Sedang Membaca
Misteri Keris: Perpaduan antara Keperkasaan dan Kelembutan 
M. Ishom el-Saha
Penulis Kolom

Dosen di Unusia, Jakarta. Menyelesaikan Alquran di Pesantren Krapyak Jogjakarta dan S3 di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Misteri Keris: Perpaduan antara Keperkasaan dan Kelembutan 

Keris atau kris merupakan akronim atau gabungan kata dari “kekaran” (pertahanan, tampang gagah) dan “aris” (pengasih dan penyayang). Keris melambangkan kepribadian orang yang disegani sekaligus disayangi oleh orang lain.

Kata kekaran dan aris dalam akronim keris ini mengingatkan kita kepada puncak ilmu hikmah dan kanuragan. Yaitu haibah (rasa segan) –semacam senggoro macan– dan mahabbah (rasa sayang) semacam semar mesem dan jaran goyang- yang dapat menaklukkan orang lain tanpa rasa permusuhan.

Para pemburu ilmu hikmah dan kanuragan ujung-ujungnya memilih mengamalkan “ngelmu” haibah-mahabbah sebab mereka sadar “di atas langit masih ada langit”. Ketika satu amalan kanuragan telah dikuasai maka biasanya ada laku kanuragan lain yang dianggap lebih tinggi daripada miliknya.

Akibatnya seseorang yang memiliki ilmu kanuragan lebih sering dipancing musuh dan dicari-cari kelemahannya. Sementara seorang yang menguasai “ngelmu” haibah-mahabbah bisa membuat orang lain bertekuk lutut tanpa menyulut rasa permusuhan.

Baca juga:

Keris bagi masyarakat Jawa menjadi inti pusaran ilmu hikmah dan kanuragan yang melambangkan keperkasaan (haibah) dan aris (mahabbah). Mungkin karena itu, para priyayi Jawa menyebut keris dengan sebutan “duwung”, akronim dari kata duwur (tinggi) dan suwung (kosong) atau pusat dan puncak kedigjayaan.

Dari bentuknya keris menyerupai senjata akan tetapi fungsinya menjadi barang pusaka. Disebut demikian sebab keris bukanlah senjata yang diangkat dan diacung-acungkan seperti halnya jenis senjata lainnya, seperti pedang, parang, tombak dan lainnya.

Sebagai benda pusaka, nilai keris tidak ditentukan semata-mata berdasarkan ketajamannya. Keris lebih dinilai dari aspek yang terkandung di dalamnya, yaitu; bilah (berupa benda padat yang ditempa), hulu (bentuk dan modelnya dari pangkal ke ujung) dan walangka (sarung atau wadah keris). Hal inilah yang membedakan keris dengan pusaka sejenisnya Karih (Minagkabau), Sele (Bugis), Keris (Bali, Sasak) dan kalis (Thailand).

Baca juga:  Ihwal Mitos Kebudayaan Arab dan Kebudayaan Lokal

Dari informasi yang terdapat pada relief candi-candi di Jawa Tengah, keris tampaknya sudah dikenal lama oleh masyarakat Jawa. Hanya saja berdasarkan sumber tertulis, keris pada mulanya sebagai senjata perang (kitab Arjunawiwaha, abad ke-11), sebagai senjata potong (kitab Sumanasantaka, abad ke-12). Baru pada abad ke-14 keris dijadikan sebagai benda pusaka yang tersimpan dalam wadahnya (kitab Sutasoma).

Berdasarkan catatan sejarah ini telah terjadi perubahan fungsi keris sebagai senjata menjadi barang pusaka. Kerajaan Singosari sebelum kerajaan Majapahit adalah penanda kurun perubahan fungsi keris menjadi benda pusaka. Tepatnya ditandai dengan keberadaan keris Empu Gandring yang digunakan Ken Arok untuk merebut Ken Dedes dari Akuwu Tunggul Ametung.

Keris Empu Gandring adalah benda pusaka yang belum sempurna. Unsur kekaren (haibah) belum seimbang dengan unsur aris (mahabbah) dalam kerangka keris. Kekaren lebih dominan dalam keris Empu Gandring, sedangkan aris lebih dominan dalam rasa syahwat Ken Arok kepada Ken Dedes. Akibatnya keris Empu Gandring memakan korban hingga tujuh turunan.

