Cerita tentang pesantren dan kehidupannya ibarat mata air yang terus mengalir tidak pernah kering. Ada banyak cerita yang terukir tentang kahidupan nan eksotis dan bersahaja di pesantren. Tulisan ini mencoba untuk mengetengahkan sekelumit cerita tentang pesantren dan orang-orang yang hidup di dalamnya.
Sebagai seorang santri kita sudah mafhum bahwa di pesantren selain tahu tempe sajian ‘favorit’ adalah ikan kering. Tahu tempe diunggulkan karena harganya murah, mudah didapat, juga kaya gizi. Demikian pula ikan kering. Ikan kering dipilih karena selain harganya murah, mudah didapat juga dan yang terpenting ialah tahan lama.
Ada banyak cerita yang menarik tentang ikan kering ini. Kami menyebutnya ‘ayam turki’. Entah bagaimana asal usulnya, ketika saya masuk ke pesantren nama ayam turki sudah sangat populer di kalangan santri. Saya menduga sebutan ayam turki hanya sebagai hiburan saja. Sebab saat kami makan dengan lauk ikan kering itu, beberapa orang di antara kami terlihat tidak terlalu bersemangat.
Kemudian tiba-tiba seorang teman berbicara, “Makan saja ikan kering itu tapi bayangkan seolah-olah kamu sedang makan daging ayam.” Tiba-tiba seorang teman lainnya nyeletuk “ayam tukiii..”
Menu ayam turki goreng disajikan pada pagi dan malam hari, haya digoreng dengan minyak goreng, tidak pernah dimasak atau dicampur dengan menu lainnya. Tidak pula dipotong-potong sebelum digoreng. Karena itulah selain ayam turki kami juga menyebutnya ‘ikan naga’. Ya, ikan naga panjang, dengan mulut menganga, lengkap dengan gigi runcingnya seolah ingin menyemburkan bola api.
Suatu ketika seorang ustaz kami menceritakan tentang perihal ikan kering ini. Alkisah, terjadi kehebohan orang-orang di kampung hari itu. Apa pasal? Ternyata sewaktu terjadi pembongkaran makam yang sudah berusia puluhan tahun, untuk proyek perluasan jalan raya, salah satu kubur yang dibongkar mayatnya masih utuh dan tidak membusuk. Setelah ditelusuri, ternyata empunya kubur dulunya adalah mantan santri. Mendengar cerita sang ustaz kami terheran-heran dengan penuh tanda tanya.
Apa gerangan yang menyebabkan mayat seorang santri tersebut bisa utuh. Apalagi setelah itu, ustadz menegaskan bahwa mantan santri itu dulunya adalah seorang santri yang badung, pemalas, suka melanggar peraturan pondok, bertahun-tahun belajar di pesantren, tidak juga ada hal yang istemewa dalam penilaian orang terhadapnya.
Selidik punya selidik, ternyata ketika masih jadi santri ia sering makan ikan kering. Kami bingung, apa hubungannya ikan kering dengan jasad yang tidak mau membusuk ketika di dalam kubur. Ternyata menurut ustaz, ikan yang sering dimakan si mantan santri mengandung formalin, zat kimia yang digunakan sebagai pengawet mayat.
Ternyata cerita ustaz adalah goyon belaka. Tidak ada kejadian seperti itu. Itu cerita fiktif saja. Cerita di atas diceritakan ketika maraknya penemuan makanan yang mengangung zat berbahaya tersebut. Begitulah kehidupan di pesantren, goyonan dan bercandaan adalah ibarat bumbu, asam garamnya kehidupan, di sela-sela kesibukan belajar.
Masalah kebersihan, yang menjadi sasaran kritikan pemerhati pesantren, karena sering menimbulkan berbagai macam penyakit kulit, juga menyimpan cerita tersendiri di kalangan santri. Penyakit gatal-gatal yang menimbulkan borok dan koreng di bagian-bagian tertentu tubuh, menjadi ujian berat lain kehidupan yang dijalani sebagai seorang santri.
Ada banyak sebutan untuk penyakit ini, seperti kudisan, kurapan dan lain-lain. Kami menyebutnya sangkadian. Hampir tidak ada santri yang tidak pernah tertular penyakit ini. Begitu penomenalnya penyakit ini sampai-sampai seorang santri menggubah sebuah syair berbahasa campuran Arab-Banjar, namun disesuaikan dengan kaidah tata bahasa Arab tentang penyakit kulit ini. Gubahan itu berbunyi:
“Laisa al fata bila sangkadi, faidza gataltum fagaruha.” (Tidaklah dinamakan seorang pemuda kalau belum punya sangkadi, apabila engkau merasa gatal, maka garuk-garuklah akan ia”.)
Gubahan sang santri ini turun temurun terus abadi sampai saat ini dalam kepala setiap santri. Ia hafal sendiri tanpa dihapalkan, karena sudah dijadikan semacam lelucon.
Cerita lainnya ialah tentang kutu kasur atau bantal. Di beberapa daerah disebut dengan kutu busuk lantaran hewan ini mempunyai bau yang khas, apalagi kalau dipencet. Sebagian lagi menyebutnya tungau karena binatang ini adalah jenis kutu penghisap darah. Dalam bahasa daerah kami menyebutnya pampijit.
Tidak hanya berdiam dan bersarang di kasur atau bantal saja, hewan ini juga betah tinggal di pakaian, seperti sarung, baju bahkan di kopiah. Kalau santri pergi ke masjid untuk salat, pampijit ini pun ikut terbawa, terkadang terjatuh di sajadah. Demikian pula kalau santri ke kelas untuk belajar pampijit pun ikut juga, kadang gentayangan di kopiah para santri.
Tentang pampijit ini pun juga punya cerita tersendiri. Adalah seekor pampijit bercerita dengan sangat bersemangat kepada teman-temannya bahwa dia baru saja pulang dari berhaji. Jelas saja teman-temannya tidak mempercayai omongan si haji pampijit ini. Namun yang bercerita bersekeras bahwa ia memang telah melaksanakan haji, dan baru saja pulang dua hari yang lalu.
Haji pampijit pun bercerita tentang ihwal keberangkatannya. Dia diam-diam ia menyelinap di kopiah seorang anak santri yang kebetulan mau berangkat haji bersama orangtuanya tahun ini. Ia mengatakan bahwa ketika si santri tawaf berkeliling Kakbah ia pun ikut tawaf. Ketika si santri wukuf di Arafah ia juga ikut wukuf. Begitulah, dia terus saja mengikuti kemana pun dan di mana pun sang santri berada sampai pelaksanaan ritual haji berakhir dan baru saja pulang sejak dua hari yang lalu.