Ada beragam cara seorang mengungkapkan rasa cinta (mahabbah) kepada kekasihnya, seperti halnya mengungkapkan cinta kepada nabi jujungan seluruh alam: Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Misalnya ketika dituangkan dalam berkesenian seperti di Wonosobo, melalui tari topeng lengger. Ketika tarian tersebut dipentaskan sebelum tarian dimulai dari pertunjukkan topeng per topeng biasanya, dilantunkan sholawat menyelingi parikan (baca: syiiran atau tembang). Agar selama pentas diharapkan tidak ada marabahaya tetapi menjadi sebuah tolak balak.
Lain hal pada rumah-rumah dengan model Joglonan khas Jawa, orang terdahulu mengaktualisasikan rasa kecintaan kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw melalui saka atau patok, penyangga dalam rumah. Sebagaimana contoh manifestasi rumah Jawa tidak lepas dari Nabinya maupun sahabat dan ahlul baitnya.
Dari awal pintu digambarkan sebagai Sayyidina Ali, bahwa setiap rumah orang muslim Jawa itu dianggap sebagai Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Ana madinatul ‘ilm (akulah kota/rumah ilmu). Pintu rumah itu adalah Baginda Ali. Wa ‘aliyyun babuha (dan Ali adalah pintunya). terlepas dari tingkatan hadits tersebut, tetapi itu adalah sebuah amsal atau ibarat yang dituangkan menjadi simbol pintu. Nantinya diantara pintu ada istilah “kusen” atas dasar itu, Kusen adalah ruang-ruang kecil di atas pintu, tempat angin biasa hilir-mudik. Jadi, gambaran rumahnya adalah Kanjeng Nabi. Pintunya adalah Ali. Jalan keluar-masuk udara di atas pintu itu adalah Husein.
Sementara untuk empat pilar penyangga di bagian tengah rumah itu, adalah Baginda Karsidik (Abu Bakar as-Shiddiq), Baginda Markotob (Umar bin Khatthab), Baginda Ngusman (Utsman bin ‘Affan), dan Baginda Kasan (Hasan bin Ali bin Abi Thalib). Memasuki ke ruang tengah, yang biasa dijadikan sebagai tempat untuk refleksi diri. Nanti adalah Ibu Dewi Sri Pertimah (Sayyidah Fathimah az-Zahra). Memang terlihat sederhana tetapi jika digali lebih maknanya sangat berkesan.
Lain lagi amsal dengan simbol yang terbuat dari telur setangkai telur yang bernama “endog tigan” itu disebut endog sangganing jagad atau telur penyangga tiga jagad raya (triloka) yaitu dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah. Endog tigan atau Telur itu sendiri menyimbolkan bumi atau dunia tengah. Di atasnya, adalah simbol dunia atas atau langit. Sedangkan di bawah telur itu, yang merumbai menyulur seperti bebungaan bercitra flora adalah simbol dunia bawah.
Nah, Endog tigan dikemas secara sedimikian rupa setiap bulan maulid di upacara Sekaten di Yogyakarta sekadar untuk mengungkapkan bahwa Kanjeng Nabi adalah penyangga jagad raya. Terkadang terlihat “remeh” bahkan sederhana barang tersebut menyerupai mainan anak-anak yang harganya tidak seberapa dibandingkan dengan lego atau mainan mobil-mobilan hot wheels. Namun lihat apa yang dibicarakan oleh endog tigan itu, adalah Kanjeng Nabi.
Kemudian pada arsitektur masjid pun juga hampir sama dengan yang tergambar pada rumah. Tepatnya saka guru atau penyangganya, umpak atau bagian bawah penyangga juga tergambarkan pola kaligrafi lafadz “Muhammad, Rosulullah,” dan kalimat tayyibah lainnya dengan khat khas Jawi, jadi harus lebih teliti sebab memang rumit tidak mengandung makna apa-apa jika kita dilihat sekilas. Umpaknya terukir asma “Muhammad” dan kayu pilarnya mempertegas dengan ukiran “Rasulullah”. Maka dari itu cara pandang kita harus detail dengan rasa sehingga nantinya rasa bakal membuka yang rahasia.
Begitulah sekilas ungkapan rasa katresnan cinta kepada Kanjeng Nabi Muhammad yang digambarkan oleh para leluhur kita untuk diambil hikmahnya menjadi bahan refleksi diri bahwa ada beragam cara meluapkan kerinduan selain dengan ucapan tetapi dengan meniru tingkah laku (akhlak) dan lewat pangrasa atau rasa itu sendiri.