Nahdlatul Ulama sebentar lagi akan berusia satu abad. Kini, pada peringatan 95 tahun Nahdlatul Ulama, kesadaran untuk membawa dan mengawal organisasi ini agar tetap konsisten di jalur pengabdian kerakyatan dan kemanusiaan semakin meningkat. Para pengurus dan warga Nahdliyyin telah mulai memikirkan bagaimana mengisi abad ke-2 Nahdlatul Ulama.
Capaian 100 tahun masih lima tahun lagi, tapi diskusi dan pembahasan terkait pengabdian abad ke-2 Nahdlatul Ulama telah diselenggarakan di pelbagai forum. Sebuah keadaan yang menggembirakan, untuk melihat masa depan dengan lebih jernih.
Nahdlatul Ulama telah mengarungi dimensi-dimensi zaman yang berbeda, dengan aktor serta tantangan yang tentu saja tidak sama. Namun, dari perjalanan panjang hampir seratus tahun itu, dinamika di internal Nahdlatul Ulama, perdebatan antar kiai, bahkan silang pendapat di antara para aktifisnya mewarnai catatan sejarah organisasi itu. Ini karena Nahdlatul Ulama punya jangkauan yang luas, dengan jumlah warga nahdliyyin yang besar.
Setiap orang punya zamannya, setiap zaman punya orangnya, begitu ungkapan yang sering terdengar menggambarkan dinamika kehidupan serta perputaran waktu. Dari zaman Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari hingga kini era Kiai Miftahul Akhyar – Kiai Said Aqil Siroj, Nahdlatul Ulama tidak lepas dari pergolakan-pergolakan yang dinamis. Pergolakan itu, baik di level internal maupun eksternal, yang menggerakkan, yang mendinamisasi, bahkan terkadar menjadi konstestasi yang mengasyikkan.
Pada tahun ini, saya menyaksikan Harlah Nahdlatul Ulama dari jauh, dari pesisir selatan United Kingdom. Sejak bermukim di Inggris beberapa tahun lalu, khidmah terhadap Nahdlatul Ulama tidak pernah luntur. Bahkan, bersama beberapa rekan di berbagai negara, kami menggerakkan Nahdlatul Ulama di level masing-masing, dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Ada lebih 30 pengurus cabang istimewa Nahdlatul Ulama yang terdata. Mulai dari Australia hingga Amerika, dari China hingga Rusia. Setiap PCINU memiliki keistemewaan dan sekaligus tantangan masing-masing. Bahkan, ada juga beberapa komunitas Nahdliyyin yang sudah menggeliat, meski secara resmi belum berbentuk PCINU. Semisal di Iran, Peru, Swedia, dan beberapa kawasan lain yang memang warga Indonesianya tidak banyak.
Kepengurusan PCI Nahdlatul Ulama mulai digelorakan sejak zaman KH. Hasyim Muzadi. Info yang saya dapatkan dari beberapa rekan, Kiai Hasyim getol mendorong para santri yang sedang kuliah di luar negeri, ataupun mereka yang bekerja di negeri seberang, berkhidmah menggerakkan NU. Tentu saja, pengajian-pengajian skala kecil telah berlangsung lama yang diselenggarakan warga Nahdliyyin berbagai kawasan, tapi menggerakkan organisasi membutuhkan fokus, tenaga dan energi yang diniatkan sebagai pengabdian terhadap para kiai yang mendirikan Nahdlatul Ulama.
Kawan saya, Fachrizal Yusuf Affandi, sekretaris PCI Nahdlatul Ulama Belanda, pernah bercerita bahwa ia menjadi ‘gila NU’, sebagaimana kisah dokter Fahmi Syaifuddin yang diceritakan Gus Dur dalam sebuah esai, ‘Gila NU, NU Gila’. Fachrizal yang sedang kuliah di Wageningen University Belanda, tentu saja beradu dengan waktu untuk mengejar tugas-tugas kuliah, riset dan publikasi. Belum lagi pekerjaan internal di luar kuliah serta tanggungjawab domestik yang juga harus dikelola.
