Jalaluddin as-Suyuti pernah menukil pendapat seorang linguis Arab, Ibnu Faris, terkait orang yang suka meringkas, dan menyederhanakan suku kata yang ada pada sebuah frasa dan bahkan juga kalimat, entah itu untuk kepentingan tulisan maupun tuturan. Semisal, “alhamdulillah” menjadi “hamdalah”.
Nah, fenomena kebahasaan inilah yang dalam fikih bahasa Arab (Fiqh al-Lughoh al-Arabiyah) disebut dengan Naht –ringkas, sederhana. Mungkin contoh di atas sudah jamak diketahui oleh orang Indonesia. Contoh yang lain datang dari ats-Tsa’alabi, yakni kalimat أطالَ اللهُ بقاءكَ menjadi طَلْبَقَة, أدامَ اللهُ عِزَّكَ menjadi دَمْعَزْ. Dua contoh ats-Tsa’alabi ini tergolong asing di telinga orang Indonesia.
Contoh yang lain adalah kalimat صلى الله عليه وسلم yang di-naht-kan menjadi صَلْعَمْ, contoh ini sudah banyak terdistribusi dalam beberapa kitab yang saya temui, dan kalau dalam bahasa Indonesia kalimat Shallallahu alaihi wa sallam di naht menjadi “saw”.
Contoh-contoh tadi hanya secuil dari kebiasaan orang Arab meringkaskan frasa maupun kalimat. Pembahasan tentang Naht hampir tidak mendapatkan perhatian serius kalangan linguis Arab. Namun beberapa dari kalangan linguis juga memiliki perhatian khusus pada fenomena Naht ini. Sebut saja Ibnu Faris dan Emil Badi’ Ya’qub. Dalam catatannya, Emil Badi’ Ya’qub mengkategorikan jenis-jenis Naht, dan juga membuat kategori formulasi terhadap kalimat-kalimat yang sudah di-naht-kan. Catatan Emil Badi’ Ya’qub ini kemudian banyak di nukil dalam kitab-kitab fikih bahasa Arab (Fiqh al-Lughoh al-Arabiyah).
Beberapa kalangan linguis Arab menganggap kategorisasi dan formulasi yang dilakukan Emil Badi’ Ya’qub ini terkesan mengada-ada. Namun pada kenyataannya fenomena naht ini memang terjadi pada masyarakat Arab.
Pertemuan dua kutub pendapat berlawanan ini, yakni kelompok yang menganggap Naht hanya perbuatan mengada-ada dan kelompok yang mengkategorikan jenis-jenis Naht, lalu membuat kategori formulasinya, haruslah dipelihara sehingga senantiasa membutuhkan hadirnya kreatifitas di satu sisi sedang di sisi lain kemurnian bahasa Arab juga tetap terjaga. Karena mau tidak mau bahasa selalu berkembang dan pengguna bahasa pun memiliki kreasi-kreasi bahasa yang beravariasi. Contohnya ya Naht ini.
Terlepas dari dua kutub berbeda ihwal Naht ini, ada kisah jenaka yang masih ada kaitannya dengan Naht ini. Kisahnya begini;
Alkisah, seorang linguis Arab dari basrah bernama Sahl bin Muhammad bin Usman, atau yang dikenal dengan Abu Hatim (w.255) suatu hari di datangi seorang laki-laki. Lantas tanpa basa-basi laki-laki itu melontarkan pertanyaan kepada Abu Hatim.
“Wahai Abu Hatim, apa sebutan untuk seseorang yang salah satu kakinya memakai خُفٌّ –muzah–, sedangkan kaki sebelahnya memakai نَعْلٌ –sandal–?” Tanya laki-laki itu.
خُفٌّ dalam fikih ibadah diartikan sebagai muzah, alas kaki yang terbuat dari kulit yang menutupi ujung jemari kaki hingga mata kaki.
Mendengar pertanyaan itu, lalu Abu Hatim menimpali, “Sungguh aku tak tahu apa sebutan untuk seseorang yang kau maksud dalam pertanyaanmu itu, boleh jadi kau lebih tahu akan pertanyaanmu sendiri itu”.
“Benar sekali, aku sudah tahu. Ketahuilah! Sebutan untuk orang yang aku maksudkan itu adalah مُخْفَنْعِلٌ ” Jelas laki-laki itu menjawab pertanyaannya sendiri.
Mendengar jawaban itu, lantas Abu Hatim tertawa terbahak-bahak. Karena Abu Hatim yang seorang linguis bahasa Arab belum pernah menemukan istilah itu, ini kali pertama Abu Hatim mendengar istilah مُخْفَنْعِلٌ.
Rupa-rupanya laki-laki itu me-naht-kan kata خُفٌّ dan نَعْلٌ menjadi مُخْفَنْعِلٌ, yang berwazan isim fa’il, yang memiliki makna orang yang memakai muzah dan sandal.
Peristiwa ini pun tak pelak membuat keduanya tertawa terbahak-bahak.