Sedang Membaca
Sejarah Suram Hukuman Kebiri di Masa Dinasti Abasiyah
M. Ishom el-Saha
Penulis Kolom

Dosen di Unusia, Jakarta. Menyelesaikan Alquran di Pesantren Krapyak Jogjakarta dan S3 di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Sejarah Suram Hukuman Kebiri di Masa Dinasti Abasiyah

1 A Harem

Hukuman kebiri diberlakukan kembali di zaman modern. Di Indonesia hukuman kebiri diterapkan melalui Peraturan Presiden no. 70 tahun 2020 bagi predator seksual dengan cara kebiri kimia.

Proses pengebirian di aman modern ini menggunakan obat anafrodisiak untuk menurunkan libido dan aktivitas seksual. Cara kebiri ini berbeda dengan kebiri di masa silam yang prosesnya dilakukan dengan “pengangkatan” salah satu atau dua-duanya alat reproduksi pria yang disebut testis.

Jika dalam kebiri kimia alat reproduksi lelaki dapat dinormalkan kembali, sementara kebiri dengan cara “pengangkatan” mengakibatkan disfungsi permanen. Dalam bahasa Arab, kebiri dengan cara pengankatan disebut “khishay” “khishyan” atau ‘al-khissha’”. Lelaki yang testisnya telah dilakukan pengangkatan disebut al-khashiy atau jamaknya al-khashyan: sebutan negative sekaligus aib bagi laki-laki.

Menurut Taisir Muhammad Syadi dalam al-Jaraim al-Insainiyyah wa Atsaruha ‘ala al-Mujtama; al-Islami Khilal al-‘ashr al-Abbasy, kebiri permanen diadopsi pertama kali sebagai hukuman oleh penguasa Dinasti Abasiyah semenjak 132 H./749 M. hingga 232 H./849 M. Sanksi pidana ini merupakan keputusan khalifah, sehingga disebut “Al-Jarimah al-insaniyyah” (sanksi pidana buatan manusia).

Disebut sanksi pidana buatan manusia dikarenakan pada zaman Rasulullah pernah ada seorang sahabat bernama Utsman bin Madz’un. Ia meminta izin kepada Nabi saw supaya dibolehkan melakukan kebiri dalam satu peristiwa peperangan karena khawatir tidak dapat menahan birahi. Permohonan itu ditolak oleh Rasulullah dan beliau memerintahkan kepada Utsman bin Madz’un agar mengerjakan puasa untuk mengontrol birahinya itu.

Baca juga:  Nasehat KH. M. Hasyim Asy'ari untuk Pengurus dan Jamaah NU

Di masa Dinasti Abasiyah, hukuman kebiri dijatuhkan kepada para pelanggar hukum dengan tujuan merendahkan martabat mereka. Akan tetapi pada prakteknya, bukan saja para pelanggar hukum yang dikebiri melainkan juga anak-anak para budak, pemuda tawanan perang, dan sebagainya. Mereka dikebiri supaya peringainya lebih halus. Dari situ berkembang motivasi mengebiri orang untuk merekayasa supaya mereka bicaranya halus, gerak-geriknya feminin, hingga berdandan dan bersolek layaknya perempuan.

Di masa pemerintahan Abasiyah banyak pria terkebiri yang sengaja dipelihara oleh khalifah dan menetap di dalam istana sebagai pelayan. Mereka berusia dikisaran 15 sampai 25 tahun yang didandani dengan pakaian dan perhiasan selayaknya anak sultan.

Imam al-Baihaqi meriwayatkan ada seorang bernama Ishaq bin Muslim al-Uqaily sedang menghadap kepada khalifah Abu Ja’far al-Mansur (136-158 H.) dan ia melihat seorang pemuda berwajah ayu (kemayu) dekat sang khalifah.

Ishaq bin Muslim bertanya kapada khalifah: Apakah dia anakmu?
Khalifah menjawab: Bukan!
Ishaq b. Muslim kembali bertanya: Apakah dia saudaramu?
Khalifah menjawab: Bukan!

Didorong rasa penasaran Ishaq bin Muslim mengulang bertanya kepada Abu Ja’far al-mansur: Siapa dia?

