Mukhammad Lutfi
Penulis Kolom

Alumnus Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Ayyaam al-Arab, Kondisi Arab Menjelang Kelahiran Islam

Salah satu fenomena sosial yang menggejala di Arab menjelang kelahiran Islam adalah apa yang dikenal dengan sebutan Ayyaam al-Arab “Hari-hari orang Arab”. Catatan Hitti dalam History of the Arabs, memberikan penjelasan bahwa term Ayyaam al-Arab ini merujuk pada permusuhan antar suku yang secara umum muncul akibat persengketaan seputar hewan ternak, padang rumput, dan mata air akibat keterbatasan sumber daya alam yang tandus. Persengketaan itu menyebabkan peperangan antarsuku.

Hari-hari penuh konflik dan sengketa kala itu memunculkan perampokan dan penyerangan yang merajalela, bahkan Ayyaam al-Arab ini juga memunculkan lahirnya penyair-penyair yang berperan sebagai corong kabilah guna mengejek kabilah lawan dalam bersengketa.

Wargadinata dalam buku Sastra Arab dan Lintas Budaya (2008) mencatat, bahwa Ayyaam al-Arab menjadi media yang cukup efektif bagi pengembangan tema-tema puisi Arab. Peran penyair dalam peperangan sangat besar; sebagai motivator atau untuk menjatuhkan lawan secara psikologis dengan puisi-puisi hija’ –ejekan/satire yang pedas. Puisi-puisi legendaris yang lahir yang lahir dalam laga perang seperti puisi-puisinya Antarah dan Syanfara.

Saya tak akan memperpanjang perihal puisi-puisi itu tadi, akan tetapi setelah menelusuri buku-buku dan tulisan tentang Ayyaam al-Arab, rasa-rasanya orang-orang Arab kala itu kok sampai seperti itu. Hanya untuk urusan hewan ternak, padang rumput, dan mata air saja mereka rela sengketa, perang, dan saling bunuh. Banyak yang mengatakan bahwa itu karena keadaan di sana yang panas dan gersang, sehingga hewan ternak, padang rumput, dan mata air merupakan barang berharga bagi mereka. Sampai-sampai Alquran menggambarkan surga yang di bawahnya mengalir sungai.

Baca juga:  Bagaimana Kolonial Belanda Generasi Awal Melihat Islam Nusantara?

Salah satu perang yang melegenda dalam rentetan Ayyaam al-Arab adalah perang Basus yang terjadi pada abad kelima antara Bani Bakr dan keluarga dekat mereka dari Bani Taghlib di Arab sebelah timur laut. Kedua suku itu beragama Kristen dan mengklaim sebagai keturunan Wa’il. Konflik ini muncul karena seekor unta betina milik seorang perempuan tua suku Bakr yang bernama Basus, dilukai oleh kepala suku Taghlib.

Dalam catatan Philip K Hitti profesor sastra Semit dan bahasa-bahasa Timur dari Universitas Princeton, dalam magnum opus-nya, History of the Arab, perang Basus ini berlangsung selama lebih kurang 40 tahun dengan cara menyerang dan merampok satu sama lain.

Setelah merenungi Ayyaam al-Arab, kita jadi paham kalau Arab masa lalu –sebelum Islam, begitu profan. Kendati kala itu Kristen yang penuh kasih sayang hadir di tengah suku Bani Bakr dan Bani Taghlib, ternyata hal itu belum mampu membendung perang Basus yang disebabkan oleh hal yang sangat profan, yaitu karena unta. Ini sangat profan sekali.

Lantas, apakah pergolakan yang terus menyelimuti kawasan dunia Arab dan Timur Tengah sejak Perang Dunia I merupakan episode baru dari fenomena Ayyaam al-Arab yang profan itu, ataukah fenomena baru. Saya tak mau berspekulasi, takut dikira cocokologi. Yang jelas, kawasan itu telah menjadi titik pusat pergolakan. Wallahu A’lam. (RM)

Baca juga:  Tempat Bersejarah di Tanah Suci dan Arab Saudi (1): Masjid Quba

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
3
Senang
2
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top