Sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat tradisional untuk menitipkan hartanya kepada orang kaya di desanya, yang disertai dengan izin bolehnya digunakan. Dengan catatan, ketika pihak penitip membutuhkan harta titipan itu, bisa dijamin langsung ada. Kebiasaan ini tetap berlaku sebagai akad titip, asalkan tidak ada batasan waktu jika uang itu “boleh dipinjam” oleh orang yang dititipi.
Sebagai ilustrasi: Pak Anton titip uang kepada saudagar kaya yang bernama Pak Ahmad, karena jika menyimpan sendiri takut habis. Pak Ahmad menerimanya tanpa syarat suatu apapun, boleh tidaknya barang itu digunakan. Umumnya, jika titip uang, maka nilai uangnya bisa dijamin, tidak berkurang dan tidak lebih. Ya nitip aja tanpa bunga.
Pak Ahmad menjamin bahwa besaran itu bisa diambil sewaktu-waktu, kapan pun jika penitip menghendakinya. Akad seperti ini merupakan akad wadi’ah tabarru’ (titip sukarela), khususnya bila Pak Ahmad tidak menerapkan cost (biaya) serta batas waktu bolehnya diambil.
Adanya cost yang diambil akibat titipan, maka cost ini bisa dimaknai sebagai ujrah (upah jasa penitipan), meskipun besarnya berbanding lurus dengan besarnya harta yang dititipkan. Suatu misal, untuk per 1 juta, dikenakan cost sebesar 1000 rupiah/hari. Cost 1000 rupiah per hari ini, tidak pelak lagi adalah ujrah (upah).
Demikian juga bila harta titipan itu kebolehan diambilnya adalah ditentukan oleh adanya batas waktu pengambilan. Misalnya, boleh diambil jika sudah tiga bulan, atau sudah masuk dalam jangka waktu enam bulan. Adanya titipan dengan disertai batas waktu pengambilan semacam ini, pada dasarnya adalah utang, dengan batas waktu itu merupakan tempo pelunasan (waktu hulul).
Sekalipun di awal, pihak penitip menyebutnya sebagai “titip” yang dalam bahasa arabnya dikenal sebagai “wadi’ah”, akan tetapi penyertaan waktu yang mengikat terkait dengan masa pencairan, menjadikan akad tersebut hakikatnya adalah akad qardl (utang).
Ketidakjelasan lafadh dari titip menjadi utang ini, bisa dipandang sebagai akad qardlu hukman (turunan akad utang). Disebut turunan, karena ia merupakan modifikasi dari akad penyerahan/titip, dan bukan modifikasi dari akad sharih berupa “utang”.
Sudah pasti perubahan ini memerlukan faktor penguat (murajjih) yang dijadikan sebagai pembatas (dlabith), mengingat kemiripan kasus dengan akad wadi’ah yadu al-dlammanah, yaitu akad titip dengan disertai jaminan pasti adanya saat dibutuhkan. Dalam hal ini, jika diteliti lebih lanjut, maka faktor penguat (murajjih) tersebut adalah sebagai berikut:
- Adanya jangka waktu pengambilan yang ditetapkan oleh pihak yang dititipi (wadi’)
- Obyek yang dititipkan (muda’) terdiri atas uang
- Adanya penggunaan oleh pihak yang dititipi (wadi’) terhadap barang titipan (muda’), baik dengan se-idzin pihak yang dititipi atau tidak
- Ketiadaan idzin yang diketahui (‘ulima ridlahu) menjadikan status utangnya berperan sebagai harta maghshub (harta yang di-ghashab). Dan pada setiap harta di-ghashab berlaku ketentuan tanggung jawab pengghashab (ghashib) kepada pihak yang di-ghashab. Jika tanggungan itu berupa uang, maka pada esensinya, uang itu berubah menjadi “utang” sekalipun tidak ada akad sebelumnya sebagai “utang”.
Alhasil, kaidah yang berlaku dalam konteks titip, namun disertai dengan jangka waktu pengambilan ini, adalah:
العبرة في العقود للمقاصد والمعاني لا للألفاظ والمباني
“Suatu akad ditetapkan mengikut tujuan serta maknanya, dan bukan mengikut pada lafadh serta susunannya.”
Dalam konteks lain, karena akad itu senantiasa berbuntut pengelolaan, maka kaidah di atas juga sering disampaikan sebagai berikut:
العبرة في التصرفات للمقاصد والمعاني، لا للألفاظ والمباني
“Segala yang tercermin dari pengelolaan adalah mengikut pada tujuan serta makna dari pengelolaan itu, dan bukan sebagaimana yang tercermin dari lafadh dan bangunan penyusun akad.”
Bagaimanapun juga, adanya pembatasan waktu penyampaian barang titipan yang ditetapkan oleh pihak yang dititipi (wadi’), sudah pasti ada maksud dan pengertian dibaliknya. Dan maksud yang lebih dekat (aqrab) dalam kasus harta titipan itu adalah:
- Bisa jadi pihak yang dititipi perlu menyediakan uang kontan terlebih dahulu karena uang yang dititipkan terlanjur dipakai. Dan umumnya, hal semacam ini perlu waktu
- Adanya batas waktu itu, bisa jadi karena uang yang dititipkan sedang diputar untuk diniagakan terlebih dulu oleh pihak yang dititipi. Oleh karenanya, guna mengembalikan harta titipan, perlu menyesuaikan dengan didapatnya uang hasil niaga.
Semua ini adalah bagian dari pendekatan-pendekatan pemaknaan akibat satu akad titip yang disebutkan secara dhahir di awal akad, akan tetapi karena adanya kasus baru, menjadikan akad tersebut harus dimaknai lain.
Jadi, kapan harta titipan bisa berubah maknanya sebagai qardlu (utang)? Sudah pasti jawabnya adalah ketika ada batasan waktu penyerahan yang disyaratkan oleh pihak yang dititipi (wadi’), sekalipun tidak ada biaya yang dipungut dan dibebankan kepada mudi’. Wallahu a’lam bi al-shawab (bersambung). (SI)