Pengalaman pahit ini menjadi pelajaran berharga bagi pembuat keris pusaka di era berikutnya untuk menyempurnakan anasir kekaren dan aris. Di antaranya adalah Empu Supo ahli keris di akhir masa kerajaan Majapahit. Perkenalannya dengan Sunan Kalijaga selaku ipar sekaligus gurunya telah menambah wawasannya sebagai pembuat keris pusaka.

Baca juga:  Joko Pinurbo, Puisi dan Religiositas

Ia pernah dipesan membuatkan keris Sunan Kalijaga. Pertamakali Sunan Kalijaga memesan keris untuk memotong hewan kepada Empu Supo dengan bahan dasar berupa tembaga sebiji asam. Tapi yang dihasilkan justru keris Majapahitan ber-luk 13 yang memancarkan warna kemerah-merahan. Keris ini tidak dijadikan alat sembelih tapi pusaka dengan sebutan keris Sengkelat.

Lalu Empu Supa diberi lagi besi yang ukurannya sebesar kemiri. Setelah dikerjakan, jadilah sebilah keris mirip pedang suduk (seperti golok atau belati). Begitu mengetahui wujud keris yang dihasilkan, Sunan Kalijaga sangat senang hatinya dan dinamakan “Kiai Carubuk”.

Kedatangan para wali di tanah Jawa berkontribusi besar terhadap perubahan fungsi keris sebagai benda pusaka. Selain pengalaman Empu Supo dengan Sunan Kalijaga yang telah menghasilkan keris pusaka, ada juga kisah keris “Kala Munyeng” milik Sunan Giri.

Keris ini mulanya merupakan kalam (pena) yang dipakai Sunan Giri menulis Alquran. Suatu saat Sunan Giri kedatangan segerombolan perampok dan untuk mengusirnya beliau melempar kalamnya itu sehingga berubah menjadi keris ampun seperti peluru kendali. Keris dari kalam itu yang disebut “Keris Kala(m) Munyeng”.

Kisah perkerisan di jaman peralihan Hindu-Buddha ke Islam masih diselimuti mesteri. Biji yang disodorkan Sunan Kalijaga kepada Empu Supo dan kalam Sunan Giri yang berubah menjadi keris, apakah nyata atau kiasan?

Baca juga:  Nyadran Jelang Ramadan, Bukan Kemusyrikan

Bisa jadi hal itu merupakan nilai ajaran tasawuf. Kerangka keris itu ibarat jasad manusia sedangkan biji yang diberikan Sunan Kajijaga adalah isi hati yang sirr (rahasia). Begitu pula pena Sunan Giri yang berbah menjadi keris, bisa jadi hal itu menunjukkan arti penting agama dan ilmu pengetahuan yang disimbolkan dengan pena.

Semenjak kedatangan para wali, keris bukan lagi untuk diacung-acungkan. Tak ada lagi tentara kesultanan yang mengangkat senjata dengan alat keris. Dalam kecamuk perang keris tetap terselip di belakang pinggang sementara senjata berperang adalah pedang, tombak, bedel, dan meriam.

Tentu saja, dalam sejarah ada juga yang masih menggunakan keris sebagai senjata, seperti Aryo Penangsang dengan keris Setan Kobernya, tapi akibatnya ia mati dengan senjatanya sendiri.

Keris pusaka ibarat bekal doa yang lebih ampuh dari senjata sekalipun. Rasa segan atau kekaren (haibah) dan aris atau kasih sayang (mahabbah) yang tercermin dari simbol keris dapat menaklukkan lawan tanpa balas dendam.

Pepatah Jawa menyebutkan: ”joyo diningrat lebur dining pangestuti” yang artinya kedigjayaan dan kejayaan dapat dikalahkan dengan doa.

Oleh sebab itu jaga dan rawatlah keris sebagai benda pusaka dan warisan budaya sebab ia melambangkan doa untuk haibah dan mahabbah, disegani dan dihormati sekaligus dicintai. Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top