Di masa Nabi Saw, masjid adalah yang pertama dibangun, setelah Nabi dan para pengikutnya tiba di kota Madinah. Dari masjid inilah Nabi mulai membangun peradaban. Masjid tidak hanya dijadikan sebagai sarana tempat ibadah saja, tetapi lebih dari itu.
Masjid dijadikan sebagai pusat pendidikan, tempat konsultasi dan komunikasi masalah ekonomi-sosial budaya, tempat santunan sosial, tempat menyusun strategi, hingga tempat menerima tamu. Dari sinilah kelak lahir tokoh-tokoh yang berjasa dalam pengembangan Islam sampai ke seantero penjuru dunia.
Dalam pandangan saya, hanya di pesantren masjid difungsikan sedemikian rupa sebagaimana di zaman Nabi di atas—atau paling tidak mendekati. Artinya masjid tidak hanya difungsikan sebagai tempat kegiatan ibadah dan keagamaan saja. Tetapi, masjid juga dijadikan sebagai tempat kegiatan pembelajaran, pelatihan, ajang aktualisasi diri dan lain-lain.
Di pesantren, pusat utama kegiatan santri adalah di masjid. Hampir sepertiga dari seluruh aktivitas santri dilakukan di masjid. Dibandingkan dengan kelas, asrama, dan ruang makan, masjid adalah tempat paling sering dikunjungi santri dalam kegitan kesehariannya.
Di masjid mereka melaksanakan salat lima waktu berjamaah, plus dengan kegiatan tambahannya, sebelum dan setelahnya, seperti mengerjakan salat sunah qabliyah dan ba’diyah serta salat-salat sunah lainnya. Membaca Alquran dan wiridan rutin dilakukan setiap hari di masjid.
Para santri tidak datang ke masjid begitu azan tiba. Tetapi, mereka sudah tiba paling tidak 30 menit sebelum azan dikumandangkan. Kecuali pada salat fardhu yang dilaksanakan pada jam-jam kegiatan pembelajaran di kelas masih berlangsung, seperti salat fardhu Zuhur dan Asar. Bahkan waktu antara salat Magrib dan ‘Isya’ para santri tidak beranjak dari masjid, hingga salat ‘Isya’ selesai.
Selain kegiatan ibadah, kegiatan lainnya yang dilaksanakan di masjid adalah pelaksanaan pembelajaran, berupa pengajian yang dilaksanakan dengan metode bandongan atau wetonan. Kegiatan ini dilakukan setelah salat Magrib atau setelah salat Subuh. Ada banyak kitab yang dipelajari seperti kitab-kitab tafsir, hadis, tasawuf dan lain sebagainya.
Setiap santri aktif mendhobit (memberikan catatan-caratan atas keterangan yang diberikan oleh kiai atau ustaz ketika pembelajaran dilaksanakan). Berbeda dengan pembelajaran di kelas, terutama dari segi jumlah, biasanya di kelas jumlah santri lebih sedikit, guru mungkin saja bisa menggunakan metode yang lebih bervariatif, namun di masjid, dengan jumlah santri ribuan, bahkan lebih, maka metode inilah yang mungkin lebih cocok digunakan.
Selain itu, masjid juga dijadikan sebagai pusat kegiatan keagamaan untuk memperingati hari-hari besar Islam, pembacaan manaqib orang-orang saleh, pelaksanaan haulan, pembacaan maulid Barzanji, al-Habsy, Burdah, al-Azab, ad-Diba’i dan lain-lain yang dilaksanakan secara rutin, bergantian, setiap minggunya. Masjid juga dijadikan sebagai tempat berkumpul menyambut tamu-tamu istemewa, seperti tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah dan orang-orang yang berkepentingan lainnya.
Masjid ibarat laboratorium tempat para santri mengembangkan bakat, sekaligus sebagai ajang aktualisasi diri. Di masjid, mereka pertama kali menjadi imam salat, berlatih berpidato, memimpin membaca Alquran, wirid, zikir, tahlil, selawat, doa dan lain sebagainya. Di masjid pula mereka pertama kali memegang microphone dengan perasaan gugup dan gemetaran. Sebelum akhirnya mereka menjadi mahir dan terlatih dalam bidangnya masing-masing.
Masjid bukanlah tempat yang sakral bagi para santri. Ia tidak ada bedanya seperti ketika mereka berada di dalam kelas atau di asrama. Wajar saja, karena tempat berkegiatan yang paling banyak, selain di asrama adalah di masjid. Hampir sepertiga dari waktu mereka dihabiskan di masjid, masjid Ibarat rumah kedua mereka.
Untuk alasan inilah, mungkin, beberapa pesantren besar (terutama di Kalimantan Selatan) tidak betul-betul menjadikan masjid sebagai laiknya masjid yang ada di masyarakat luar pesantren. Masjid di pesantren biasanya tidak digunakan untuk pelaksanaan salat Jumat. Mereka melaksanakan salat Jumat di luar pesantren. Tujuannya untuk memberikan kesempatan kepada santri agar bersosialisasi di tengah-tengah masyarakat, paling tidak sekali dalam seminggu.
Di pesantren kegiatan santri sangat padat dan sangat melelahkan. Mereka sibuk dengan berbagai macam kegiatan, hampir seluruh waktu dalam keseharian mereka digunakan untuk berkegiatan, kecuali saat tidur tiba, itu pun terkadang ditambah lagi dengan kegiatan di tengah malam, yaitu mengerjakan salat Tahajut. Adanya waktu luang yang diberikan untuk berkegiatan bebas tidaklah mencukupi.
Karena itulah suasana masjid di pesantren cenderung tidak tenang, sesekali terlihat santri di pojok-pojok tertentu terlihat tertawa ringan, atau sesekali terlihat bercanda, atau bahkan ada yang asyik ngobrol mencari-cari kesempatan dengan teman-teman di dekatnya, sambil menengok kiri kanan, takut kalau ada santri senior yang memperhatikan.
Kadang-kadang suasana masjid terdengar riuh. Namun, sebagian lagi terlihat khusyu beribadah. Orang yang datang ke masjid pesantren untuk pertama kali mungkin agak merasa heran. Tatapi, mereka yang pernah merasakan mondok di pesantren akan mafhum dengan keadaan itu.
Hal inilah, mungkin, sebagian yang menjadi kritikan Nurcholish Madjid, sebagi sebuah tingkah laku kaum santri yang kurang konsisten, bahwa di lingkungan intern mereka sangat “liberal”. Ini ditunjukkan dengan tingkah laku, termasuk pembicaraan mereka yang hampir-hampir seenaknya. Tetapi, ketika mereka berhadapan dengan dunia luar sikap ini tidak tampak…
Namun santri tahu diri, kebiasaan itu tidak terbawa ke luar pesantren. Mereka bisa menempatkan diri. Bahkan setelah keluar dari pesantren, masjid masih merupakan bagian terpenting dari aktivitas santri. Banyak santri yang dipercayakan mengelola masjid, musala atau langgar. Menjadi imam tetap, menjadi khatib, muazin hingga marbot.
Kita berharap dengan banyaknya masjid yang dikelola oleh kaum santri akan dapat menghidupkan kembali fungsi masjid sebagaimana di pesantren, dan yang terpenting, tidak sampai di rebut dan menjadi markas orang-orang yang berpandangan radikal dan ekstremis yang cenderung bersikap intoleran.