor Tell MAMA, juga UK Home Office.

Sebanyak 441 aksiden merupakan abusive behavior, 149 insiden serangan fisik, 81 insiden vandalisme, 72 aksi diskriminasi, 57 insiden ancaman, serta 28 insiden anti muslim literature, dan 11 insiden ujaran kebencian. Dj tengah pandemi, kebencian juga tersirkulasi dari kelompok konservatif, baik di level politisi hingga pendukungnya yang berekspresi di media sosial.

Kelompok etnik minoritas menghadapi ancaman yang lebih besar di tengah pandemi. Sebagian besar dari kelompok etnik minoritas, terutama warga keturunan kulit hitam dan Asia yang bermukim di Inggris, bekerja di sektor-sektor yang beresiko tinggi terkena sebaran virus Covid-19. Sebagian dari mereka sebagai supir taksi, asisten domestik, pekerja supermarket, hingga pekerja NHS (National Health Servie) di beberapa rumah sakit.

Di Inggris, hampir 21 persen staff NHS berlatar belakang etnis minoritas. Sementara, secara keseluruhan, populasi etnis minoritas hanya 14 persen dari total populasi penduduk Inggris. Pekerja NHS, baik dari level dokter, perawat hingga petugas kebersihan yang selama ini menjadi back-up sistem kesehatan di rumah sakit Inggris, menjadi garda depan pelayanan kesehatan dengan dampak paling tinggi terkena infeksi virus Covid-19. Sebab, mereka berhadapan langsung dengan pasien.

Baca juga:  Cara Mudah Jadi Dai di Era Dakwah 2.0

Cerita-cerita tentang diskriminasi terhadap kelompok minoritas, dan juga komunitas muslim tersebar di berbagai media Inggris. Pandemi menjadikan situasi semakin sulit, tidak hanya karena kesehatan yang rentan dan terancam, tapi juga diskriminasi di tengah krisis ini.

Diskriminasi ras masih menyelinap di tengah kehidupan modern Inggris Raya. Baik di lembaga pendidikan, lapangan pekerjaan, hingga dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang bias etnis. Pandangan beberapa MP (Member of Parliament) dari kelompok konservatif juga menuai perdebatan karena mengandung bias dan diskriminatif.

Pada pertengahan 2020 lalu, pemerintah Inggris menetapkan lockdown kedua secara lokal atau partial, menjelang perayaan Idhul Adha. Bahkan, kebijakan lockdown diputuskan hanya beberapa jam sebelum hari raya besar umat Islam, yang menjadikan situasi komunitas muslim menjadi sulit. Dampak lockdown menjelang Idul Adha, dirasakan komunitas-komunitas muslim besar, terutama yang tersebar di Manchester, Burnley, Blackburn, Bradford dan Leicester, sebagaimana keterangan Muslim Council of Britain.

Rabnawaz Akbar, seorang Labour Party Councilor di Manchester, menganggap bahwa kebijakan lockdown secara lokal, menjelang hari besar umat Islam, sangat tendensius.

The timing.. it focused people’s mind (on Muslim). You see, how people would have come to the assumption. [The government] have done it without thinking but of course, they are highlighting a particular demographic. And people are angry and now that anger is focused on a particular community,” demikian pendapatnya dalam laporan wawancara dengan CNN, 06 Agustus 2020 lalu.

Lebih lanjut, Akbar menyatakan bahwa kebijakan lockdown menjelang hari raya Idul Adha, dapat menimbulkan salah persepsi dan kecurigaan berbasis etnis. Sekaligus, juga memicu kebencian yang meregangkan kohesi sosial antar warga.

Craig Whittaker, seorang MP dari kelompok Conservative menyampaikan tuduhan kepada komunitas minoritas.

Baca juga:  Masih Relevankah Teori Emanasi Al-Farabi

What I have seen in my constituency is that we have areas of our community… That are just not taking the pandemic seriously enough.”

Lebih lanjut, Whittaker menuduh bahwa kelompok minoritas–di antaranya warga keturunan kulit hitam, orang-orang keturunan Asia, serta minoritas etnis lainnya, tidak menganggap serius pandemi. Maksudnya, dalam hal respon terhadap kebijakan pemerintah terkait protokol kesehatan, larangan berkerumun, dan kebijakan lainnya.

If you look at the areas where we have seen rises and cases the vast majority–not by any stretch of the imagination, all areas but it is the BAME (Black, Asian, and minority ethnic) communities that are not taking it seriously enough,” demikian pendapat Craig Whittaker.

Meski mendapat kritikan dari berbagai kelompok, Whittaker tetap bergeming bahwa ia menyampaikan fakta dari data-data lapangan. Tell MAMA, sebuah organisasi yang memonitor insiden anti-Muslim di Inggris bahkan meminta Whittaker meminta maaf atas pernyataannya yang tendensius dan menyulut mispersepsi.

Namun demikian, Whittaker menolak untuk menyampaikan koreksi dan meminta maaf atas pendapatnya. Whittaker menyatakan bahwa dirinya menyampaikan data dari Calderdale Concil di kawasan West Yorkshire.

Carderdale Council has not only identified a causal correlation between the location of a high consentration of our Asian Ethnic resident and that of Covid-19 infections, but has also formed the opinion that behaviour in these areas needs to be adressed through engangement in order to reduce the infection rate in these communities,” demikian pernyataan Whittaker, menanggapi protes dari beberapa komunitas muslim.

In an age where authencity is a behaviour scarcely exhibit by public figures, I’m glad that I chosen open, honest an frank discussion over political expediency and … I make no apology for my comments,” demikian ungkap Whittaker, sebagaimana dirilis di website pribadinya (craigwhittaker.org.uk/ 3 Agustus 2020).

Baca juga:  Anak-anak Kita di Bulan Puasa

Tidak mengherankan mendengar pendapat Whittaker, yang menyampaikan ekspresinya terkait minoritas etnis di Inggris. Kelompok konservatif di Inggris, dalam beberapa tahun terakhir memang melancarkan serangan terhadap kelompok Islam dan minoritas.

Kebencian terhadap minoritas dan Islamophobia dipicu oleh politik populisme di kalangan kelompok konservatif, selain itu kebijakan-kebijakan yang dihasilkan secara partial juga tendensius dan merugikan warga minoritas di Inggris.

Serangan-serangan ekspresif bernada kebencian melalui media massa maupun sosial media memang menjadi komoditas politik untuk menyerang kelompok Labour Party, yang mewadahi sebagian besar aspirasi politik komunitas muslim, terutama di kawasan Midland Inggris.

Bahkan, Perdana Menteri Boris Johnson pernah menyatakan bahwa perempuan muslim yang mengenakan gaun burqa, seolah sebagai ‘letter box’ (kotak surat). Ini menunjuk pada bentuk kotak surat di Inggris yang berbetuk silinder merah besar, yang biasanya ditemui di pinggir jalan maupun pusat-pusat perbelanjaan. Mendapat kritik keras, Boris Johson menyampaikan permintaan maaf kepada publik.

Meski demikian, di kalangan pemimpin politik pada kubu Partai Konservatif, kebencian-kebencian terhadap Islam dan kelompok minoritas masing sering ditemukan dalam ekspresi di publik maupun media sosial. Ekspresi kebencian ini berbahaya karena bisa membelah warga, serta berdampak pada kebijakan publik.

Serangan kebencian yang meningkat di tengah pandemi, karena kesalahpahaman memaknai perbedaan serta dipicu oleh populisme politik yang menjadi ritme kubu Konservatif dalam beberapa tahun terakhir (*).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top