Perkembangan Islam di Nusantara tak bisa dilepaskan dari tradisi menulis menggunakan aksara Arab Pegon. Arab Pegon menjadi media komunikasi alternatif untuk menghindari para penjajah yang memata-matai gerak-gerik para ulama. “Kamuflase” bukan saja satu-satunya sebab munculnya kreasi aksara ini.
Selain itu, Arab Pegon, tentu saja dikreasi oleh para pendakwah awal untuk memudahkan dan menyatukan Islam yang Arab dengan calon pemeluk Islam yang bukan Arab. Selanjutnya, Arab Pegon mencaji semacam “aksara resmi” Islam di Nusantara. Aksara ini tidak saja digunakan oleh ulama Nusantara, namun juga oleh kerajaan-kerajaan Islam.
Transmisi ilmu pengetahuan lewat kitab-kitab yang memakai tulisan Arab Pegon meniscayakan pembacanya harus mampu membaca Arab Pegon. Selain itu, guna melestarikan tradisi menulis menggunakan Arab Pegon yang kini jarang dilakukan, perlu adanya tindakan, salah satunya lewat adanya pembelajaran menulis arab Pegon. Sayangnya, kini pengajaran baca tulis Arab Pegon telah melemah. Hal ini dibuktikan dengan fakta-fakta yang penulis temui terkait pengajaran baca tulis Arab Pegon.
Berawal dari niatan penulis yang hendak memasukkan belajar membaca dan menulis Pegon ke kurikulum pembelajaran di sebuah madrasah ibtidaiyah, di mana penulis menjadi pengajar di tempat tersebut, yang berlanjut pada pencarian bahan belajar baca tulis Pegon, penulis kemudian menemukan bahwa belajar baca dan tulis Pegon kini begitu rapuh.
Suatu hari penulis diberi saran untuk melakukan studi banding ke Pondok Pesantren Turus Gurah Kediri yang sudah cukup lama memberlakukan belajar menulis Pegon di Madrasah Ibtidaiyah mereka. Studi banding ini bertujuan untuk mencari wawasan baru tentang bagaimana cara pengajaran baca-tulis Pegon yang baik dan mengetahui bahan ajar yang sudah ada.
Sayangnya, setelah tiba di sana, madrasah tersebut tidak memiliki bahan ajar. Benar memang belajar menulis Pegon diajarkan, namun apa adanya. Pertanyaannya kemudian, “Dari mana sumber pengajar Arab Pegon?”
Jawabnya, ternyata berdasarkan pengalaman belajar mereka di pondok pesantren Turus. Mereka mengajarkan Pegon sesuai kadar pengetahuan mereka tentang Pegon.
Masalah muncul: ketidakbakuan model penulisan huruf Pegon. Tidak ada kodifikasi yang baku atas bentuk-bentuk atau varian huruf pegon. Kalau begini adanya, aksara pegon ini bisa berubah tanpa kita ketahui. Semisal pelajaran tidak bisa membandingkan model-model huruf pegon baru yang sebenarnya tidak muncul dalam sejarah penulisan huruf pegon.
Salah satunya adalah penulisan huruf “g” menggunakan “kaf” dengan titik satu di atas, yang penulis sinyalir muncul sebab muncul dalam variasi bentuk penulisan menggunakan huruf “kaf” dalam font arab di word (komputer). Atau penulisan huruf latin yang tidak memiliki huruf Arab yang pas dengan model pengucapannya, dengan huruf arab yang dirasa mirip saja. Seperti penulisan huruf “g” menggunakan huruf “kaf” tanpa ada “titik” di atas maupun bawah.
Hal ini tentunya akan berdampak buruk terhadap rekam sejarah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon seakan-akan tidak memiliki aturan penulisan baku sehingga bisa dengan mudahnya dimodifikasi tanpa adanya alasan yang jelas.
Selain itu, cara penulisan yang kemudian karut-marut akan membuat bingung para pemakai, terutama yang sedang tahap belajar menulis Pegon yang baik dan benar. Pada akhirnya, Pegon akan dianggap sebagai sebuah alat yang benar telah muncul dalam tradisi kepenulisan, tapi tidak begitu penting untuk dikaji atau malah tidak bisa dikaji sebab begitu karut-marut pemakaiannya di zaman sekarang.
Kembali kepada perjalanan penulis mencari modul menulis Pegon. Tidak lama dari Kediri, penulis kemudian menemukan modul yang cukup bagus karya Abu Muhammad Ghitraf Danil Birri berjudul al-Itqan; Pedoman Maca lan Nulis Pegon yang diterbitkan oleh penerbit Rafaq Muhda dari Pekalongan. Sebuah modul yang langsung menggunakan Arab Pegon dalam penulisannya.
Penulis langsung melacak penulis tersebut sekaligus penerbitnya. Hasilnya, sampai sekarang belum terlacak riwayat penulisnya. Sedang dari penerbitnya, penulis memperoleh kabar bahwa kitab tersebut sudah tidak dicetak kembali. Sungguh sayang sekali.
Akhirnya penulis pun berinisiatif menyusun modul tersendiri berdasar kitab tersebut, dengan uraian yang lebih ringan dan lebih berisi materi singkat serta latihan-latihan. Dilengkapi dengan sejarah singkat tentang kemunculan Arab Pegon.
Pada perkembangannya, penulis kemudian menemukan bahwa modul menulis Pegon sudah pernah ditulis oleh Ibrahim al-Fathiyah, seorang alumni Pesantren Lirboyo, Kediri.
Modul tersebut berbahasa Indonesia dan dilengkap kamus Jawa Pegon. Sayangnya, standar penulisan Pegon dalam buku tersebut menurut penulis memiliki banyak kelemahan dan lebih masuk akal standar penulisan yang dibuat oleh Abu Muhammad Ghitraf. Mengapa?
Sebab, Muhammad Ghitraf memperinci tidak sekedar mencantumkan huruf latin serta Pegon, tapi juga aksara Jawa serta cara baca yang tentunya akan amat berguna dalam memantau perkembangan penulisan huruf Pegon di era aksara jawa masih cukup sering dipakai.
Kabar terbaru, penulis mendengar adanya modul menulis Pegon yang sedang proses penyusunan, oleh Pesantren Lirboyo dan Pesantren Tambakberas.
Keberadaan pengajaran baca tulis Pegon tanpa adanya bahan ajar yang baik, serta belum adanya kajian komprehensif tentang aksara Arab Pegon yang dapat dijadikan acuan dalam pengajaran baca tulis Arab Pegon dapat menjadi tanda lemahnya pengajaran menulis Pegon.
Hemat penulis, ada beberapa hal yang penting diperlukan perhatian terkait modul belajar menulis Pegon:
Pertama, bahan ajar belajar menulis pegon masih amatlah sedikit. Para pengelola pesantren lebih memilih para santri belajar mandiri dengan memperhatikan kemiripan-kemiripan antara huruf latin dengan aksara Arab. Hal ini berdampak munculnya model huruf Pegon baru tanpa adanya alasan yang jelas.
Kedua, media belajar menulis pegon yang sekarang ada masihlah amat sederhana. Terbatas petunjuk penulisan huruf latin ke Arab Pegon, belum sampai merambah pada adanya varian penulisan huruf Pegon, seperti huruf “g” yang kadang ada menulisnya dengan menggunakan kaff titik satu di bawah atau titik tiga di bawah.
Ketiga, buku yang memuat standarisasi tulisan Arab Pegon beserta variannya, mulai awal kemunculannya sampai kemudian mengalami perkembangan, harus segera disusun. Agar tidak menimbulkan kerancauan dikemudian hari.