Menjelang Idul Fitri, jalanan mulai dipadati oleh kendaraan bermotor, dari kendaraan umum hingga kendaraan pribadi. Layar kaca akan mulai dipenuhi reportase arus hilir mudik manusia. Iklan-iklan televisi dengan tema buka puasa dan sahur pun akan berganti tema menjadi moment kebersamaan dan kebahahagiaan suatu keluarga saat hari raya.
Headline surat kabar pun mulai dipenuhi gambar situasi jalan raya yang padat kendaraan. Hiruk pikuk menjelang lebaran tersebut lebih kita kenal dengan istilah mudik (pulang ke udik atau kampung).
Ritus dimana manusia-manusia tanah rantau menempuh perjalanan jauh untuk kembali ke kampung halaman. Memang sudah menjadi ritual tahunan manusia untuk kembali ke tanah asal mereka. Kembali setelah setahun mengadu nasib, dan berburu ilmu di kota dengan membawa rindu dan hasil jerih payah selama berada di kota.
Kang Jalal dalam buku Madrasah Ruhaniah (2004), mengutip eksperimen dari Zimbardo seorang psikolog sosial yang mengatakan bahwa kehidupan orang kota lebih agresif, galak, dan jahat jika dibandingkan dengan orang kampung atau desa.
Orang kota hidup dalam masyarakat yang anonim. Di kota manusia manusia menjadi serigala bagi manusia lain. Dalam bahasa Islam, di kota silaturahim telah terputus.
Masih dalam catatan Kang Jalal, permasalahan orang kota adalah hilangnya keakraban hubungan manusiawi. Manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup tanpa menyayangi dan disayangi. Ia bukan saja binatang politik atau binatang ekonomi. Ia juga a loving animal (binatang yang mencintai).
Kang Jalal menambahkan, penyakit manusia modern dipicu dari ketidaksempatan menyayangi sesama. Hubungan antar manusia menjadi hubungan tanpa kasih. Manusia secara ruhaniah terasing dari manusia lain. Lebih parah lagi, ia juga terasing dari Tuhan.
Menelaah uraian Kang Jalal, saya menjadi paham bahwa yang menjadi masalah bukanlah kehidupan perkotaan, akan tetapi pada manusia kota yang dahaga akan kasih sayang. Manusia kota kadar kasih sayangnya lebih tipis jika dibandingkan manusia desa.
Tentu kita harus lebih bisa mendalami ritus mudik ini sebagai momentum untuk semakin meningkatkan kesalehan sosial kita yang ada di kota maupun kita yang ada di desa, dan sekaligus melakukan rekonsiliasi dengan orang-orang yang sempat bersengketa dengan kita.
Mari kita bersilaturahim, kita temui orang-orang yang merasa pernah kita sakiti. Berjabat tangan untuk saling memaafkan pada hari nan suci, Idul Fitri.
Terlebih di tengah situasi bangsa yang memanas di tahun politik ini, gesekan-gesekan yang terjadi akibat perbedaan haluan politik, perang tagar di media sosial, sikap nyinyir sebagian orang terhadap sesuatu hal, dan sebagainya.
Kesalehan sosial ini tidak lain untuk mengimbangi kesalehan individual kita, serta untuk meneguk kembali rasa kasih sayang yang telah pudar.
Akhirnya, mudik kali ini bukan lagi melulu perihal mudik secara fisik pulang ke kampung halaman, ataupun pulang dari tanah rantauan. Mudik kali ini adalah momentum ruhani untuk pulang menemukan kembali rasa kasih sayang yang sempat hilang. Wallahu a’lam.