Ketika seorang faqih hendak menentukan hukum sebuah perkara atau kejadian (mahkum bih), hal yang pertama kali ia pertanyakan adalah upaya menetapkan illat hukum dari objek hukum yang hendak dikaji itu. Misal ada pertanyaan, apakah leasing itu sama dengan riba, sehingga dipandang haram? Maka, langkah awal sang faqih adalah mencari tahu pengertian leasing yang dimaksud itu (tashawwur), kemudian menimbangnya dengan konsep riba. Riba dan konsepnya dalam konteks ini merupakan illat hukum.
Pentingnya kejelasan makna (tashawwur) dari leasing ditambah konsep yang disepakati mengenai riba, sangat berperan dalam proses mengeluarkan keputusan hukum (istinbath al-hukm), apakah itu termasuk riba atau tidak. Karena kaidah yang berlaku dalam penggalian hukum fikih adalah senantiasa mengikuti:
الحكم يدور مع علته وجودا وعدما
“Hukum itu berlaku bersama dengan illat-nya (alasannya), ada atau tidaknya illat”
Tanpa mengetahui illat (alasan hukum), maka sebuah obyek hukum tidak bisa diputuskan secara jelas mengenai haram atau tidaknya, karena adanya kaidah yang berlaku, bahwa:
الأصل في المعاملة إباحة
“Hukum asal dari praktik muamalah adalah hukum kebolehannya.”
Dengan demikian, pertanyaan lanjutannya adalah: apa itu yang dimaksud sebagai ‘illat hukum? Para fuqaha’ umumnya mendefinisikannya sebagai:
الوصف الظاهر المنضبط المعرِّف للحكم
“Suatu karakteristik yang jelas/tegas yang dibatasi oleh ta’rif untuk suatu hukum.”
Suatu misal, Allah SWT menetapkan bahwa hukum potong tangan bagi pencuri (sariq) merupakan yang ditetapkan oleh syariat dalam bab hudud, disebabkan karena unsur pencuriannya (al-sirqah).
والسرقة من الأوصاف الظاهرة التي لا تخفى على أحد، كما أنها منضبطة لا تختلف من شخص لآخر أو من مكان لآخر، وإذا تحققنا من وجود السرقة فإنها تعرّفنا على وجود الحكم الذي هو قطع اليد إذا تمت شروطه
Artinya: “Pencurian itu merupakan sifat (karakteristik) yang tegas yang tidak seorang pun punya kesangsian atasnya, bahkan memiliki ketegasan makna yang tidak seorang pun mengingkarinya, di tempat mana saja. Untuk itu, bilamana nyata kita dapati adanya unsur pencurian, maka sesungguhnya kita secara tidak langsung sadar bahwa keharusan sangsi itu adalah dipotong tangannya, khususnya bila sempurna memenuhi hal yang disyaratkan” (Shabah Thaha Busyair al-Samara-i, Al-Hikmatu ‘inda al-Ushuliyyin, Baghdad: Wizaratu al-Ta’lim al-’Alamy wa al-Buhtsu al-’Ilmi, 2007, halaman: 99)
Jika kita hanya berpatokan pada illat bahwa dalam setiap kasus pencurian (al-sirqah) harus dipotong tangan, maka sesungguhnya tidak perlu lagi perincian lain mengenai berapa kadar yang ditetapkan untuk bolehnya berlaku hukum potong tangan. Pokok melakukan pencurian, maka langsung dipotong tangannya.
Hal yang sama juga tidak bisa diterapkan untuk kasus korupsi, karena korupsi itu tidak sama dengan pencurian dari segi maknawinya. Karena definisi pencurian itu adalah:
السَّرِقةُ (في الشرع) : أَخذ مال معين المقدار، غير مملوك للآخذ، من حِرز مثلِه خُفية.
Artinya: “Pencurian secara syara’ bermakna mengambil harta orang lain dengan kadar tertentu yang bukan miliknya dari gudang penyimpanan secara sembunyi-sembunyi.” (Mu’jam al-wasith)
Sementara itu, korupsi memiliki definisi berupa “tindakan seseorang dalam menyalahgunakan kepercayaan pada suatu masalah atau organisasi guna mendapatkan keuntungan.”
Pembeda antara pencurian dan korupsi adalah adanya gudang penyimpanan. Itu sebabnya, jika memakai definisi dari mencuri itu adalah harus ada ketetapan wujudnya gudang, maka tidak bisa kita meng-qiyas-kan kedua model penguasaan harta orang lain secara tidak sah di atas.
Hukum akan berbunyi lain, manakala objek yang dijadikan landasan hukum (illat hukum) adalah aspek “penguasaan tidak sah terhadap suatu harta.” Aspek kerugian akibat “penguasaan tidak sah atas suatu harta” ini adalah manath hukum, disebabkan karena syariat menegaskan :
لاضرر ولاضرار
“Tidak boleh menimbulkan kerugian, dan saling merugikan.”
