Barangkali jamak dari kita sudah mafhum dengan istilah ‘Halal bihalal‘. Istilah ini erat kaitannya dengan Idul Fitri, dan banyak penjelasan yang mengatakan bahwa “Halal bihalal” merupakan tradisi –otentik– Indonesia. Sebut saja tulisan Kang Fariz Alniezar, doktor linguistik yang baru-baru ini menyelesaikan sidang disertasinya itu.
Tulisan Fariz Alniezar di tirto.id menjabarkan bahwa istilah ‘Halal bihalal’ merupakan kreasi kolaborasi Kiai Wahab Hasbullah dengan Bung Karno pada 1948. Keduanya berembuk untuk mencari solusi ancaman disintegrasi bangsa oleh kelompok DI/TII dan PKI. Kiai Wahab mengusulkan silaturahmi nasional. Bung Karno menganggap ide itu bagus, namun istilahnya harus dimodifikasi agar bisa menjadi ekstravaganza. Kiai Wahab mengusulkan istilah ‘Halal bihalal’.
‘Halal bihalal’ bukan berakar dari struktur gramatika bahasa Arab. Istilah ini lahir dari spontanitas Kiai Wahab Hasbullah. Maksud dan arti yang ingin dirujuk adalah masing-masing pribadi saling memberikan kehalalan atas kesalahan-kesalahan yang terlanjur sudah diperbuat.
Nah, di atas adalah sedikit dari sekian banyak penjelasan terkait ‘Halal bihalal’. Kali ini izinkan saya menceritakan kisah lain dari sebuah istilah. Istilah ini barangkali jarang dipakai, namun saya ingin sekali menceritakannya. Istilah yang saya maksud adalah ‘Kalam bikalam’. Istilah ini ada di dalam catatan seoramg sastrawan Arab, al-Jahiz (781-868 M), tepatnya di dalam kitab al-Bukhala’, kitab yang meriwayatkan kisah-kisah orang pelit. Dari rentang tahun hidup al-Jahiz kita menjadi paham, bahwa istilah ‘Kalam bikalam’ sudah ada jauh sebelum ‘Halal bihalal’ diinisiasi Mbah Wahab dan Bung Karno.
Kitab al-Bukhala’ yang disusun al-Jahiz sengaja bercerita hal ihwal orang-orang yang memiliki tabiat kikir atau pelit. Salah satu kisah dalam kitab itu terdapat istilah ‘Kalam bikalam’. Kira-kira begini kisahnya;
Diriwayatkan dari Ibrahim bin al-Sindi, konon ada seorang syekh atau orang tua berasal dari Khurasan yang memiliki kebiasaan sangat menjengkelkan. Kebiasaan menjengkelkan itu salah satunya sifat pelit yang lekat sekali pada syekh asli Khurasan itu.
Suatu hari, syekh yang pelit ini sengaja makan di sebuah tempat. Tak lama kemudian, sembari terus melahap makanannya, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang melintas, syekh pelit ini lalu dengan sengaja mengucap salam kepada laki-laki yang melintas itu. Salam syekh pelit disambut dengan ucapan salam balik dari laki-laki yang melintas itu. Sambil tetap melahap makanannya, syekh lalu basa-basi kepada laki-laki itu.
“halumma (baca: monggo mampir),” basa-basi syekh sambil terus mengunyah.
Mendengar ucapan syekh, laki-laki yang melintas itu lalu balik arah dan menghampiri syekh pelit yang sedang asyik menyantap makanannya. Dari arah yang tidak begitu jauh, syekh pelit nan menjengkelkan ini rupa-rupanya sudah mempersiapkan taktik menjengkelkan. Tibalah pemuda laki-laki itu di hadapan syekh.
“loh, apa yang membuatmu menghampiriku?” ujar syekh memberi umpan.
“loh, bukankah engkau mengajakku makan?” ucap laki-laki yang sudah terpancing umpan syekh pelit itu.
“wah, bodoh sekali kalau kau berpikir sejauh itu, aku hanya mengucap salam kepadamu dan sedikit basa-basi. Sekarang begini, kalau ada orang duduk lalu mengucap salam kepadamu yang kebetulan sedang lewat, kan cukup dijawab dengan ucapan salam balik, selesai,” jelas syekh pelit itu.
“nah, kalau ada orang sedang makan, lalu mengucapkan halumma (baca: monggo mampir) kepadamu, kamu cukup menjawabnya dengan hanīan (baca: nggeh, monggo sekeca’aken), beres, selesai,” imbuh syekh pelit itu.
“apa yang kujelaskan tadi namanya ‘Kalam bikalam’ –omongan dibalas omongan/basa-basi,” pungkas syekh mengakhiri ucapannya.
Nah, itu tadi kisah yang al-Jahiz sampaikan dalam kitab al-Bukhala’. Kalau menurut saya sih, ‘Kalam bikalam’ ya basa-basi itu sendiri, soal pelit itu urusan lain. Tergantung orangnya. Saya sih kurang sepakat kalau al-Jahiz mengatakan syekh tadi itu pelit. Sepertinya sih memang basa-basi saja.
Atau barangkali basa-basi itu termasuk sifat pelit dalam tradisi Arab? Mmm… ya, kurang tahu juga sih…