Iblis terkenal congkak tak mau bersujud; informasi ini sudah banyak yang tahu. Tapi informasi bahwa iblis tak pernah berolahraga; barangkali jarang yang tahu.
Iblis tak pernah berolahraga juga dipahami dari firman Allah SWT: “Dan ketika kami perintahkan kepada malaikat untuk sujud kepada Adam, maka mereka bersujud kecuali iblis..” (QS. Al-Baqarah: 37). Pasalnya kalau sujud yang dimaksud dalam ayat itu menggambarkan salah satu gerakan salat maka artinya iblis juga punya dengkul/lutut. Sebab hanya makhluk yang punya dengkul saja yang dapat memperagakan gerakan sujud.
Dengkul sebagai pangkal ruas yang menyambungkan persendian tulang kaki berperan penting untuk menjaga keseimbangan tubuh. Peran penting itulah yang menuntut semua makhluk berdengkul supaya berolahraga agar sehat. Jadi, ketika Allah memerintahkan bersujud maka pada dasarnya Ia memerintahkan makhluk-Nya agar menjaga kesehatan. Sujud merupakan gerakan olahraga. Sementara iblis menolak ajakan itu, hal itu berarti ia tak mau sujud dan berolah raga sekalipun ia punya dengkul.
Iblis semakin benci terhadap olahraga tatkala manusia dengan akal pikirnya selalu melakukan inovasi gerakan olah raga. Terlebih lagi ketika manusia melakukan eksperimen untuk membuktikan kekuatan dan ketahanan tubuhnya dengan adu gulat, lari cepat, berenang, dan sebagainya. Iblis pun semakin muak dengan olahraga dan melampiaskannya dengan mengadu domba manusia. Kekuatan dan kecepatan fisik manusia diprovokasi iblis untuk berperang, mengalahkan, hingga mematikan orang lain. Sejak itulah olahraga identik dengan latihan fisik berperang.
Pada tahun 667 SM. supaya manusia tidak mengidentikkan olah raga dengan jihad dan perang diadakanlah festival olahraga yang dikenal Olimpiade Yunani. Selama satu bulan manusia tidak boleh berperang untuk menghormati maha Dewa Zeus, dan selama masa itu pula olahraga dipertandingkan untuk mengembalikan semangat awal manusia berolah raga. Olimpiade merupakan momen pertamakali mempertandingkan cabang olahraga, untuk menyelamatkan manusia dari pengaruh iblis yang benci terhadap olahraga.
Kepentingan memasyarakatkan olah raga dan mengolah ragakan masyarakat dalam Islam juga dikembangkan dengan konsep al-musabaqah (kecepatan) dan al-mudhalah (kecermatan). Hal ini tercermin dalam salah satu topik bahasan fikih, yakni bab al-sabq wa al-ramy. Islam telah memperluas makna olahraga dari semua hanya al-musabaqah (kecepatan) yang berorientasi fisik dan motorik; bertambah lagi dengan al-mudhalah (kecermatan) yang berorientasi pikir dan psikomotorik.
Bukan itu saja, Islam juga menempatkan olahraga dalam kegiatan usaha dan jasa dengan memasukkan masalah olahraga ke dalam kompilasi hukum transaksional (muamalah). Dalam Islam setidaknya telah dikembangkan lima asas atau rinsip dasar olahraga:
Pertama, olah raga bersifat “riil”, kasat mata dan dapat diperagakan, mengikuti ketentuan umum transaksi Islam, yaitu wujudnya nyata (mu’ayyan).
Kedua, olahraga berorientasi fisik, motorik, dan psikomotorik yang digariskan dalam maqasid (tujuan) olah raga, yaitu al-musabaqah dan al-mudhalah.
Ketiga, olahraga terikat dengan aturan dan ketentuan yang disepakati.
Keempat, olahraga melibatkan pihak lain di luar yang berolahraga raga seperti wasit, hakim, dll.
Kelima, olahraga menjunjung tinggi sportifitas, prestasi dengan diaturnya ketentuan ‘iwadh (hadiah). Dalam hukum Islam ‘iwadh hanya dibolehkan bersumber dari satu pihak yang bertanding atau pihak ketiga yang menggelar pertandingan.
Adapun jika ‘iwadh berasal dari pihak-pihak yang bertanding maka hal itu bukan bentuk sportivitas dan prestasi melainkan dianggap taruhan dan perjudian. Sebab sportivitas dan prestasi lahir karena pengakuan; sementara kerugian dan permusuhan merupakan harapan iblis dan setan.