Sedang Membaca
Sufi yang Tangannya Putus
Mukhammad Lutfi
Penulis Kolom

Alumnus Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Sufi yang Tangannya Putus

Whatsapp Image 2020 07 12 At 13.56.07

Abu al-Khair al-Aqṭaʻ, nama aslinya Hammad bin Abdullah, berasal dari daratan Maghrib, kawasan  afrika utara. Abu al-Khair al-Aqṭaʻ bermukim di kampung Tinat yang berada di kawasan Syam, oleh karena itu di belakang namanya juga disematkan al-Tinati, yang dinisbatkan pada tempat Abu al-Khair al-Aqṭaʻ bermukim.

Dalam banyak riwayat dikatakan bahwa Abu al-Khair al-Aqṭaʻ bersahabat dengan Abu Abdillah al-Jallaʼ. Ihwal tahun wafatnya, dalam catatan Tażkirat al-Auliyaʼ, Ṭabaqat al-Auliyaʼ, dan Ṭabaqat al-Kubra menginformasikan bahwa Abu al-Khair al-Aqṭaʻ meninggal sekitar tahun 340 H.

Terkait julukan al-Aqṭaʻ (terpotong/terputus), disebabkan karena salah satu tangan Abu al-Khair al-Aqṭaʻ yang terpotong. Setidaknya ada dua kisah terkait dengan terpotongnya tangan Abu al-Khair al-Aqṭaʻ.

Kisah pertama, diceritakan kalau Abu al-Khair al-Aqṭaʻ ini berjanji untuk tidak memakan sesuatu yang diperoleh dari dari nafsu syahwatnya. Pada suatu hari di gunung Likam, Abu al-Khair al-Aqṭaʻ melihat tanaman, ia kemudian sangat ingin sekali mamakan buah dari tanaman itu.

Akhirnya Abu al-Khair al-Aqṭaʻ memotong satu batang dari tanaman itu dan lalu memakan buahnya, selang beberapa saat ia teringat akan janjinya yang tidak akan memakan sesuatu yang diperoleh dari dari nafsu syahwatnya. Abu al-Khair al-Aqṭaʻ lalu meninggalkan tanaman itu seraya berkata, “Aku telah memotong sebatang tanaman, maka harus dipotong juga bagian dari anggota tubuhku (tangan).”

Baca juga:  Jalaluddin Rumi: Dari Tasawuf hingga Trilogi Metafisika (2)

Kisah kedua, suatu ketika Abu al-Khair al-Aqṭaʻ bersama jamaʻahnya sedang berada di gunung Lubnan. Tiba-tiba ada seseorang yang datang dan lalu memberikan kepingan dinar kepada Abu al-Khair al-Aqṭaʻ dan jamaʻahnya, masing-masing dari mereka mendapat satu keping dinar. Kesemuadari mereka menerima dinar itu, termasuk Abu al-Khair al-Aqṭaʻ. Namun setelah Abu al-Khair al-Aqṭaʻ menerima dinar itu, ia lalu melemparkan dinar itu di hadapan jamaʻahnya.

Setelah turun dari gunung dan sampai di kota Abu al-Khair al-Aqṭaʻ mengambil mushafnya, sedangkan saat itu ia lupa kalau sedang tidak memiliki wudhu. Ketika sampai di sebuah pasar, Abu al-Khair al-Aqṭaʻ dan jamaʻahnya bertemu kawanan perampok yang dikejar-kejar oleh beberapa orang. Kawanan perampok itu melewati Abu al-Khair al-Aqṭaʻ dan jamaʻahnya, namun nahas saat orang-orang yang mengejar kawanan perampok itu melewati Abu al-Khair al-Aqṭaʻ dan jamaʻahnya, mereka mengira Abu al-Khair al-Aqṭaʻ dan jamaʻahnya itulah kawanan perampok itu.

Orang-orang itu pun menghentikan Abu al-Khair al-Aqṭaʻ dan jamaʻahnya, ia lalu mengaku sebagai kawanan perampok.

“Kami adalah perampok, dan aku adalah pemimpinnya,” ujar Abu al-Khair al-Aqṭaʻ.

“Tinggalkan sahabat-sahabatku ini, dan hukumlah aku,” tambah Abu al-Khair al-Aqṭaʻ kepada orang-orang itu.

Mereka lalu membawa Abu al-Khair al-Aqṭaʻ ke hadapan hakim. Semua orang tidak ada yang tahu kalau orang yang diadili itu adalah Abu al-Khair al-Aqṭaʻ, sufi yang masyhur itu. Tangan Abu al-Khair al-Aqṭaʻ lalu dipotong karena telah mengaku menjadi perampok. Orang-orang lalu bertanya kepada Abu al-Khair al-Aqṭaʻ.

Baca juga:  Martabat Tujuh: Ihwal Tasawuf Lingkungan

“Siapa namamu hai perampok?” tanya orang-orang.

“Aku adalah Abu al-Khair al-Aqṭaʻ,” jawab Abu al-Khair al-Aqṭaʻ.

Hakim terkaget mendengar nama itu, hatinya pun bergetar dan menyesal. Hakim yang memutuskan perkara itu pun meminta maaf kepada Abu al-Khair al-Aqṭaʻ.

“Tidak apa, tanganku ini sudah sepantasnya dipotong karena tangan ini telah berhianat. Kemarin aku telah menyentuh sesuatu yang kotor yaitu uang, tidak hanya itu, aku juga telah menyentuh mushaf sedangkan aku lupa kalau tidak memiliki wudhu.” terang Abu al-Khair al-Aqṭaʻ.

Berikut quote sufistik dari Abu al-Khair al-Aqṭaʻ:

إِنَّ الذَّاكِرَ لَا يَقُوْمُ لَهُ فِيْ ذِكْرِهِ عِوَضٌ فَإِذَا قَامَ لَهُ العِوَضَ خَرَجَ مِنْ ذِكْرِهِ.

“Inna al-żākira lā yaqūmu lahu fīżikrihi ʻiwaḍun fa iżā qāma lahu al-ʻiwaḍu kharaja min żikrihi.”

“Seseorang yang berzikir tidak akan meminta ganti/imbalan dari zikirnya, ketika ia meminta ganti/imbalan maka ia keluar dari zikirnya.” Wallāhu Aʻlam.

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top