Moderasi agama merupakan sebuah cara pandang dalam beragama dengan tidak mengamalkan ajaran agama secara ekstrem. Penulis di sini menghindari istilah radikal yang terkadang menjadi melebar atau salah kaprah yang sering dibenturkan dengan moderat. Padahal jika kita jeli radikal atau radix adalah cara pandang yang mendalam sampai akar-akarnya.
Tolak ukur dalam moderasi agama diantaranya adalah sebuah nilai kemanusiaan, kesepakatan bersama. Nilai kemanusiaan merupakan salah satu inti dari ajaran agama, perbedaan yang terjadi bukanlah persoalan yang mengganggu keharmonisan antar umat manusia.
Kesepakatan bersama dalam masyarakat menunjukkan kerja sama antar umat beragama sehingga dapat menutupi kekurangan satu sama lain. Salah satu tujuan agama yaitu menciptakan ketertiban di tengah kehidupan bersama, ketertiban umum dalam beragama dapat memicu suasana beragama yang moderat dan suasana yang nyaman.
Moderasi atau toleransi yang ada di Desa Buntu sudah diterapkan jauh-jauh hari tanpa disuruh dengan teori yang selama ini telah digaungkan. Yang terjadi di Desa Buntu tanpa anjuran atau instruksi untuk guyub rukun dan haromonis sudah menjadi lelaku hidup para warga.
Sebuah pengalaman yang sangat berkesan selama menjalani Kuliah Kerja Nyata bisa belajar di sebuah desa yang merupakan miniatur dari keberagaman yang ada di Indonesia, Desa Buntu. Di desa ini, semua masyarakat membaur menjadi satu terlepas dari background agama maupun golongan yang ada. Islam sebagai agama yang dominan dapat menyatu dengan agama lain yang ada di sini, yaitu agama Katholik dan Buddha.
Sejak minggu pertama setelah dilakukan sowan ke beberapa tokoh masyarakat baik yang beragama Buddha maupun Katholik, penulis mendapatkan suatu kesan bahwa sangat disambut dengan baik meskipun baru kenal sebentar. Menyapa dengan tanpa rasa canggung, membicarakan hal serius hingga bercanda seakan tidak ada sekat. Saling sharing dan menceritakan rutinitas ibadah masing-masing sebagai pengetahuan diri, atau menjelaskan kepengurusan gereja hingga akhirnya kita mengobrol tentang musik, badminton, dan kopi. Semua perbincangan mengalir dengan santai dan apa adanya.
Sebagaimana yang diceritakan oleh teman seperjuangan pengabdian ketika membersihkan tempat ibadah umat Buddha, Wihara Vajra Bumi Mandala Putra. Hal yang membuat ia kagum dan tersentuh ketika disambut oleh seorang bapak paruh baya yang dengan ramah mempersilahkan, serta seorang ibu dari sekitar Wihara yang membukakan pintu dan memberikan pengarahan soal bagaimana cara membersihkan Wihara.
Singkat cerita selesai membersihkan tempat ibadah, ia dipersilahkan untuk mampir ke rumah salah satu keluarga sekitar Wihara yang beragama muslim. Lanjut disuguhi teh hangat dan berbagai cemilan tradisional seperti rengginang dan opak (makanan khas Wonosobo).
Setelah mendengarkan cerita dengan cair dan hangat teman penulis baru sadar bahwa bapak paruh baya tersebut beragama Katholik. Sungguh hubungan yang harmonis dan menyenangkan bukan? Senyum tulus dari keramahan yang mereka tunjukkan membuat teman penulis berfikir bahwa perbedaan bukanlah halangan dan bukan suatu alasan untuk acuh dengan orang lain.
Mengunjungi Sekolah Minggu Buddha
Pengalaman lain ketika berkesempatan mengunjungi Sekolah Minggu Buddha (SMB), semacam kelompok belajar yang dilakukan di Wihara dan dibimbing oleh seorang guru dan dilakukan setiap hari Minggu. Sekolah minggu merupakan sarana belajar pendidikan keagamaan bagi anak-anak beragama Buddha layaknya pendidikan agama pada sekolah formal. Kami bertemu dengan guru sekolah minggu yang ternyata berasal dari kecamatan lain yaitu Kecamatan Sukoharjo yang berjarak kurang lebih 33 kilometer dari desa ini. Beliau seorang wanita yang sangat ramah.
