Ketenaran dan kepakaran Abu al-Aswad ad-Du’ali sebagai peletak dasar ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab/sintaksis) memang tak perlu diragukan lagi. Ketenarannya itu tentu saja berawal dari Ali bin Abi Thalib yang berinisiatif mengkodifikasikan ilmu nahwu, yang kemudian inisiatif itu dimandatkan kepada Abu al-Aswad ad-Du’ali.
Namun, di balik kecemerlangan karir kepakarannya yang begitu mentereng, ada sisi kehidupan Abu al-Aswad ad-Du’ali yang redup, dan bahkan boleh jadi ini termasuk kisah suram dalam perjalanan hidupnya. Kisah suram itu ialah ihwal kekalahannya mendapat hak asuh anak atas mantan istrinya.
Alkisah, pada masa pemerintahan Mu’awiyah, Abu al-Aswad ad-Du’ali sedang bermusyawarah, dan berdiskusi dengan sejumlah tokoh Quraisy dan beberapa pentolan bangsa Arab, khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan termasuk salah seorang peserta dalam forum diskusi itu.
Saat diskusi sedang berlangsung, tetiba dari kejauhan terlihat mantan istri Abu al-Aswad ad-Du’ali yang mendekat menuju forum diskusi itu. Mu’awiyah bin Abi Sufyan tidak mengetahui kalau wanita itu adalah mantan istri Abu al-Aswad. Tujuan mantan istri Abu al-Aswad datang ke situ hanya satu, ia ingin melaporkan ihwal kelakuan buruk Abu al-Aswad saat berumah tangga dengannya.
Mantan istri Abu al-Aswad lantas membuka percakapan dengan khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan:
“Assalamualaikum ya amiral mukminin! Anda adalah khalifah, pemimpin pengganti Rasulullah. Aku berdoa agar Allah senantiasa melimpahkan kenikmatan yang berlimpah dan tak terputus kepadamu.“
“Apa maumu?” Tanya Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
“Ya Amiral Mukminin! Ada satu masalah yang memaksaku untuk mengadukannya kepadamu. Masalah ini belum aku temukan jalan keluarnya. Aku menginginkan perlindungan dari masalah-masalah yang menimpa perempuan sepertiku, di mana aku memiliki suami yang lalim, jahat, dan tak tahu diri.”
Mendengar aduan wanita itu, lantas Mu’awiyah bin Abi Sufyan pun menimpali, “Siapa suamimu yang berbuat demikian itu?” Tanya Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
“Dia adalah Abu al-Aswad ad-Du’ali,” Jawab wanita itu dengan tegas.
Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang kaget terheran-heran lantas meminta penjelasan kepada Abu al-Aswad ad-Du’ali, “Wahai Abu al-Aswad, benarkah apa yang dikatakan perempuan ini?”
Abu al-Aswad pun mengonfirmasi kebenaran perkataan wanita itu seraya berkata;
“Apa yang ia katakan memang benar adanya. Jujur saja aku telah mentalaknya. Keputusan talak itu pun sudah menjadi tekadku. Aku mentalaknya karena aku tak menyukai perangainya,” Abu al-Aswad menjelaskan. Dari penjelasan Abu al-Aswad inilah Mu’awiyah mengetahui kalau perempuan itu adalah mantan istri Abu al-Aswad ad-Du’ali.
“Perangai yang bagaimana yang kau tak suka darinya?” tanya Mu’awiyah.
“Wahai Amirul Mukminin, aku tak mau berpolemik dan ribut di sini,” Abu al-Aswad menimpali.
“Kalau begitu selesaikan masalah ini dengan baik-baik, ajaklah dia berbicara,” Mu’awiyah memberikan saran.
“Wahai Amirul Mukminin, bagaimana aku bisa berbicara baik-baik dengannya, sedangkan dia keras kepala dan kata-katanya selalu menyakitkan,” Abu al-Aswad dengan nada tinggi.
