Dalam pagelaran kesenian Tari Topeng Lengger Wonosobo atau kerap disebut lenggeran, tentunya sudah tidak asing lagi dengan cakepan, parikan atau syiir yang biasa dilantunkan.
Syiir atau parikan yang kerap dibawakan untuk menyelingi tari dan alunan gamelan ini, jika didengarkan lebih jeli ternyata ada pesan dakwah atau ajakan. Atau juga memiliki makna tersirat dari sebuah kalimat per kalimat yang dibawakan dalam pentas lenggeran di Wonosobo ini. Meskipun sebenarnya itu adalah bagian dari perkembangan atau bentuk kreatifitas dari penulis parikan atau para seniman tersebut.
Pertama, cakepan atau parikan atau syiir ini dipakai sebagai selingan dari alunan gamelan agar lebih variatif. Kemudian, ketika bertanya pada sesepuh yang berkiprah di kesenian lenggeran ini, jawabannya “dulu malah hanya ungkapan “lo elo elo hoh..” atau lebih rapi lagi “Yola elo ya elolaa..”
Frasa tersebut jika dirunut lebih detail maksudnya ungkapan dari kalimat “la Ilaha illa Allah”, bahwa setiap tindakan apapun untuk selalu mengingat Tuhan. Cakepan (syiiran) pada Tari Lengger Wonosobo ini disajikan dengan berbagai macam variasi serta perkembangan dari masing-masing grup (rombongan) tari Lengger ini.
Nah, sebagai kesenian tradisi misalnya, ketika pentas dan memang ‘pakem’ nya dari zaman dahulu seperti itu menjadi lumrah. Namun ketika zaman juga berkembang, sesuatu hal yang monoton, misalnya seperti parikan yang itu-itu saja bakal tergerus zaman. Maka dari itu, tak heran jika sampai sekarang ini banyak variasi dalam lenggeran, terutama yang bakal dibahas pada tulisan ini menyoroti syiir atau parikannya. Parikan, atau syiir tersebut tentu setiap rombongan Lengger memiliki kreasi yang berbeda-beda. Istilah sekarang ya ATM (Amati, Tiru, Modifikasi).
Tapi dengan perjalanan sampai sekarang ibarat ‘pakem’ nada hingga masih sama utuh hanya parikannya yang berkurang kalimat atau bertambah dan sebagainya. Hal ini disebabkan dalam proses pentransferan, nyalur ide hal syiir ini hanya modal getok-tular, mendengar dan baru dipraktekkan atau waton muni sek. Dari masing-masing rombongan pun memiliki kreasi tersendiri, maka dari itu banyak lagu atau parikan yang dikutip dari sholawat ayun-ayun, hingga sholawat emprak khas Mataram.
Membaca Garis Sanad Tari Lengger ke Sunan Kalijaga
Jadi jika menyambung pandangan bahwa kesenian tari Lengger ini karya Sunan Kalijaga ada beberapa kemungkinan. Meskipun bukan secara langsung bagian dari dakwah Sunan Kalijaga, namun secara ikatan atau sanadnya bisa nyambung ke Sunan Kalijaga. Sebagaimana diungkapkan oleh Kiai Jadul Maula pada sebuah acara Pagelaran Sholawat Emprak Peringatan Maulid Nabi 1443 H di Demak.
Dalam unggahan video kanal YouTube YSKK Channel pada (11/12/21) dari akun resmi Yayasan Sunan Kalijaga Kadilangu, Kiai Jadul Maula menjelaskan bahwa ciri ciri paradigma Sunan Kalijaga ini yaitu ada tembang, musiknya juga ada tariannya. Nantinya, hal ini bisa nyambung bahwa lenggeran ini membawa spirit dakwah Sunan Kalijaga yang disebarkan melalui kode-kode tadi.
Dalam lenggeran, ada alunan musik gamelan, ada tariannya, dan ada juga cakepan atau parikan syair yang menyertai pagelaran. Kode tersebut sanadnya bisa sampai atau nyambung ke keturunan secara nasab atau sanad keilmuan secara dakwah dan pemikiran. Ada ungkapan lagi mengenai lenggeran ini, cakepan parikan, syiir lengger ini disebarkan melalui jalur anak cucu baik jalur gen maupun silsilah keilmuan.
Nah dari tokoh yang masih satu jalur dengan sunan Kalijaga diteruskan dan disebarkan hingga ke Wonosobo, melalui kode atau pada lenggeran ini. Meskipun perkembangan cakepan lenggeran dari masa ke masa ini, bisa dilihat baru tahun-tahun 70 hingga 90- an. Cakepan atau parikan, syiir ini perkembangannya juga menyesuaikan situasi saat itu, baik politik hingga nanti pada makna yang lebih tasawuf atau makna sufistik.
Tentunya ini adalah bagian dari interpretasi atau istilah bahasa arabnya yaiut tadabbur atas perkembangan karya parikan, cakepan atau syiir dalam lenggeran di Wonosobo. Wallahu a’lam bisshowab.