Tadi malam kita telah melewati malam 1 Muharam 1441 H. Di beberapa daerah, malam itu adalah momen mengeluarkan atau sekalian menyuci benda pusaka, yang biasa disebut jimat. Tulisan singkat ini ingin menyajikan jimat di masa sahabat Nabi. Soal tradisi menyucikan jimat, lain waktu kita bahas.
Jimat atau azimat oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai barang (tulisan) yang dianggap mempunyai kesaktian dan dapat melindungi pemiliknya, digunakan sebagai penangkal penyakit dan sebagainya.
Sementara itu, jika kita mengintip Wikipedia.org dalam bahasa Indonesia memberi penjelasan bahwa Jimat, Azimat atau Tamimah adalah sejenis barang atau tulisan yang digantungkan pada tubuh, kendaraan, atau bangunan dan dianggap memiliki kesaktian untuk dapat melindungi pemiliknya, menangkal penyakit dan tolak bala. Selain menjelaskan, Wikipedia juga mencantumkan pandangan Islam tentang jimat bahwa Penggunaan jimat di dalam ajaran Islam adalah perbuatan terlarang. Alasannya, perbuatan ini merupakan bentuk meminta perlindungan dan penyembuhan kepada selain Allah.
Namun, fakta sejarah tentang apa yang dilakukan oleh para Sahabat Nabi Muhammad salallahualaihi wasallam tampak bertolak belakang dengan kesimpulan atas pandangan Islam yang dicantumkan oleh Wikipedia, bahkan cukup banyak umat Islam. Fakta sejarah menyatakan bahwa jimat tidak selalu dilarang oleh Islam. Kesimpulan yang tepat adalah, kalau memang barang yang diyakini memiliki kekuatan tersebut diyakini memiliki kekuatan tanpa campur tangan Allah, itu memang diharamkan. Tapi, bila meyakini bahwa Allah sendiri yang mentaqdirkan barang itu memiliki kekuatan dan Allah juga berhak kapanpun untuk mencabut kekuatan tersebut, itu tak akan menjadi masalah.
Titik kerancuan memahami jimat dalam Islam adalah ada pada ketidak tahuan banyak orang bahwa Islam sebenarnya memiliki tradisi yang mirip dengan jimat. Tradisi yang ada dan dilakukan sejak zaman sahabat. Bahkan saat Nabi Muhammad masih hidup. Yaitu tradisi tabaaruk.
Tabarruk dapat didefinisikan sebagai menggunakan benda atau tempat yang diyakini memiliki keistimewaan sebab benda atau tempat tersebut pernah bersinggungan dengan sosok yang dimuliakan oleh Allah. Hal ini seperti rambut Nabi maupun benda yang pernah dipakai oleh orang-orang soleh. Namun, keistimewaan benda itu tidak muncul atau diyakini ada dengan sendirinya. Bahkan benda itu diyakini hanya sebagai wasilah (lantaran) untuk mendekatkan diri kepada Allah sebab pernah dipakai oleh orang yang dimuliakan Allah.
Pemakaian benda sebagai lantaran untuk mendekatkan diri kepada Allah tidaklah dilarang dalam Islam, sebab tidak berusaha mensejajarkan benda itu dengan Allah alias menyukutukan Allah, apalagi meniadakan keberadaan Allah. Ini juga berbeda dengan apa yang disinggung oleh Allah dalam surah az-Zumar ayat tiga. Sebab prilaku orang musyrik dalam ayat tersebut berbeda dengan pengakuan mereka. Mereka mengaku bahwa berhala sebagai lantaran, nyatanya mereka tidak mengakuin Allah sebagai tuhan.
Tradisi tabaaruk terungkap salah satunya dalam atsar dari Ja’far ibnu Abdullah ibnu Hakam, bahwa Sahabat Khalid ibnu Walid pernah kehilangan sebuah penutup kepala di hari perang Yarmuk. Khalid lalu memberi perintah: “Cari penutup kepala itu!” para prajurit tidak menemukannya. Lalu Khalid mengulangi perintahnya lagi sebagai tanda begitu pentingnya benda tersebut. Para prajurit pun menemukannya dan ternyata benda itu tidaklah sebuah benda yang tampak istimewa. Khalid lalu bercerita bahwa suatu kali Rasulullah melakukan umrah. Beliau kemudian bercukur dan para sahabat pun memperebutkan rambut beliau. Khalid memperoleh rambut bagian depan dan meletakkannya di penutup kepala tersebut. Setelah itu, setiap Khalid membawa penutup kepala itu ia tidak pernah menghadiri peperangan kecuali memperoleh kemenangan.
Atsar ini dinyatakan oleh al-Haitsami diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dan Abu Ya’la dengan para perawi yang sahih. Penulis tidak akan menguraikan kajian hadis secara mendalam tentang tradisi tabarruk atau pemakaian jimat oleh para sahabat. Yang jelas, riwayat di atas hanyalah satu dari puluhan riwayat bagaimana para sahabat memandang istimewa benda-benda yang bersinggungan dengan Nabi. Dan itu juga dilakukan oleh para ulama salaf pada benda-benda yang pernah bersinggungan dengan ulama soleh sebelum mereka. Keterangan lebih lengkap dapat diperoleh dalam kitab Mafahim Yajibu an Tusohhaha karya Sayyid Muhammad ibnu Alawi al-Maliki.
Kemiripan pola tabbaruk dengan pemakaian jimat yang ada di Nusantara inilah yang mungkin menyebabkan tabarruk ditradisikan dalam Islam diterjemahkan sebagai jimat. Sayanganya kemudian juga dikategorikan haram. Padahal seharusnya hukum haram tersebut berdasar alasan keharaman, bukan berdasar nama maupun istilah.