Hal yang sama juga berlaku atas putusan, bahwa jika mencuri uang 5 ribu lantas disamakan sangsinya dengan putusan mencuri uang 500 juta – karena sama-sama harus dipotong tangan – maka tidak diragukan lagi bahwa putusan semacam juga termasuk zalim terhadap pelaku pencurian. Penyebabnya adalah ketidakseimbangan nominal obyek yang dicuri dengan efek kerugian yang terjadi pada dua pelaku pencurian. Artinya, hukum itu tidak maslahah. Untuk itulah maka diperlukan adanya pengambilan hukum berdasarkan hikmahnya.
الحكمة فهي: ما يترتب على مشروعية الحكم من جلب مصلحة أو دفع مفسدة، أوهي: المصلحة التي قصد الشارع من تشريع الحكم تحقيقها أو تكميلها، أو المفسدة التي قصد الشارع بتشريع الحكم دفعها أو تقليلها، وكما قلنا في قطع يد السارق: إن علته السرقة، فإن الحكمة من تشريع هذا الحد: حفظ أموال الناس وحمايتها وصيانتها
Artinya: “Hikmah adalah sesuatu yang hendak dituju lewat disyariatkannya suatu hukum, antara lain mengambil kemaslahatan atau menolak mafsadah/kerusakan atau boleh juga didefinisikan, bahwa hikmah itu adalah kemaslahatan yang dituju oleh Syaari’ (Allah SWT) lewat ditetapkannya hukum syariat, baik dalam rangka menegaskan terwujudnya maslahah, atau menyempurnakannya, atau mafsadah yang dikehendaki oleh syariat lewat ketetapan hukumnya, baik dalam rangka menghindarinya atau meminimalisirnya. Sebagaimana telah kemukakan di muka tentang hukum potong tangan pencuri, sesungguhnya illat hukumnya adalah pencurian itu sendiri. Sementara hikmah dari disyariatkannya penetapan pidana potong tangan ini, hakikatnya adalah penjagaan harta manusia, baik menjaga dari unsur yang merusak atau meminimalisir kerusakannya” (Shabah Thaha Busyair al-Samara-i, Al-Hikmatu ‘inda al-Ushuliyyin, Baghdad: Wizaratu al-Ta’lim al-’Alamy wa al-Buhtsu al-’Ilmi, 2007, halaman: 99)
Dengan dasar ini, berarti hikmah yang merupakan upaya mewujudkan maslahah dan menolak mafsadah atas suatu kasus yang menjadi obyek hukum, semestinya masuk dalam bagian dari bisa dijadikan illat hukum dalam rangka tahsinu al-manath (melunakkan mandat hukum). Sebagaimana hal ini sesuai dengan semangat yang dikandung oleh ayat:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: “Allah memberikan hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barang siapa diberikan hikmah kepadanya, maka ia layaknya mendapatkan kebaikan yang banyak. Dan tiada yang sanggup memikirkannya kecuali orang-orang yang berakal (ulul albab).” (Q.S. Al-Baqarah [2] : 269).
Syeikh Abu Ja’far al-Thabary (w. 350) menjelaskan lebih lanjut mengenai penafsiran ayat ini sebagai berikut:
يؤتي الله الإصابة في القول والفعل من يشاء من عباده، ومن يؤت الإصابة في ذلك منهم، فقد أوتي خيرا كثيرا
Artinya: “Allah teguhkan kebenaran atas ucapan dan perbuatan dari orang yang dikehendaki di antara hamba-Nya. Barang siapa dianugerahi kebenaran pada ucapan dan perbuatan mereka, maka mereka layaknya menerima anugerah kebaikan yang banyak” (Syeikh Abu Ja’far al-Thabary, Jami’u al-Bayan ‘an Ta’wil al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., Juz V, halaman: 577)
Ada sebuah dialektika bahwa yang dinamakan “kebenaran” (ishabah) itu adalah bersifat kualitatif sehingga tidak sama dengan “ketepatan” (shahih). Shahih lebih bernuansa ke arah kuantitatif (tekstual) sehingga harus berpedoman pada qaul dhahir (ketegasan teks).
Sementara itu, kerangka tahsin al-manath adalah masuk dalam kerangka menimbang antara kemaslahatan dan mafsadah yang ditimbulkan dari obyek hukum. Seperti dalam kasus pencurian uang 5 ribu dengan 500 ribu, dalam hal ini mutlak diperlukan pertimbangan obyek hukum tersebut. Untuk itu tidak layak menetapkan kesamaan hukuman bagi kedua pihak pelakunya disebabkan maslahah dan mafsadah yang ditimbulkan, baik terhadap korban maupun terhadap pelakunya itu sendiri.
Wallahu a’lam bi al-shawab. (SI)