Manusia merupakan makluk sosial, karenanya ia senantiasa berinteraksi satu sama lain, saling tolong-menolong (ta’awun), bekerja sama dalam membangun atau mewujudkan prinsip bersama (syirkah), dan melakukan bisnis lewat akad niaga (tijarah / buyu’, musaqah, muzara’ah dan mukhabarah). Manusia juga saling berempati dalam menanggung beban (kafalah) dan penegakan hukum (tahkim).
Akibat interaksi ini, lahirlah berbagai prinsip-prinsip dasar akad muamalah dan cabang-cabangnya. Dari kesekian prinsip itu, kita coba untuk menelusuri perkembangan dari konsep ta’awun (tolong menolong) dan cabang-cabangnya dasarnya dalam fikih.
Penulis mencoba menggabungkan konsep sejarah ini dengan jurisprudensi Islam, berbekal sepenggal pengetahuan yang penulis rangkum dari catatan sejarah karya Umar Faruq, yang berjudul Al-‘Arab Wa Al-Islam Fi Haudl Asy-Syarqi Min Al-Bahr Al-Abyad Al-Mutawassitah, dan diterbitkan oleh Dar Al-Kutub al-Ilmiyyah, dengan angka tahun terbit 1966, halaman 8-19.
Di dalam karya tersebut digambarkan bahwa Madinah dan Mekah pada awal perkembangan Islam merupakan masyarakat niaga. Bahkan baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun pernah berangkat dari profesi niaga sebelum datangnya risalah, bersama paman beliau Abi Thalib dan menjadi kepercayaan dari Sayyidah Khadijah al-Kubra radliyallahu ‘anha. Kisah ini sudah masyhur di kalangan para antropolog dan pakar budaya.
Dilihat dari sisi topografinya, bentang alam Jazirah Arabia sebagian besar dipenuhi oleh padang pasir yang beriklim kering. Akibatnya, secara ekonomi, masyarakat Arab kala itu lebih banyak bergantung pada aktivitas peternakan dan hasilnya, serta perkebunan kurma dan anggur. Ini yang kemudian melatarbelakangi penduduk Arab untuk perlu melakukan perjalanan niaga guna mencukupi nafkah keluarganya.
Dalam perjalanan niaga ini, mereka harus menghadapi berbagai risiko beradaptasi dengan alam, seperti:
- Menggunakan kendaraan berupa unta untuk melakukan perjalanannya, karena unta mampu menyimpan air di dalam tubuhnya sehingga paling bisa bertahan dalam situasi tidak ditemukannya air
- Mereka harus rela meninggalkan keluarga dan harta-bendanya selama berminggu-minggu guna melakukan safari niaga
- Konsekuensi logis yang terbentuk akibat meninggalkan keluarga dan harta benda ini adalah mereka mengangkat orang kepercayaan (al-amin) guna menjaga harta benda yang ditinggalkan dan sekaligus menitipkan (wadi’ah) keluarganya, keselamatannya, atau bila terjadi kekurangan dari segi nafkah yang ditinggalkan, agar pihak yang dipercaya untuk menalanginya terlebih dulu (kafalah).
Awal dari adanya relasi saling menitipkan amanah (wadi’ah) dan meminta bantuan pihak ketiga sebagai penanggung jawab sementara atas harta dan keluarga yang ditinggalkan ini (kafil) adalah didorong oleh semangat ta’awun (tolong-menolong). Dan hal ini sangat memungkinkan terjadi, karena masyarakat Arab saat itu hidup dalam lingkungan kabilah-kabilah, salah satunya adalah kabilah Quraisy.
Relasi penitipan harta pada kuasa orang yang dipercaya dikenal sebagai akad wadi’ah yadu al-amanah. Tentu akibat dalam relasi ini, ada kecondongan psikologis untuk memberi hadiah kepada pihak yang dipercaya tersebut sekembalinya dari melakukan safar. Tujuan dari memberi hadiah itu tidak lain agar suatu ketika bila ada keperluan harus melakukan safari niaga kembali, orang tersebut tetap mau dititipi.
