Sudah lama tidak bertemu, beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengobrol dengan seorang teman lama yang sekarang mengelola pesantren di sebuah kabupaten di pulau Jawa.
Di teras rumahnya yang teduh, di bawah rindang pohon mangga, angin bertiup membawa suasana santai ala pedesaan. Di meja bulat yang dikelilingi empat kursi kayu, kami asyik-masyuk ngobrol kenangan, bernciang masa lalu.
Tidak ada topik khusus di antara perbincangan kami yang santai. Kami hanya bicara ringan diselingi seruputan kopi dan singkong goreng panas yang citarasanya mampu membawa lamunan ke era tahun 80-an.
Sebagai dua teman lama yang dilanda kangen, kami tak ingin diganggu dengan tema-tema serius ala webinar. It’s time to guyon ndeso.
Namun guyon maton ini tak mampu bertahan lagi saat saya menanyakan pendidikan apa saja yang ada di pesantrennya. “Pesantrenmu iki isine opo kabeh, Bro?” tanyaku.
“Banyak dan lengkap Nda…!” tukasnya dengan aksen Jawa yang medok. Ada madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, dan juga madrasah aliyah. Bahkan ada pula SMK. “Yang kurang hanya perguruan tinggi,” jawabnya penuh semangat.
“Terus, ada ngajinya gak?” tanyaku mulai serius.
“Ya pasti lah, namanya juga pesantren. Cuma ya tidak sebanyak zaman mbahku dulu,” tuturnya sembari nyengir.
Sebagai generasi ketiga pendiri sebuah pesantren salaf, ia mencoba bertahan di tengah terpaan pancaroba zaman yang terus berubah.
Saya suka dengan gaya dan sepak terjang orang satu ini. Ia bukan tipologi kiai salaf, kiai tradisioanl, yang selalu menunduk di tengah zaman yang hingar bingar. Namun juga tidak hanyut dalam dinamika perubahan yang menyeret pada pola pendidikan pragmatis.
Dahulu ia biasa-biasa saja, tak tampak sebagai pribadi yang menyimpan visi jangka panjang. Namun dalam perjalanan hidupnya, ia sukses mewakafkan dirinya berkhidmat pada dunia pendidikan, khususnya pesantren.
Dalam diskusi santai diselingi canda tawa yang renyah, pikiran saya menerawang jauh ke langit. Pesantren sekarang pada umumnya tidak melulu mengurus ngaji saja, tafaquh fid-din, tetapi juga sekolah formil.
Fenomena ini saya lihat sudah lama terjadi. Pondok pesantren sekarang ini rata-rata sudah dilengkapi dengan madrasah ataupun sekolah umum. Kalau pesantren sudah terseret pada formalisasi pendidikan, lalu dikemanakan orisinalitas mereka yang membanggakan dulu?
Ingatan saya tertuju pada tulisan Karel Steenbrink. Dalam bukunya “Pesantren, Madrasah, Sekolah” yang ditulisnya tahun 1986, ia sudah melihat pesantren memikul beban ganda identitas diri dan tuntutan zaman. Sejak dekade 80-an telah terjadi pergeseran pola pendidikan di pesantren menjadi lebih saintifik.
Deviasi terjadi pada kelembagaan dan juga kurikulumnya karena pesantren ramai-ramai mendirikan sekolah formal.
Temanku menyeruput kopinya. Suara cangkirnya yang beradu dengan lepek menghentikan lamunanku.
Aku bertanya dengan nada menggugat. “Kamu gak tertarik pondokmu seperti zaman kakekmu dulu? Maksudku, kurikulumnya hanya fokus pada tafaqquh fid-din, pengajaran agama saja?”
“Sebenarnya tertarik,” jawabnya sembari menghela napas panjang. “Tapi …”
Aku tak sabar menunggunya menyelesaikan kalimat. “Tapi apa masalahnya?” Cangkir kopi yang isinya hampir habis itu aku letakkan di meja. Aku nerocos lagi. “Gini loh, Nda. Pendidikan pesantren itu ke depan akan dikembalikan ke habitatnya lagi, seperti zaman dulu.”
Pesantren itu seyogianya menjadi jalan lempang ke akhirat. Jadi fokusnya hanya pada pendalaman agama saja. Pundak santri tak perlu memikul beban lain selain pelajaran agama penyebar nilai akhlaqul karimah.
Bila selama ini pesantren sudah mengalami gejala ‘sainstisme’, dan asumsi filosofisnya sudah kemasukan angin positivisme- materialisme, maka sekarang saatnya kembali ke selera asal.
Pesantren bukan pabrik ilmuwan dan pemikir sekular, tetapi begawan agama yang humanis. Untuk itu sebenarnya pemerintah sudah membuka pintu seluas-luasnya.
Skemanya melalui tiga lembaga, untuk tingkat dasar dan menengah melalui “Pendidikan Muadalah” dan “Pendidikan Diniyah Formal.” Sedang untuk tingkat tinggi melalui “Ma’had Aly.”
“Trus kurikulumnya ikut siapa?” tanya temenku sambil mengernyitkan dahi.
“Ya ngikut pesantren, tetapi pemerintah melegitimasi”, jelasku.
Kalau tingkat Muadalah dan Ma’had Aly kurikulmnya dibuat sendiri oleh pesantren. Yang Diniyah Formal dibuat oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama.
“Tetapi semua itu berbasis kitab kuning,” jelasku.
“Terus lulusannya diakui tidak? nanti sulit kuliah, apalagi kerja?” sergah temanku.
“No problem” sergahku. Semua lulusan tiga lembaga itu akan diberikan ijazah, bisa dipakai untuk melanjutkan ke satuan pendidikan lanjutannya, dipakai di luar negeri, dan juga bisa dipakai untuk berkompetisi di dunia kerja.
“Wah menarik ini,” temanku mulai antisuas.
Tetapi masih ada keraguan di matanya. “Tapi, gimana ya Bung, dunia ini kan sudah berubah. Orang-orang yang belajar agama saja teralienasi dari kemajuan zaman?” ungkapnya datar.
“Ah masa bodoh” Di dunia ini, orang yang pekerjaannya sesuai dengan latar belakang pendidikannya hanya lima persen. Selebihnya adalah karena ikhtiar, doa, dan nasib.
Tak usah risau kalau anak-anak kita hanya mendalami ilmu agama saja. Sepanjang serius dan mendalam, pekerjaan apa pun akan cocok. Karena ilmu agama itu bukan untuk mencari pekerjaan, tapi untuk memandu hidup menjadi lebih baik dan lebih dekat dengan Allah.
Lalu kami terkekeh bersama. Bedanya, temenku sambil manggut-manggut, aku tidak.