Siapa yang berhak menentukan ini benar atau ini salah? siapa yang berhak menentukan ini valid atau tidak? demikian ini kegelisahan saya yang mungkin tidak dirasakan oleh orang pada umumnya. Yaitu soal otoritas kebenaran argumentasi dari seseorang.
Sudah menjadi hal yang umum bahwa seorang sarjana, doktor dan profesor atau yang sejenisnya punya tingkat kualitas kevalidan yang lebih tinggi dibanding orang biasa. Secara tidak sadar, masyarakat awam pun menerima cara pandang seperti itu. Khususnya masyarakat perkotaan.
Sederhana saja, dalam pandangan masyarakat awam, mana yang lebih dipercaya argumennya antara profesor dan tukang becak? Ambil contoh mengenai pandangan soal virus corona yang sedang ngehits akhir-akhir ini. Sudah barang tentu, masyarakat akan lebih percaya kata-kata profesor dibanding tukang becak.
Setelah merenung cukup lama, saya punya beberapa kesimpulan mengapa hal itu bisa terjadi. Pertama, jika masyarakat berpandangan profesor yang lebih pantas menyampaikan kebenaran dibanding tukang becak maka kebenaran hanya dimiliki oleh orang-orang elit. Mungkin dalam bahasa banyak pemikir kritis, kondisi seperti ini digambarkan sebagai the manipulation of claim truth.
Sepertinya kondisi seperti ini pun sudah cukup lama bercokol di masyarakat. Sehingga menjadi hal yang sulit untuk mengubahnya. Boro-boro mengubah, punya pikiran berbeda soal kebenaran seperti ini saja bisa terancam dikucilkan.
Sebenarnya, kondisi semacam ini pernah diubah oleh agen aufklarung di dunia Barat. Bahkan, otoritas kebenaran yang waktu itu dipegang Gereja benar-benar dibabat habis sampai pada akhirnya muncul ateisme sebagai lawan berpikir dari cara berpikir sebelumnya. Tetapi, sangat disayangkan. Agen aufklarung yang membawa semangat perubahan dan pencerahan itu kemudian harus menelan pil pahit. Sebab, dalam sejarahnya, kritik manusia modern atas otoritas Gereja juga terjatuh pada kondisi yang sama seperti di zaman abad pertengahan.
Manusia modern menjadikan rasio sebagai pemegang otoritas kebenaran tertinggi. Jika ada sesuatu yang tidak rasional maka oleh orang modern disingkirkan dari kehidupan. Maka jadilah orang modern seperti sekarang ini. Dimana kondisi otoritas kebenaran dipegang oleh orang-orang berpredikat rasional, empiris, dan logis.
Sementara kesimpulan yang kedua adalah berkaitan dengan kondisi masyarakat yang tak bisa claim validitas kebenaran. Masyarakat awam adalah hasil konstruks pandangan seperti dijelaskan di atas. Dimana kesenjangan antara kelas orang berpredikat rasional, empiris, dan logis dengan orang yang tak punya pemikiran rasional sangat kentara. Sebagai jaminan dari orang yang berpredikat rasional-empiris adalah dia akan hidup sejahtera. Ia akan didamba-dambakan oleh masyarakat yang tak memiliki otoritas kebenaran.
Seperti yang saya singgung di atas. Menurut saya, terminologi “orang awam” itu jika dianalisis muncul dari hasil dialektika antar kelas tadi. Orang awam menempati hierarki paling bawah dari hierarki sosial dalam masyarakat. Sudah barang pasti, masyarakat awam yang tak punya cara berpikir rasional-empiris-logis ini menjadi orang yang paling tak diuntungkan. Setiap hari, bahkan setiap jam, orang awam akan dibuat bingung. Kebingungan masyarakat awam biasanya disebabkan karena ternyata dalam kelas masyarakat dengan cara berpikir rasional-empiris-logis ini ada perbedaan kesimpulan. Satu kelompok bilang A, sedang kelompok lain bilang B. Ini kemudian membuat masyarakat awam berkonflik sampai pada tahap saling membenci.
Hal lain yang dapat saya simpulkan dari perenungan yang cukup panjang ini adalah ternyata pandangan orang awam terhadap masyarakat yang cara berpikirnya rasional-empiris-logis dipengaruhi oleh media. Media menjadi alat propaganda orang rasional-empiris-logis untuk memperkuat konstruksi, yang bagi saya cukup menindas ini, dengan sangat tepat. Media menjadi satu-satunya legitimasi paling mudah digunakan untuk memperkuat konstruksi masyarakat seperti yang saya jelaskan di atas.
Hasilnya jelas. Masyarakat awam yang tiap hari disuguhi tontonan yang rasional-empiris-logis akan semakin percaya terhadap apapun yang diucapkan oleh orang yang punya cara pikir rasional empirik. Sederhana saja, orang akan lebih tertarik dan mungkin dalam hatinya mengamini kalau sabun merek tertentu lebih mampu membersihkan dan menjaga kesehatan daripada sabun dengan merek yang lain. Akibatnya, masyarakat akan berbondong-bondong datang ke warung, swalayan atau toko-toko untuk membeli sabun dengan merek tersebut.
Hal yang perlu dilakukan sekarang adalah revolusi cara berpikir. Menjadi menarik ketika dalam masyarakat dengan hierarki seperti digambarkan di atas kemudian terjadi perubahan total. Akan terjadi keselarasan dan egalitarian yang mungkin bisa saja lebih mendekati makna humanisme yang sebenarnya dibandingkan humanisme yang sudah dikonstruks oleh masyarakat rasionalis.
Tukang becak boleh berkata apapun dan soal apapun asalkan dia punya keyakinan terhadap perkataannya. Bahkan, pemulung, orang gila, orang miskin, kuli bangunan, buruh pabrik dan lain sebagainya, punya ruang untuk klaim validitas kebenaran kata-katanya. Dengan kondisi itu, perkataan pemulung, orang gila, orang miskin, kuli bangunan, dan buruh pabrik bisa di dengar oleh dunia. Selain itu, pengetahuan juga akan mengalami perkembangan yang signifikan karena klaim validitas kebenaran tak dipunyai oleh segelintir orang saja.
Inilah kondisi masyarakat sekarang yang sangat menggelisahkan saya. Tentu saja hasil renungan saya ini bisa saja dibantah. Atau mungkin dipertanyakan kembali. Benar dan tidaknya saya kembalikan kepada pembaca untuk melakukan refleksi kondisi masyarakat hari ini.