Abu Hatim al-Sijistani (w. 255 H/869 M), Sahl bin Muhammad bin Usman bin Yazid al-Jushami al-Sijistani. Seorang ulama linguis mazhab Basrah, ahli hadis, tafsir, dan filolog. Abu Hatim berguru kepada Abu Ubayda, Abu Zaid al-Ansari, dan al-Ashmai. Sementara itu al-Sijistani dinisbatkan kepada desa Sijistan, daerah dekat Basrah, tempat di mana Abu Hatim berasal.
Di balik kemasyhurannya sebagai ulama, layaknya manusia biasa ia juga mengalami problematika kehidupan, termasuk kesialan juga pernah menerpa perjalanan hidupnya. Kisah kesialan Abu Hatim tercatat dalam kitab Taraif wa Nawadir min Siyari al-Lughowiyyin wa al-Nuhat, halaman 40. Kisahnya begini;
Abu Hatim hidup pada masa Abbasiyah, kala itu kota Baghdad menjadi ibu kota kekhalifahan. Baghdad menjadi kota metropolitan dengan segala kemajuannya. Suatu ketika, Abu Hatim berkunjung ke Baghdad, sesampainya di Baghdad ia mampir ke sebuah masjid. Selang waktu tak begitu lama, datang seseorang yang menghampirinya dan lalu mengajukan pertanyaan.
“Quu anfusakum, bagaimana lafaz quu diucapkan untuk satu orang (mufrad)?” ucap si penanya dengan mengutip surat al-Tahrim ayat 6.
“Qi“, jawab Abu Hatim penuh yakin.
“Jika untuk dua orang (tastniyah)?” si penanya kembali bertanya.
“Qiyaa,” timpal Abu Hatim.
“Bagaimana jika untuk orang banyak (jama’)?” tanya si penanya lagi.
“Quu,” ucap Abu Hatim.
“Kalau begitu ucapkan ketiganya sekaligus!” pinta si penanya.
“Qi Qiyaa Quu,” ucap Abu Hatim melafazkan.
Sayup-sayup namun tetap menyimak, rupa-rupanya ada seorang laki-laki di serambi masjid yang kebetulan menyimak dialog antara Abu Hatim dengan orang yang bertanya ihwal “Qi Qiyaa Quu” sebagaimana di atas. Dikisahkan bahwa laki-laki yang menyimak dialog ihwal “Qi Qiyaa Quu” ini membawa kain tenun.
Si laki-laki yang mendengar Abu Hatim mengucapkan “Qi Qiyaa Quu” tiba-tiba terperanjat bangun dari duduknya dan lantas menitipkan kain tenun yang sedang dibawanya kepada temannya yang sedari tadi membersamainya. Laki-laki itu pun berangkat kepada syurthah –kalau sekarang bisa disebut polisi atau pihak keamanan–.
Atas dasar yang ia dengar, laki-laki itu tadi melaporkan Abu Hatim melakukan penistaan agama. Dasarnya adalah ucapan “Qi Qiyaa Quu” yang Abu Hatim lontarkan untuk menjawab seseorang yang bertanya. Laki-laki pelapor tadi mengira bahwa bahwa Abu Hatim membaca al-Qur’an dengan suara seperti kokokan ayam jago “Qi Qiyaa Quu“.
“Sungguh aku telah mendapati orang zindiq yang membaca al-Qur’an dengan suara kokokan ayam jago”, lapor laki-laki tadi di hadapan polisi.
Mendengar laporan itu pimpinan polisi lengkap dengan beberapa personelnya siap menggrebek Abu Hatim yang dilaporkan telah menistakan agama lantaran membaca al-Qur’an dengan suara kokokan ayam jago “Qi Qiyaa Quu“. Laki-laki pelapor tadi mengantarkan para polisi ke tempat terjadinya penistaan agama itu.
Tanpa disangka-sangka gerombolan polisi tadi mencela Abu Hatim, karena telah menistakan agama di depan umum. Abu Hatim kebingungan dengan apa yang menimpanya. Abu Hatim merasa tak sedikit pun ucapannya menistakan agama. Dikisahkan Abu Hatim kala itu dipukuli sebanyak sepuluh kali, dan ia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Polisi mengingatkan Abu Hatim agar tidak mengulangi perbuatannya itu. Pada akhirnya Abu Hatim memutuskan kembali ke Basrah dan mengurungkan niatnya untuk tinggal di Baghdad. Pasca peristiwa “Qi Qiyaa Quu” yang dikira kokokan ayam jago itu, Abu Hatim merasa kapok pergi ke Baghdad dan tak ingin mengunjunginya lagi.
Itu tadi kisah kesialan Abu Hatim al-Sijistani yang dituduh menistakan agama, padahal ia sama sekali tak bermaksud menistakan al-Qur’an seperti apa yang dituduhkan oleh laki-laki pelapor tadi. Ini hanya kesalahpahaman dan kesialan saja.
Sumber bacaan:
- Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar al-Suyuti, Bughyat al-Wu’at fi Tabaqaati al-Lughowiyyin wa al-Nuhat, Juz 1 hlm. 606.
- Sayyid Khidir, Taraif wa Nawadir min Siyari al-Lughowiyyin wa al-Nuhat, halaman 40.