Setiap kali saya tadarus sampai QS. An-Naba’ hati ini terasa tergelitik dan muka pun ikut tersenyum simpul. Pasalnya pada QS. An-Naba ayat 33 terdapat kalimat “wa kawa’iba atraba“. Secara harfiyah “kawaib” adalah bentuk jamak “kaib” yang artinya “nataa tsadyuha” atau muncul puting susunya.
Dalam QS. An-naba’ disebutkan
( إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ مَفَازًا . حَدَائِقَ وَأَعْنَابًا . وَكَوَاعِبَ أَتْرَابًا )
Artinya: Sesungguhnya terdapat kebahagiaan untuk orang orang bertakwa. Kebun-kebun dan anggur-anggur. Dan diselumuti bidadari yang muncul puting susunya.
Kenapa Al-Quran mendeskripsikan bidadari se-vulgar begitu? Secara harfiyah memang begitu adanya. Akan tetapi ketika kita membandingkannya dengan pilihan kata “haidh” dalam sàlah satu hadits Rasulullah Saw. kita baru akan paham. Rasulullah bersabda:
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَار رواه أبو داود
Artinya: Allah tidak akan menerima salatnya perempuan yang sudah masuk usia menstruasi terkecuali dengan bermukena.
Lafal haidh dalam hadits ini kalau dipahami secara harfiyah yaitu “perempuan yang sedang haidh” tentu saja keliru pemahamannya. Sebab perempuan yang sedang haidh hukumnya dilarang shalat. Tapi kenapa disebutkan shalatnya perempuan yang sedang hàidh?
Di sinilah pentingnya kita belajar dalil agama tak semata-mata berdasarkan terjemah harfiyahnya.
Baik lafal “kawaib” dalam QS. An-Naba maupun lafal “haidh” dalam hadits itu harus dipahami aspek “siyaqul kalam” yang bisa digunakan oleh para sastrawan dan ahli bahasa. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan dua kata tersebut adalah batasan usia atau masa-masanya.
Oleh sebab itu hendaknya dipahami bahwa lafal “kawaib” pengertiannya bidadari cantik yang usianya 17 tahunan. Begitupun lafal “haidh” pemahamannya ialah perempuan yang sudah baligh yang mulai ditandai dengan sudah pernah menstruasi.
Jadi, kalau bertepatan membaca QS. An-Naba’, bergembira boleh tetapi jangan berpikiran vulgar, Ya!!