Beberapa hari ke depan kita akan melihat olahan ketupat yang disuguhkan di masjid-masjid di kampung Betawi. Bukan untuk merayakan Lebaran, tapi orang Betawi menyambut qunut di pertengahan akhir bulan Ramadan.
Di samping ketupat ada lagi makanan yang disebut buras (bubur beras), layaknya lontong yang dibalut menggunakan daun pisang. Bedanya di dalam buras sudah diracik antara beras dengan bahan masakan lainnya sehingga terasa gurih dan legit. Tanpa kuah sekalipun kita dapat menyantap buras dengan rasa maknyus.
Kehadiran ketupat dan buras di saat malam pertama qunut witir bulan Ramadan seakan mengajak umat Islam agar berselera lagi meramaikan mesjid. Tak dirahasiakan lagi umumnya mesjid-mesjid hanya ramai di hari-hari pertama bulan Ramadan. Tapi memasuki minggu kedua jamaah salat tarawih sudah mulai menjalar keluar mesjid.
Dalam artian mereka bukan ikut jamaah tarawih namun sibuk dan asyik dengan urusan mereka masing-masing di rumah, jalanan, dan pasar swalayan. Untuk itulah agar umat Islam kembali mengisi shaf-shaf mesjid, kepada mereka dihidangkan menu ketupat dan buras yang disantap beramai-ramai sesudah selesai qunut witir.
Ketupat dan buras merupakan gambaran perut manusia yang butuh diisi. Pemahaman agama orang Betawi melalui filosofi ketupat dan buras menunjukkan cara beragama yang sangat realistis. Dalam hal ini spiritualitas dan rohani akan mudah dipenuhi jika perut mereka terisi. Sebaliknya jika perut mereka kosong akan susah memenuhi kebutuhan rohani.
Oleh sebab itu agar masjid-masjid di kampung Betawi tetap penuh jamaahnya maka kebutuhan dasar hidup mereka harus dicukupi. Problemnya tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat Betawi bertambah tahun semakin menurun. Ladang dan sawah mereka sudah mulai habis yang mengakibatkan kesadaran beragama mereka tidak sesemarak leluhur mereka.
Dulu sebelum diidentifikasi sebagai suku Betawi, penduduk asli kota Jakarta ini lebih akrab disebut orang “Slam” (orang Islam). Betawi itu Islam, dan Muslim itu entitas komunitas Betawi: kira-kira demikian. Islamnya orang Betawi bercorak formalistik sebab mereka cenderung anti tarekat. Formalistik di sini pengertiannya hanya mengikuti ketentuan ketat syariat, khususnya mengikuti paham Syafi’iyah.
Orang-orang Betawi umumnya sangat religius. Mereka yang kaya hampir semua membangun mushala dan masjid khususnya untuk tempat peribadatan keluarga mereka sendiri. Agar wakaf orang tua tetap dimakmurkan oleh anak keturunannya maka, pada momen-momen tertentu diadakan kegiatan agama seperti muludan, qunutan dsb, lengkap dengan menu makanan khas sebagai daya tariknya.
Salah satu menu makanan khas dalam acara-acara keagamaan yang digelar masyarakat Betawi ialah ketupat dan buras. Sampai saat ini makanan khas itu tetap terjaga kelestariannya. Hanya saja berhubung lambat laun kesejahteraan hidup mereka menurun maka tingkat relegiusitas mereka ikut tergerus.
Di malam qunutan paruh terakhir Ramadan, ketupat dan buras masih tetap dikeluarkan di mushala-mushala dan masjid-masjid. Tetapi tampaknya minat mereka berjamaah di tempat suci itu masih dikalahkan oleh ketertarikan mereka terhadap pemenuhan hajat hidup sehari-hari. Akibatnya ketupat qunut tinggal menyisakan tradisi masyarakat Betawi.