Khalifah menjawab: Ia pelayanku.

Mendengar jawaban khalifah, Ishaq bin Muslim berkata: “Wahai amirul mukminin! Berapa besar daya tariknya dibandingkan dengan perempuan, sehingga engkau mengumpulkannya bersama mereka?”

Baca juga:  Sejarah NU dan Pancasila, dari Kiai Wahid, Kiai Achmad Siddiq hingga Gus Dur

Abu Ja’far al-Mansur rupanya tidak senang dengan komentar Ishaq bin Muslim itu. Tanpa banyak komentar sang khalifah memerintahkan pemuda kemayu itu supaya masuk ke dalam biliknya dan melarangnya untuk tidak lagi bercampur dengan perempuan-perempuan di dalam istana.

Sultan-sultan Abasiyah di masa awal masih punya rasa sungkan memelihara pria kemayu yang telah dikebiri sebelumnya. Namun lama kelamaan rasa itu berubah seiring perubahan zaman. Di masa khalifah al-Amin (170 – 193 H.) terdapat banyak pria kemayu yang hidup bebas bercampur dengan perempuan di lingkungan istana. Pria kemayu yang berkulit putih langsat dinamakan “para belalang” (al-jaradiyah), sementara yang berkulit hitam dinamakan “para kunang” (al-ghurabiyah).

Khalifah al-Amin memperlakukan mereka secara istimewa. Ia juga membangun ruang-ruang khusus untuk bersedagurau dengan para pria kemayu itu. Di antara mereka ada yang bernama Kautsar yang telah meluluhkan hati sang khalifah.

Dikisahkan bahwa pada saat terjadi perkelahian antara dua saudara yakni al-Amin dengan al-Ma’mun, datanglah Kautsar untuk menontonnya. Rupanya senjata menyasar tubuh Kautsar hingga berlumuran darah. Sontak saat itu pula khalifah al-Amin mendekati tubuh Kautsar dengan penuh kasih sayang dan menyeka darah pada luka dengan jubah kebesarannya.
Khalifah al-Ma’mun (w. 218 H.) sebagai pengganti khalifah al-Amin, sekalipun tidak memiliki riwayat “menyimpang” sebagaimana saudaranya itu, ia juga bersikap permisif terhadap para pejabat yang memelihara pria kemayu.

Baca juga:  Sumur Aris (2): Isyarat Suksesi al-Khulafa ar-Rasyidun

Dalam catatan sejawan Islam, al-Masudi, pernah terjadi kasus seorang hakim kota Basrah bernama Yahya bin Aktsam yang dilaporkan karena memiliki prilaku seks menyimpang dengan memelihara seorang pria kemayu.

Sekalipun Al-ma’mun menerima pengaduan itu akan tetapi ia tidak menjatuhkan sanksi kepada Yahya bin Aktsam. Bagi al-Ma’mun, yang paling penting Yahya bin Aktsam mampu menjalankan tugas sebagai hakim yang adil. Hanya saja untuk mengurangi kekecewaan masyarakat kota Basrah, sang khalifah memindahtugaskan Yahya bin Aktsam sebagai hakim di kota Baghdad.

Kebiasaan memelihara pria kemayu secara turun-temurun dibiasakan oleh para bangsawan dinasti Abasiyah, hingga khalifah paling akhir yakni khalifah al-Watsiq (227-232 H.) Sang khalifah tercatat memiliki banyak hubungan intim dengan pria-pria kemayu, dan yang paling disukainya ialah bernama Mihaj.

Dikisahkan, pernah suatu hari khalifah memarahi Mihaj dan kemudian dirinya merasa bersalah. Untuk menebus rasa salahnya itu, di hari berikutnya khalifah meliburkan seluruh aktivitas pemerintahan dan secara khusus membuat pesta besar untuk menggembirakan Mihaj.

Di masa Abasiyah secara umum pria-pria kemayu yang sebelumnya telah dikebiri mendapatkan tempat khusus di kalangan istana. Padahal pada mulanya kebiri merupakan bentuk sanksi pidana yang dijatuhkn sultan kepada orang-orang yang melanggar hukum. Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top