Mukhammad Lutfi
Penulis Kolom

Alumnus Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Kisah Sufi Unik (48): Abu ʻAli al-Daqaq Mengkritik Saudagar Kaya Raya

Abu ʻAli al-Daqaq, nama lengkapnya Hasan bin Muhammad bin ʻAli, sufi ini hidup di abad 4-5 Hijriyah, di belakang namanya tersemat al-Naisaburi yang dinisbatkan pada kota tempat Abu ʻAli al-Daqaq berasal dan mukim. Wafat pada 405 H, ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa Abu ʻAli al-Daqaq meninggal di tahun 412 H.

Catatan Fariduddin al-Attar mengatakan bahwa Abu ʻAli al-Daqaq “kāmilan fi ʼilmi-l-ṭarīqati wa-l-haqīqati”, pengetahuannya mendalam sekali dalam ilmu tarikat dan hakikat. Ia juga dikenal sebagai seorang mursyid, pendakwah, dan ahli tafsir. 

Abu ʻAli al-Daqaq tercatat sebagai murid dari Ibrahim al-Nashrabazi, selain itu Abu ʻAli al-Daqaq juga berguru kepada beberapa ulama besar Naisabur. Sebagai seorang sufi, Abu ʻAli al-Daqaq juga memiliki murid, salah seorang muridnya adalah Abul Qasim ‘Abdul Karim bin Hawazin bin ‘Abdul Malik bin Talhah bin Muhammad al-Qusyairi al-Naisaburi al-Syaf’i yang lebih masyhur dengan Imam Qusyairi, muʼallif kitab Risalah al-Qusyairiyah.

Sebagai seorang murid dari Ibrahim al-Nashrabazi, Abu ʻAli al-Daqaq termasuk murid yang hormat sekali kepada gurunya itu, bahkan Abu ʻAli al-Daqaq pernah berkata, “mā dakholtu ʻalā abi al-Qasim Ibrahim al-Nashrabazi illā ightasaltu awwalan hurmatan lahu”, Aku tidak pernah sowan/berkunjung kepada Ibrahim al-Nashrabazi kecuali aku mandi dahulu sebagai tanda penghormatanku kepadanya.

Baca juga:  Kisah Sufi Unik (30): Ibrahim al-Qirmisini Melanggar Perintah Gurunya

Dalam catatan Fariduddin al-Attar, murid Syekh Abu ʻAli al-Daqaq, Imam Qusyairi, pernah menceritakan bahwa suatu hari ada pemuda mendatangiku dalam keadaan menagis sesegukan, penasaran dengan keadaannya, aku pun lantas menayainya.

“Mengapa kau menangis?” tanya Imam Qusyairi.

“Kemarin aku bermimpi seolah terjadi kiamat, kemudian aku ditakdirkan masuk ke dalam neraka. Lantas saat di neraka aku berkata kepada malaikat, jangan tempatkan aku di neraka, aku ini pernah hadir di majlis Syekh Abu ʻAli al-Daqaq. Malaikat itu lalu bertanya, kau hadir di majlis Syekh Abu ʻAli al-Daqaq? Iya, sahutku. Malaikat itupun lalu menyuruhku masuk surga.” cerita pemuda itu sambil terus menagis.

Pada kisah yang lain diceritakan bahwa Syekh Abu ʻAli al-Daqaq memiliki tetangga yang kaya raya, tetangganya itu adalah seorang saudagar. Suatu hari saudagar kaya raya itu sedang sakit, sebagai tetangga yang baik Syekh Abu ʻAli al-Daqaq lalu menjenguk saudagar itu, dan menanyakan keadaannya.

“Sakit apa yang sedang kau alami?” tanya Syekh Abu ʻAli al-Daqaq.

“Semalam waktu aku bangun tidur, aku berniat ingin wudhu untuk melaksanakan salat malam. Beberapa saat kemudian aku terpeleset dan punggungku sepertinya terkilir, kini aku juga terserang demam tinggi,” jawab saudagar itu mengisahkan.

“Engkau ini sudah kaya, ibadah yang lebih manfaat bagimu itu menyedekahkan hartamu, dan memberi makan orang yang lapar, bukan sibuk salat malam yang manfaatnya untuk dirimu sendiri. Aku berbicara begini bukan berarti melarangmu salat malam, hanya saja kau melupakan ibadah yang manfaatnya lebih besar yang seharusnya kau lakukan,” terang Syekh Abu ʻAli al-Daqaq menasehati tetangganya yang kaya raya itu.

Baca juga:  Tawakal dan Ikhtiar: Kisah Seorang Sufi Ingin Berhenti Bekerja

Berikut quote sufistik dari Syekh Abu ʻAli al-Daqaq:

إِذَا كَانَ طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةً، فَطَلَبُ الْـمَـــــعْلُوْمِ أَفْرَضُ

“Iżā kāna ṭalabu-l-ʻilmi farīḍatun, fa ṭalabu-l-maʻlūmi afraḍu.”

“Jika mencari ilmu itu wajib, maka mencari kebenaran ilmu itu lebih wajib.” 

Wallahu Aʻlam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top