Sedang Membaca
Fariez Alniezar Menggugat Bahasa Kekuasaan
Muhammad Nurul Huda
Penulis Kolom

Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Meminati filsafat dan sosiologi. Tinggal di Depok

Fariez Alniezar Menggugat Bahasa Kekuasaan

Sepekan lalu, saya membahas sebuah buku berjudu Problem Bahasa Kita, Kritik Bahasa dari “Iwak Pitik” sampai “Arus Balik” (terbit tahun 2017 oleh Penerbit Kaktus, Yogyakarta). Buku setebal 186 halaman ini hadir di tengah-tengah kita pada saat yang pas dan ditulis oleh orang yang tepat.

Saat yang pas karena buku ini mengingat kembali bahwa Bahasa Indonesia yang kita gunakan (masih) mengalami babak-belur oleh aneka sebab. Penulis buku ini Fariez Alniezar, adalah seorang sarjana linguistik yang memahami benar masalah-masalah filosofis dan sosiologis yang dihadapi oleh objek kajian yang digelutinya.

Masalah-masalah yang dibahas dalam buku ini dinarasikan oleh pengarangnya secara nakal namun jitu, dengan bahasa yang lincah namun jenaka. Saudara Fariez Alniezar menggunakan otoritasnya secara baik untuk menelanjangi cara berbahasa kita yang bukan hanya kusut tapi juga menggugat Bahasa Indonesia sebagai arena pergulatan kekuasaan oleh aneka pihak dimana makna hidup dan konsep diri dipertarungkan.

Ada 2 bagian presentasi yang mau saya utarakan pada malam hari ini. Dalam bagian pertama saya mengemukakan pokok (tidak seluruhnya) gugatan Saudara Fariez Alniezar terhadap penggunaan Bahasa Indonesia oleh manusia Indonesia dan terhadap Bahasa Indonesia resmi/baku itu sendiri. Adapun bagian kedua akan mengemukakan suatu gagasan tentang bahasa sebagai sarana transformasi sosial.

Bagian I: Gugatan-gugatan pengarang

  1. Gugatan terhadap antroposentrisme

Antroposentrisme adalah suatu anggapan bahwa manusia adalah entitas yang paling penting di alam semesta. Anggapan ini berasal dari manusia, oleh manusia sendiri, untuk diri manusia sendiri, dan tentang dirinya sendiri. Manusia yang kelewat “narsis” ini memandang, menginterpretasikan dan mengukur dunia menurut kepentingan, pengalaman dan nilai-nilai manusia yang dikonstruksinya sendiri. Antroposentrisme ini manifes dalam bahasa kiasan.

Baca juga:  Benarkah Pluralisme di Tubuh NU Hanya Mitos?

Penggunaan kiasan amat lazim dalam berbahasa. Umpamanya mengiaskan perilaku benda atau tumbuhan-tumbuhan dengan perilaku manusia. Contoh: ”nyiur melambai”, ”gunung Semeru mulai tidak ramah”, dan lain-lain. Hanya saja pengarang buku ini menggugat suatu penggunaan kiasan tertentu yang menyamakan tindakan jahat manusia dengan perilaku alamiah binatang. Ia mengritik sebuah kalimat yang tertera sebagai judul berita di halaman sebuah media massa: “Koruptor hari ini makin menggerogoti sendi-sendi Negara”.

Dalam esai “Fabelisme dan Binatangisme” (hal. 54-56), predikat verbal “menggerogoti” dianggap terlalu tendensius dan penuh syak wasangka terhadap dunia pertikusan. Menurut pengarang, menyamakan korupsi yang dilakukan “masyarakat manusia” dengan perilaku alamiah hewan pengerat dari ordo Rodentia ini tidaklah tepat. Pasalnya binatang tak serakus manusia; tikus tak sehina para koruptor. Manusia memang makhluk yang paling mulia, tetapi ia tidak serta merta dapat menyombongkan diri dengan status itu mengingat betapa rentannya ia potensial jatuh ke dalam sehina-hinanya ciptaan.

Antroposentrisme bukan hanya dapat merugikan makhluk lain beserta ekosistemnya, tapi juga dapat menimbulkan reaksi-balik yang merugikan diri manusia itu sendiri.