Adalah Baginda Nabi shallalllahu ‘alaihi wasallam merupakan salah satu orang yang paling sering mendapatkan titipan sampai kemudian beliau hijrah dari Kota Mekah menuju Madinah. Dari harta titipan ini, beliau mengembalikan sesuai dengan apa yang dititipkan. Titip barang A, dikembalikan berupa barang A dan tidak berganti menjadi barang baru.
Bahkan, sepeninggal beliau berhijrah, beliau mengamanahkan kepada Sayyidina Ali ibn Abi Thallib agar mengembalikan semua harta titipan itu kepada pemilik asalnya.
Karena sebagian masyarakat Arab kala itu juga berprofesi sebagi penggembala ternak yang harus nomaden mencari air dan padang rumput (al-mar’a), maka ketika pergi untuk safari niaga, mereka juga kadang menitipkan ternak gembalaannya.
Karena ternak itu butuh nafkah, akhirnya berlaku tradisi (‘urf) akad menitipkan barang ternak yang disertai dengan akad sewa jasa (ijarah) menggembalakan.
Akadnya titip, tapi di dalamnya ada nafkah dan jasa pihak yang dititipi dan harus diganti oleh pemilik asal sebagai konsekuensi harus menggembalakan ternaknya. Ini adalah contoh dari akad murakkab (akad ganda) yang berkorelasi dengan kondisi masyarakat Arab kala itu. Dan ini kemudian menjadi langkah lebih lanjut bagi perkembangan bisnis selanjutnya.
Masih sebagai konsekuensi dari akad wadi’ah (titip), suatu ketika ada “pihak yang dititipi” memiliki profesi sama-sama sebagai pedagang. Namun, karena ia sudah ada di rumah terlebih dulu, sementara saudaranya harus pergi meninggalkan kampung halaman secara bergiliran, sementara kembalinya kadang terlambat, maka timbullah akad wadi’ah yang disertai dengan jaminan akibat hartanya digunakan lebih dulu oleh pihak yang dititipi.
Penggunaan harta titipan memang tidak dibenarkan oleh masyarakat Arab kala itu (sebelum risalah), namun bila ada izin terlebih dulu dari pihak yang dititipi, maka hal itu dibenarkan oleh mereka, asalkan ada pertanggungan risiko.
Titipan yang disertai dengan kesanggupan menanggung risiko penggunaan, asal titipannya tetap kembali seperti sedia kala ini, dikenal dengan istilah akad wadi’ah yadu al-dlammanah.
Berbagai relasi ini kemudian dilegitimasi oleh Islam setelah turunnya risalah. Dalam konsep fikih, akad tersebut diabadikan dengan konsep asalnya akad, yaitu akad wadi’ah. Karakteristik dari akad ini adalah titip barang dan harus kembali berupa barang.
Dunia fikih modern kemudian membaginya menjadi dua sebagaimana konsep asal, yaitu a) akad wadi’ah yadu al-amanah dan b) wadi’ah yadu al-dlammanah (Lebih lengkap mengenai akad wadi’ah dan turunannya telah saya tulis dalam artikel sebelum ini di alif.id dengan kata kunci ekonomi syariah).
Adapun titipan yang disertai amanat menggembalakan ternaknya selama ditinggal pergi, merupakan konsep dasar dari akad wakalah (akad perwakilan). Sudah barang tentu, wakil sebagaimana disebutkan dalam lintas interaksi sosial di atas menghendaki al-ujrah (upah).
Karena menggembalakan ternak merupakan pekerjaan yang harus meninggalkan keluarga juga. Wakalah seperti ini dikenal dalam dunia modern sebagai akad wakalah bi al-ujrah. Wallahhu a’lam bi al-shawab. (SI)