Di dalam tradisi Minang tedapat adagium; “Adat basandi Syara, Syarak basandi Kitabulloh” dan tradisi sumpah sati bukit Marapalam. Apakah sesuai dengan prinsip Islam Nusantara?
Prinsip utama Islam Nusantara ialah menjunjung tradisi (adat) selagi agama tidak menjelaskan secara rinci (qath’i), sesuai kaidah “al-‘adat muhakkamah” atau adat dapat dijadikan hukum.
Sumpah sati (sakti) bukik (Bukit) Marapalam yang dihidupkan kembali pada tahun 2018 –setelah 1403 tahun kejadiannya- di Puncak Dato kecamatan Lintau Utara kabupaten Tanah Datar merupakan upaya untuk menjaga tradisi leluhur.
Sumpah sakti Bukit Marapalam adalah ikhtiar untuk melestarikan nilai luhur dari adagium “Adat basandi Syara, Syarak basandi Kitabulloh” (ABS-SBK) yang dibuat sebagai kesepakatan hasil musyawarah antara kalangan ulama dengan pemuka adat dalam menentukan kedudukan agama dan adat bagi masyarakat Minang. Jadi ABS-SBK sesuai dengan Islam Nusantara.
Terlebih lagi, kesepakatan ini diprakarsai ulama ahli tarekat Syatariyah bernama Syekh Burhanuddin Ulakan. Pada bulan Shafar 1650 M, beliau bersama tokoh Islam lainnya, yaitu Tuangku Bayang, Tuangku Kubung Tigo, Tuangku Buyung Mudo dan Tuangku Padang Ganting bersepakat dengan pimpinan adat terdiri dari “Raja Rantau nan Sebelas”, yaitu: Amai Said, Rajo Dihulu, Raja Mangkuto, Rajo Sulaiman, Panduko Magek, Tan Basa, Majo Basa, Malako, Malakewi, Rangkayo Batuah, dan Rajo Sampono.
Unsur ulama dan tokoh adat itu menemui Basa ampek Balai yang memegang kendali pemerintahan alam Minangkabau. Tujuannya adalah menyepakati kelangsungan adat dan syarak di wilayah Minangkabau. Pertemuan dirancang di Luhak Nan Tigo, berupa dataran tinggi yang oleh masyarakat setempat disebut Bukik Marapalam, di mana dari tempat ini dapat dilihat Ranah Pagaruyung kebanggaan masyarakat Minang.
Mereka sepakat mengikrarkan: “Adaik basandi kapado syarak, syarak basandi kapado kitabullah, syarak mengato adaik memakai” yang artinya “Adat bersendikan Syarak, Syarak bersandi Kitabullah, Syarak menyatakan adat melaksanakan”.
Kesepakatan itu lalu disebarluaskan kepada masyarakat secara luas dalam bentuk filosofi adat yang saling melengkapi, di antaranya:
Pertama, adat basabdi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (adat bersendikan agama, dan agama bersendikan Alqur’lan).
Kedua, “syarak mangato adaik” memakai (agama mengatur maka adat menerapkannya: tapi kalau agama tidak mengatur maka adatlah yang berlaku)
Kedia, syarak dan adat itu bak “aur jo tabing”, “sanda menyada kaduonya” (antara adat dan agama itu selayaknya aur dan tebing yang saling menopang satu sama lain)
Keempat, “syarak Mandaki, adaik menurun”1 (Agama –yang disebarkan dari Ulakan- menyebar naik menuju pusat kerajaan Mingkabau di Pagaruyung, sebaliknya adat –yang berpusat di Pagaruyung– menurun mengayomi Ulakan sebagai pusat pengembangan agama).
Kalau filosofi adat Mingkabau ini dipahami secara utuh maka gerakan Islam yang dikembangkan di Ranah Pagaruyung dipastikan bukan gerakan puritanisme Islam. Apalagi jika Sumpah sati (sakti) bukik (Bukit) Marapalam dikaitkan dengan Syekh Burhanuddin Ulakan yang terkenal sebagai tuan guru tarekat Syatariyah.
Menurut Sidi Gazalba (1980), sepeninggal Syekh Burhanuddin Ulakan –terutama sebelum terjadinya Perang Pasifik—masyarakat Minangkabau terbiasa melakukan tradisi “Basapa” (bersafar) atau berjalan kaki yang diikuti puluhan ribu orang menuju pusara/makam Syekh Burhanuddin Ulakan. Maka jalan di antara Pariaman dan Ulakan penuh oleh peziarah yang panjang antriannya sampai kira-kira 10 kilometer.
Dengan demikian, jika ABS-SBK sekarang ini dihadap-hadapkan dengan Islam Nusantara maka selayaknya kita membuka kembali sejarah Islam dan adat masyarakat Minang. Kiranya ABS-SBK tak “senasib” kitab Bulughul Maram fi Adillat al-Ahkam karya Ibn Hajar al-Asqalani. Kitab ini ditulis seorang ulama Syafi’iyah, tapi justru diperalat untuk “menyerang” pandangan mazhab Syafi’iyah.
Itu cerita sejarah islam di bumi sumbar……bukan ttg islam nusantara..
memangnya islam nusantara itu yang bagaimana?