  1. Gugatan terhadap pemaksaan konsep diri lewat bahasa

Dalam esai berjudul ”Bidah” (hal. 21-25), pengarang menggugat arti bidah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Bidah adalah kata serapan dari bahasa Arab yang dalam KBBI dimaknai: (1) ”kebohongan dan dusta”; (2) ”pembaharuan ajaran Islam tanpa berpedoman pada Al-Quran dan Hadis”; dan (3) ”perbuatan atau cara yang tidak pernah dikatakan atau dicontohkan Rasulullah atau sahabatnya, kemudian dilakukan seolah-olah menjadi ajaran Islam”. Pengarang buku ini menolak arti yang demikian.

Baca juga:  Gus Dur Menyoal Ekstrimisme dalam Islam

Sebaliknya, Saudara Fariez Alniezar mengemukakan bahwa makna yang tepat untuk kata bidah adalah ”kreativitas” baik yang berupa kreativitas positif maupun negatif. Makna ini disandarkan pada arti kata bidah dalam bahasa Arab yang oleh pengarang buku ini ditelusurinya hingga karya pakar bahasa Arab Raghib Al-Ashfahani. Dengan demikian, ada perbedaan yang amat besar antara makna bidah yang disediakan KBBI dan makna sebenarnya kata bidah dalam bahasa Arab.

Saudara Fariez Alniezar tampak menyadari benar bahwa kesadaran dan pikiran manusia mewujud dalam, dan membentuk, praktik manusia. Juga, secara dialektis, praktik manusia mewakili dan membentuk kesadarannya. Dengan arti kata bidah sebagai ”kebohongan dan dusta”, penyusun KBBI bukan hanya menyimpang dari makna sebenarnya kata yang diserap, tapi juga berpeluang mendikte atau bahkan merontokkan kepercayaan keagamaan sebagian pengguna bahasa tersebut dan konsepsi diri mereka yang turut dibentuk olehnya lewat interaksi sosial dan komunikasi.

Bagian II: Bahasa sebagai sarana  transformasi

Fungsi bahasa (dan secara umum simbol) terutama adalah sebagai alat berkomunikasi yang, berdasarkan konsensus simbolik, memungkinkan terjadinya interaksi sosial. Kita berharap, melalui interaksi sosial dan komunikasi yang hidup, suatu kehidupan budaya yang emansipatif dan humanis dapat terlahir kembali.  Saya yakin visi kehidupan ini menjadi bagian dari tujuan pengarang buku Problem Bahasa Kita dalam usahanya melancarkan gugatan-gugatan di atas. Melalui bahasa kita dapat melakukan aksi emansipasi dan transformasi.

Baca juga:  Kesantunan Berdakwah: Saat Aisyah Berkata Kotor, Rasulullah Menegurnya

Bahasa dapat menjadi sarana emansipasi ketika ia berfungsi tidak sekadar untuk mengekspresikan pikiran dan kesadaran penuturnya secara bebas; tapi ia menjadi sarana komunikasi yang hidup juga medium aktif untuk transformasi. Bahasa dapat menjadi kekuatan transformatif bila mengandung:

  1. kebenaran fiduciary, bahwa suatu pernyataan layak dipercaya karena si penutur dapat dipercaya, punya level integritas tertentu;
  2. kebenaran evidensial, bahwa suatu pernyataan didukung argumentasi yang masuk akal dan konsisten;
  3. kebenaran ekspresif-referential, bahwa suatu pernyataan memiliki rujukan objektif dalam pengalaman dan kenyataan (apapun definisi kenyataan ini) di lingkungan dimana si penutur berada; dan
  4. kebenaran alethik, bahwa suatu pernyataan mengandung komitmen tindakan penuturnya; apa yang dinyatakan oleh si penutur adalah apa yang dijalankannya; si penutur tidak melemparkan tanggung jawab ke agen-agen ”abstrak” di luar dirinya, entah berupa ”kelas proletar”, ”negara”, ”kelompok intelektual”, ”kelas menengah”, ”sistem”, dan konsep-konsep abstrak lainnya yang dapat dipakai dalih untuk menghindar dari beban tanggung jawab.

Di tengah sapuan badai hoax, “simulakra” (semula amatan fenomena permukaan, lalu dipeluk sebagai keyakinan teoritis, lalu menjadi praktik) dan disinformasi dalam kehidupan sehari-hari  dewasa ini, kiranya perlu bagi kita untuk mendayagunakan seluruh kekuatan transformatif bahasa.

Jakarta, 28 Februari 2018

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top