Mantan istri Abu al-Aswad pun tersulut emosi, ia pun membalas perkataan Abu al-Aswad, “Wahai Amirul Mukminin, ketahuilah bahwa Abu al-Aswad adalah laki-laki bodoh, dan pelit”.
Mu’awiyah yang sedari tadi menyimak keduanya saling balas olok-olokan lantas melerai keributan yang terjadi. Mu’awiyah khawatir suasana semakin keos, dan lagi forum diskusi yang tadinya digelar pun belum sempat dibubarkan. Debat sengit antara Abu al-Aswad dan mantan istrinya pun tak pelak menjadi konsumsi para peserta diskusi.
Suasana lalu menjadi hening, Mua’awiyah lalu berkata kepada keduanya, “Sudah, kalian berdua pulanglah dulu, nanti datanglah kembali! Mungkin nanti sore adalah waktu yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan kalian berdua”.
Tak selang begitu lama, forum diskusi Mu’awiyah beserta para pentolan Quraisy pun ditutup, mengingat diskusi sudah tak kondusif lagi setelah debat sengit antara Abu al-Aswad dan mantan istrinya terjadi. Mereka pun pulang ke rumahnya masing-masing.
Singkat cerita, langit mulai tampak sore. Inilah waktu yang ditunggu-tunggu oleh Abu al-Aswad dan mantan istrinya untuk menemui Mu’awiyah.
Mantan istri Abu al-Aswad pun datang, kali ini ia datang bersama buah hatinya. Buah hati hasil pernikahannya dengan Abu al-Aswad. Kedatangan mantan istri dan buah hatinya itu pun mengalihkan perhatian Abu al-Aswad. Abu al-Aswad lantas merebut sang buah hati dari gendongan mantan istrinya. Di sinilah konflik itu semakin meruncing.
Mu’awiyah yang melihat perlakuan Abu al-Aswad lantas menegurnya, “Abu al-Aswad, kau jangan buru-buru merebut anak itu dari ibunya, biarkan mantan istrimu berargumen dulu.”
“Wahai Amirul Mukminin, aku lebih berhak mengasuh buah hatiku daripadanya, aku lebih dahulu mengandungnya (sperma) sebelum ia mengandung dalam rahimnya. Aku lebih dahulu melahirkannya (menyemprotkannya) sebelum ia melahirkan dari rahimnya. Aku adalah bapaknya, dan kepada bapaknya lah anak ini dinisbahkan,” ucap Abu al-Aswad sambil meyakinkan Mu’awiyah.
Mendengar argumen Abu al-Aswad, sang mantan istri pun tak mau kalah. Ia pun langsung menimpali argumen Abu al-Aswad.
“Memang benar apa yang dikatakan Abu al-Aswad. Ia memang lebih dulu mengandungnya, akan tetapi ia mengandung dengan ringan, sedangkan aku, mengandungnya dengan berat dan susah payah. Ia memang melahirkannya, akan tetapi ia melahirkannya dengan syahwat yang enak, sedangkan aku, melahirkannya dengan perih dan sakit. Saat aku mengandung buah hatiku, perut ini tak ubahnya tempat berlindung baginya,” papar mantan istri Abu al-Aswad dengan kalem namun tetap tegas.
Mu’awiyah pun menimbang argumen mantan pasangan suami-istri yang berselisih ini. Agaknya argumen mantan istri Abu al-Aswadlah yang mempunyai kekuatan lebih. Kali Mu’awiyah pun memutuskan, seraya berkata “Wahai Abu al-Aswad, berikan anak itu kepada ibunya! Ia lebih berhak atas anak itu daripada engkau.”
Abu al-Aswad pun terdiam tanpa membela, sepertinya ia menerima keputusan itu. Wallahu A’lam. (Sumber bacaan: Tarikh Madinatu Damishq, karya Ibnu Asakir [25/202-203])