Seringkali terpikir dalam benak saya kenapa saudara-saudara kita yang baru menemukan spiritualitasnya, akrab disebut “hijrah” cenderung berhaluan garis keras. Yang dimaksud garis keras di sini ialah kelompok agama yang berpaham radikal, kaku, kolot, dan sebagainya.
Saya lebih senang memilih kata garis keras dibandingkan agama autentik yang biasanya mereka klaim, sebab beragama tidak semata-mata menerima melainkan juga menginterpretasikan dari proses perenungan. Sesuatu yang disebut autentik dalam agama adalah sumbernya: Tuhan, Rasul, kitab suci dsb. Sedangkan beragama sendiri merupakan sudut pandang yang terolah dari sumber agama.
Jika pemeluk agama ditanya persepsinya tentang masalah yang menjadi pilar agama maka pasti mereka menjawab “dari penjelasan guru agamanya atau tokoh agamanya”. Hal ini menunjukkan bahwa klaim agama autentik itu sangat relatif dan semua pihak berhak mengklaim autentik beragamanya.
Dengan kata lain, pihak-pihak yang berperan menjadi mentor serta pihak-pihak yang sedang hijrah, perlu sejenak merenung: apakah benar paham yang dipelajari autentik atau justru terperangkap dalam garis keras. Kecuali kalian betul-betul menjadi agen garis keras!!!
Seseorang secara tiba-tiba ingin kembali ke titik awal atau titik nol pada dasarnya tidak ada tujuan lain kecuali ingin hidupnya menjadi lebih baik. Berbuat baik kepada Tuhan, kepada diri sendiri, kepada keluarga, kepada tetangga dan saudara, termasuk kepada sesama warga masyarakat dan negara.
Tapi, mengapa ingin hidup lebih baik tetapi justru bersikap tidak baik dengan pihak lain? Saya ingin menngajak, khususnya pribadi saya dan umumnya kalian semua agar merenungkan hadits Rasulullah SAW ini!!!
من بدا جفا
Mungkin karena keterbatasan kemampuan kita berbahasa Arab belum tahu artinya. Akan tetapi coba tanyakan kepada mentor spiritual kita, apa makna sebenarnya hadits Rasulullah itu? Artinya ” Siapa memulai maka siap kering (bersusah payah)” ataukah “Siapa mengawali kehidupan baru maka keras (kasar) orangnya”.
Kalau kita merasa semenjak hijrah menjadi keras dan kasar, coba amalkan pengertian pertama! Yaitu latihlah hidup bersusah payah sebab dengan cara itu hidup akan menjadi bermakna. Amatilah permulaan seseorang menjadi santri di pesantren! Lihatlah seseorang yang memulai hidup menjadi Bhiksu. Hasilnya, mereka tidak lagi keras beragama tetapi mulia beragama.
Melalui tulisan ini saya juga belajar memahami bahwa kalau ternyata saudara-saudara yang hijrah itu memahami makna yang kedua dari hadits itu: “siapa yang mengawali hidup baru maka keras (kaku) orangnya”, maka alangkah baiknya kita lenturkan mereka, bukan memusuhi mereka. Wallahu a’lam