Sedang Membaca
Desa Mawa Carita Buntu (2): Agama Ageming Aji Desa Buntu

Pelajar di Islamic Home Schooling Fatanugraha Wonosobo, sedang mengaji Tari Topeng Lengger yang ada di Wonosobo.

Desa Mawa Carita Buntu (2): Agama Ageming Aji Desa Buntu

Whatsapp Image 2022 08 30 At 21.50.38

Desa Buntu waktu itu tidak seperti yang dilihat seperti sekarang ini, dari segi perkembangan infrastruktur tentu berbeda, tetapi dari segi keharmonisan dan guyub rukun dari dahulu sampai sekarang masih seperti sediakala, begitu menurut Mbah Suro ketika ditemui di kediamannya.

Sejak dari awal pun tidak ada persinggungan tekait dengan kepercayaan maupun agama. Agama di desa ini bukanlah warisan yang diturunkan dari orang tua ke anak-cucunya melainkan sebuah proses tahapan pencarian dari masing-masing individu. Bahwa agama sebagai lelaku untuk membangun jiwa, jika serius maka jiwa dalam diri seseorang akan terbangun.

Seperti kita ketahui bersama, secara lahiriyah kesucian manusia jika sesuai dengan petunjuk nurani pada hati maka dalam berlaku dan bersosial akan muncul kebaikan, hanya saja semakin ke sini dibutuhkan yang namanya pedoman, dan pedoman itu adalah yang menuntun kita dari “sangkan paraning dumadi” dari mana kita berasal dan mau ke mana kita kembali. Maka diturunkanlah kitab suci sebagai pijakan kita menempuh jalan tersebut dan petunjuk agar sesuai koridor dari Sang Pencipta.

Agama ageming aji, yang artinya agama adalah pakaian orang mulia. Jika seseorang berbaju (ngrasuk) agama tetapi belum ada kesiapan mental-spiritual maka yang terjadi adalah kemunafikan, berbaju agama tapi tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Baca juga:  Berhaji dengan Kapal Laut

Agama merupakan pakaian yang sangat “aji” (barang yang berharga nantinya sulit untuk dinilai dengan uang). Ageman memiliki arti pakaian. Jadi agama adalah pakaian bagi manusia. Inilah yang diyakini orang Jawa bahwa berpakaian haruslah kita merasa nyaman. Jika tidak, maka kita akan merasakan rasa yang tidak enak, tidak nyaman, karena kurang tepat. Misalnya kegerahan, kedinginan, atau bahkan gatal. Itulah ibarat beragama yang tidak “nyaman” bagi jiwa kita.

Maka untuk urusan agama adalah urusan pribadi, urusan umat atau masyarakat yang dirukunkan, tetapi urusan agama jangan dirukunkan karena urusannya dengan Sang Pencipta, sehingga tidak ada respon apapun terhadap agama lain. Soal ukurannya nanti kembali ke dalam diri individu masing-masing dengan batinnya.

Sikap menghargai kepada sesama di desa Buntu ini sudah mulai ditanamkan sejak dini. Dengan dibuktikannya pengajaran pada PAUD di desa ini yang diwadahi oleh kader PKK Desa Buntu Kejajar Wonosobo. Dalam mengajar anak-anak, para guru sebagai fasilitator menggunakan basa Jawa “kromo inggil“. Hal ini dilakukan agar anak-anak kelak memiliki pribadi yang luhur dengan sopan santun dan “unggah-ungguh” kepada orang yang lebih tua atau siapapun. Pun dengan kurikulum ajar seperti itu juga bertujuan untuk memberikan pemahaman lebih  kepada anak-anak tentang pentingnya melestarikan budaya lokal serta bahasa daerah sendiri dan tidak kelangan kumandange (tidak dilestarikan).

Baca juga:  Drumband NU: Syiar Islam dan Sarana Propaganda

Selain itu juga dalam hal budaya moderasi beragama di desa ini membiasakan dengan menghindari diskusi tentang agama ataupun golongan. Sebagaimana dituturkan oleh Sulistyono ketua RW.01 Desa Buntu, bahwa warga Desa Buntu dalam bermasyarakat atau sesrawungan tidak menyinggung atau menghindari membahas terkait dengan agama, kepercayaan, dan golongan apapun baik dalam forum maupun diskusi empat mata. Hal ini juga selaras seperti yang disampaikan Kepala Desa Buntu, Suwoto menjelaskan bahwa masyarakat desa ini sangat menjunjung erat tali persaudaraan.

Hal ini pula yang menjadi awal mula atau penyebab kerukunan yang sangat kuat walaupun di tengah perbedaan agama maupun lainnya. Peristiwa seperti ini tidak perlu diherankan di desa Buntu ini. Karena desa ini memiliki tingkat kesadaran yang sangat tinggi akan kepedulian sosial.

Kearifan seperti aterater (memberikan makanan atau bingkisan ke tetangga dekat) atau saling membantu ketika sedang kesusahan. Seperti pada kasus di desa ini, pernah suatu hari sebelum H-1 lebaran salah satu rumah warga terkena musibah kebakaran, secara otomatis dengan sukarela dan swadaya masyarakat desa Buntu ngguyubi untuk bisa membangunkan rumah kembali seperti sediakala atau jika meminjam bahasa orang di desa “biso bodho maneh”. Bisa ikut merasakan lebaran kembali.

Baca juga:  Kamus Melayu Islami Pertama (1): Bahasa Melayu dengan Ilmu Linguistik Arab

Pada saat mau membangun bangunan katakanlah masjid dari berbagai elemen masyarakat tidak lepas turut andil, dari segi tenaga, pikiran dan materi, yang lebih nyata ya seperti ngecor bersama. Sebaliknya, dari pihak Buddha atau Katholik dalam membangun rumah ibadahnya semua masyarakat pun ikut mangayubagya berperan dalam kegiatan tersebut. Jadi jika ditelisik hidup bebrayan agung di desa ini memang mengasyikkan tidak bisa lepas dari nilai gotong royong sebagaimana tertuang dalam tembang “Gugur Gunung”, tetep gugur gunung tandang gawe!

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top