Beberapa waktu lalu, di sebuah lorong kantor tempat saya bekerja, saya bertemu teman yang sudah agak lama tidak bertemu. Maklum, meski kami satu gedung, kami hanya sesekali bertemu karena masing-masing dari kami “disibukkan” oleh rutinitas yang menyebalkan.
Temanku yang seorang pejabat ini begitu bertemu selain menanyakan kabarku juga menanyakan kelanjutan pendidikan anakku yang kemarin baru lulus dari Madrasah Ibtidaiyah. Maklum, waktu itu adalah musim tahun ajaran baru pendidikan.
“Ke pesantren pak,” jawabku
“Pesantren di mana kang?” Tanyanya
“Di Jawa pak,” jawabku
“Hanya belajar di pesantren saja atau juga belajar di tsanawiyah atau esempe,”? Tanyanya lebih detail
“Di pesantren saja pak, tepatnya di Muadalah pak,” jawabku.
“Lho…!?!??”
Saya tahu, temenku ini agak kaget dengan jawabanku, meskipun saya tidak bisa memastikan apakah kagetnya itu karena baru pertama kali mendengar istilah Muadalah, ataukah karena hal lain.
Saya yang bekerja di lembaga yang sedikit banyak bersentuhan dengan pendidikan Muadalah saja masih sering menemukan teman-teman se kantor yang belum mengerti dengan Muadalah, apalagi orang lain, terlebih masyarakat umum.
Tapi ini hanyalah soal waktu, pikirku. Suatu hari nanti, semua pasti akan paham dengan salah satu jenis pendidikan yang ada di pesantren ini. Bahkan, semua pesantren pada saatnya nanti juga akan memiliki pendidikan Muadalah.
“Hebat sampean kang,” tiba-tiba temenku meneruskan pembicaraan.
“Di mana hebatnya? Bukankah ada ribuan bahkan mungkin jutaan orang tua yang juga menaruh anaknya di pesantren,” tanyaku agak penasaran.
“Benar, ada jutaan orang tua yang menarih anaknya di pesantren, tapi itu juga sambil belajar si pendidikan formal semacam madrasah atau sekolah. Tidak semua orang tua berani menaruh anaknya di pesantren yang hanya mengaji saja,” terangnya.
Saya menduga pujian temenku ini hanya basa-basi dan puja-puji, eufemisme, dan “abang-abang lambe” sebagai pemanis diskusi saja.
Namun jika dipikir-pikir, ada benarnya juga pernyataan temenku ini. Sekarang adalah era pendidikan formal yang ditandai dengan pengakuan selembar ijazah. Segala jenis pendidikan diukur hanya dari ada tidaknya ijazah, bukan kualitas lulusannya.
“Eh…, tapi pendidikan Muadalah itu formal atau gak? Maksudku, ada ijazahnya gak kang?” Tanyanya sedikit ragu.
“Ada pak,” jawabku santai.
Benar dugaanku, argumen temenku tadi hanyalah pujian, karena mayoritas orang tua sebenarnya ‘ragu’. Maksudnya hal yang paling banyak dipertimbangkan orang tua ketika akan menempatkan anaknya di pesantren, yaitu ijazah.
Ini memang menyakitkan, betapa pendidikan yang memiliki kedudukan mulia, oleh masyarakat secara keseluruhan lebih banyak dimaknai dengan sekolah formal. Hanya orang sekolah formal lah yang dianggap berpendidikan. Selebihnya, orang yang alim allamah (menguasai banyak ilmu dengan mendalam) tapi karena tidak sekolah formal, tidak dianggap berpendidikan. Tapi inilah kenyataan yang terjadi di negeri kita. Dunia memang telah berubah. Hanya orang yang memiliki ijazahlah yang dianggap berpendidikan.
“Kalau begitu, di mana menariknya pendidikan Muadalah kang?” Tanya temenku penasaran.
Nah, ini pertanyaan yang aku tunggu-tunggu, batinku.
Meskipun pendidikan Muadalah sekarang ini masih asing di telinga, tapi ini adalah lembaga yang ke depan bisa mengembalikan fungsi pesantren sebagai tempat mencetak para ulama.
Pendidikan Muadalah ini terlembaga, klasikal dan sistemik. Para lulusannya akan diberikan pengakuan oleh negara setara dengan satuan pendidikan lainnya, sebagaimana pendidikan madrasah atau sekolah.
“Lalu di mana menariknya kang?” Temenku kembali mengulangi pertanyaannya, mungkin karena gak sabar.
“Independensi dalam menyusun kekhasannya pak,” aku juga mulai terpancing tidak sabar.
“Maksudnya?” Selantemenku
Gini pak, ketika semua kurikulumn dan output pendidikan ingin diseragamkan, maka kebebasan mengekspresikan kekhasan dalam menyusun kurikulum dan mencetak lulusan adalah keistimewaan. Seperti kita tahu ya pak, lanjutku, dalam beberapa dekade terakhir, pesantren di samping mengadakan pengajian kitab kuning, mereka juga menyelenggarakan pendidikan formal yang kurikulumnya menginduk pada pemerintah dan seragam. Nah sekarang, dengan pendidikan Muadalah, pesantren diberi kewenangan menentukan kurikulumnya sendiri, yang penting berbasis kitab kuning. “Ini kan menarik pak,” yakinku.
“Terus bagaimana mengukur kualitas satu Muadalah dengan Muadalah lainnya kang?” Tanya temenku makin penasaran.
Dengan kewenangan ini, mungkin antara satu pendidikan Muadalah dengan pendidikan Muadalah lainnya bisa jadi kurikulumnya berbeda dan kualitas lulusannya juga berbeda. Tapi ada standar minimal yang harus sama. Misalnya kalau lulusan Muadalah Awaliah, ya dia harus fasih baca Safinah, kalau lulusan Muadalah Wustho ya harus hafal Imrithi dan lancar membaca Fathul Qorib, kalau Ulya ya hafal Alfiyah dan lancar baca Fathul Muin. Intinya ada kemampuan minimal yang sama, meskipun kedalaman penguasaannya antara satu Muadalah dengan Muadalah lainnya berbeda.
Jujur ya pak, lanjutku, ini tantangan keluarga besar pesantren, betapa sedihnya kita jika ada orang tua yang ragu menempatkan anaknya di pesantren karena anaknya nanti tidak memiliki ijazah formal, yang dianggapnya tidak bisa meneruskan ke perguruan tinggi, atau setelah lulus tidak bisa berkompetisi di dunia kerja.
Ini juga tantangan bagi pesantren ketika ada masyarakat yang berargumen bahwa belajar di pesantren itu tidak prospektif karena hanya mempelajari agama saja. Sementara dunia ini tantangannya begitu kompleks, tidak hanya melulu soal agama.
“Jadi, Pendidikan Muadalah ini adalah jawaban pak. Jawaban atas kegelisahan para pengasuh pesantren karena kekhasan pesantren telah tergerus pendidikan formal, juga jawaban terhadap keraguan para orang tua tentang masa depan sang anak,” jawabku.
Saya menangkap keyakinan temenku ini mulai paham dengan jenis Pendidikan Muadalah, badannya sedikit rileks, dan sesekali mengangguk-anggukan kepalanya.
Saya percaya bahwa apa yang ditakutkan orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya hanyalah hitung-hitungan matematika saja, selebihnya adalah urusan Yang Maha Kuasa.
Sampean jadi imam, saya ikut jamaah ya pak, kataku seraya melafalkan iqomah.