Tapi, meski capek-capek pulang dari kampus, menyediakan waktu untuk mengurus NU, ternyata membuat pikiran segar dan stress berkurang. Ini betul, bahwa gila NU terjadi di mana-mana, menjangkiti para kader nahdliyyin di lintas negara. Tapi, tentu saja, di atas semua itu, niat mengabdi dan berkhidmah untuk mengawal Nahdlatul Ulama menjadi kekuatan yang menggerakkan.
Saat ini, para santri nahdliyyin telah tersebar luas di berbagai negara. Mereka sebagian sedang belajar, dan sebagian lainnya bekerja professional di lembaga-lembaga atau perusahaan internasional. Mereka ahli di bidang spesifik, khususnya sains dan teknologi, sekaligus juga masih menjaga tradisi. Ahli di bidang AI, robotika, fintech, supply chain, sekaligus juga mengusai kitab kuning dan melanggengkan tahlilan-shalawatan. Inilah gambaran diaspora santri saat ini, potensi besar yang dimiliki Nahdlatul Ulama.
Potensi besar berupa meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta jejaring mereka di level masing-masing, harus digerakkan agar menghasilkan keberkahan dan kemanfaaan yang lebih luas.
Lalu, bagaimana menggerakkan diaspora santri yang tersebar di berbagai kawasan itu?
Pertama, kolaborasi PCI Nahdlatul Ulama. Saat ini ribuan diaspora santri yang tersebar di berbagai negara, baik yang sedang kuliah ataupun bekerja, sebagian besar berkhidmah di PCINU. Khidmah baik secara struktural maupun kultural, karena purna tugas di kepengurusan. Para diaspora santri itu punya (sedikit) waktu, tenaga dan gagasan, yang jika dikolaborasikan akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, berdampak luas.
Kolaborasi ini sudah mulai berlangsung, yang perlu didukung dan dikawal. Perlu lebih banyak inisiasi-inisiasi strategis, dengan melibatkan sebanyak mungkin potensi, untuk kemudian difokuskan dalam tim-tim kecil, dengan fokus yang sama. Selanjutnya, mengkoneksikan gagasan-gagasan dan keahlian para diaspora santri untuk kepentingan pesantren, Nahdlatul Ulama, bahkan negara.
Kedua, dukung pemanfaatan SDM, untuk mengabdi kepada Nahdlatul Ulama dan Indonesia. Sumber daya yang berlimpah itu perlu dikawal agar mendapat ruang pengabdian yang maksimal. Dulu, ketika belum berangkat ke Inggris, saya sering mendengar banyak para santri yang bingung mengabdi di mana dan untuk apa.
Saya kira, untuk konteks sekarang, dengan platform komunikasi yang lebih canggih, jalur-jalur pengabdian menjadi lebih terbuka. Selain itu, penting juga memunculkan para pakar dari diaspora santri, agar lebih dikenal publik dan gagasannya muncul untuk berdialog dengan tantangan zaman.
Maka, bersama beberapa rekan di jaringan media, saya berusaha mengajak para diaspora santri ataupun melalui PCINU, untuk menyuarakan pikiran ke publik. Tentu saja, agar kepakaran masing-masing santri bisa terpublikasi.
Ketiga, pentingnya roadmap Nahdlatul Ulama dan sosialisasi gagasan. Sudah sering ada pembahasan Satu Abad Nahdlatul Ulama. Namun, belum ada konsep rinci terkait road-map Nahdlatul Ulama pada pengabdian abad ke-2 nanti.
Ketua Umum PBNU, Prof. Dr. Said Aqil Siroj seringkali menyampaikan fokus NU pada bidang pendidikan, ekonomi, dan ekonomi kerakyatan. Menjelang seratus tahun Nahdlat Ulama, perlu ada rumusan kontekstual, agar dipahami warga Nahdliyyin dan kemudian bersama-sama menuju arah serta mewujudkan tujuan yang sama. Berkhidmah menuju arah yang sama, dengan keahlian, spesifikasi skill, kepakaran dan jaringan masing-masing. Tentu saja, untuk kemaslahatan bersama, untuk mengawal Nahdlatul Ulama dan Indonesia (*).