Kegiatan sekolah minggu diawali dengan ‘Namaskara’ yaitu sikap sujud dengan lutut, jari kaki, dahi, siku, dan telapak tangan semuanya menyentuh lantai sebagai wujud penghormatan kepada Sang Buddha. Setelah itu semua murid diajari meditasi untuk menenangkan suasana. Meditasi merupakan salah satu ajaran dalam agama Buddha untuk mencapai ketenangan dengan memusatkan pikiran.
Meditasi pun menjadi salah satu cara menempuh ketenangan di kalangan umum. Setelah selesai meditasi, anak-anak belajar tentang budi pekerti, etika, cerita, moral, dan juga bernyanyi tentang tembang kasih semesta.
Agama Buddha merupakan agama minoritas di Desa Buntu sehingga jumlah murid yang mengikuti sekolah minggu tidaklah banyak, meskipun begitu kelas berjalan kondusif. Di tengah tembang kasih semesta dilantunkan, para murid diajari tentang budi pekerti dan etika sehingga murid tidak cepat bosan. Salah satu pelajaran yang masih diingat ketika membahas tentang Pancasila Budhis yang berisi lima dasar moral dalam agama Buddha.
Pancasila Budhis berisi larangan membunuh, mencuri, berbuat asusila, berdusta, serta larangan mabuk-mabukan. Guru atau fasilitator menjelaskan secara berulang-ulang memastikan setiap murid anak-anak hingga murid yang berusia remaja mampu memahami isi Pancasila tersebut beserta konsekuensi pelanggaran terhadap setiap silanya. Kelima isi Pancasila memiliki relevansi sebagaimana pada ajaran dalam Islam.
Membunuh makhluk Tuhan merupakan perbuatan yang diharamkan dan menimbulkan dosa besar, begitu pula dalam agama Buddha diterangkan bahwa membunuh merupakan sebuah pelanggaran hukum dan tingkah laku karma buruk. Begitu pula kegiatan lain seperti mencuri dan berdusta dapat merugikan orang lain dan diri sendiri pada akhirnya sehingga dilarang dalam Agama Islam maupun Buddha.
Berbuat asusila dapat menyebabkan dosa serta dampak lahir seperti penyakit kelamin, “Pebuatan asusila akan menyebabkan keabnormalan pada keturunan hasil hubungan tersebut,” kata Ibu Bariyarti yang merupakan guru sekolah minggu. Selanjutnya, tindakan mabuk-mabukan dapat menimbukan perbuatan tidak baik karena efek hilang akal yang ditumbulkan dari minuman beralkohol tersebut.
Sekolah Minggu Buddha (SMB) sebagai tempat belajar keagamaan Buddha mengajarkan dasar-dasar serta praktik dalam beragama melalui cara yang ramah dan menyenangkan karena diselingi dengan tembang keagamaan yang membuat murid tidak merasa bosan namun ajaran keagamaan masih dapat tersampaikan dengan baik.
Selain itu terdapat banyak apresiasi berupa hadiah bagi murid yang memperhatikan dan dapat menyelesaikan tugas dengan baik. Sungguh Desa Buntu memang merepresentasikan keberagaman yang ada di Indonesia.
Perbedaan agama dalam satu keluarga kadang ditemukan di desa ini, dan itu bukan sekadar cerita belaka tetapi menyaksikan sendiri seorang anak belajar di Sekolah Minggu Buddha diantar oleh seorang ibu yang berkerudung serta ada beberapa murid sekolah Buddha yang ternyata hafal doa-doa dalam Islam bahkan pernah menang lomba sholawatan.
Ya, seperti ini indahnya keharmonisan di desa labolatorium kebhinekaan ini, murni, tidak dibuat-buat, namun terbangun secara alamiah, sebagaimana diwariskan oleh para pendahulu. Leluhur desa berpesan untuk tetap “nggayuh katresnan ing paseduluran.” (Mencari atau menjaga kasih sayang dalam persaudaraan).