Sedang Membaca
Fikih Tanah-Air Indonesia (4): Tanah Warisan
M. Ishom el-Saha
Penulis Kolom

Dosen di Unusia, Jakarta. Menyelesaikan Alquran di Pesantren Krapyak Jogjakarta dan S3 di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Fikih Tanah-Air Indonesia (4): Tanah Warisan

Whatsapp Image 2020 03 17 At 8.12.53 Pm

Keinginan mengakses dan melakukan kontra-inkslusi pertanahan bagi tiap-tiap individu umat ibarat dua sisi mata uang yang berkaitan. Hal ini pula yang mendorong pegiat hukum Islam untuk terus berijtihad tentang hukum waris, hukum wakaf, dan hukum pertanian (muzara’ah dan mukhabarah).

Khusus upaya kontra-inklusi tanah warisan, dalam hukum waris akses terhadap tanah diwujudkan melalui dekonstruksi hak waris bagi perempuan. Dalam hukum Islam ketentuan dasarnya mengikuti aturan satu banding dua untuk ahli waris laki-laki dan perempuan.

Hal ini disebabkan di masa Arab-Islam, harta warisan bentuknya aset perdagangan (benda bergerak) yang selalu berputar. Pantas laki-laki diberikan hak satu sebab perputaran keuangan keluarga didominasi laki-laki sebagai pemimpin keluarga.

Beda halnya dengan aset berupa tanah (harta tak bergerak) yang tidak ada hubungan langsung dengan faktor kelaki-lakian untuk dapat mengakses dan memberdayakannya. Oleh sebab itulah masyarakat Islam Nusantara memilih cara membagikan tanah secara hibah dibandingkan kewarisan.

Salah satu motifnya untuk melakukan kontra-inklusi dan mempertahankan kepemilikan tanah agar tak berpindah ke pihak lain. Anak dan ahli waris akan segan menjual tanah pemberian orang tuanya saat masih hidup.

Hal ini berbeda jika diwariskan setelah orang tua meninggal. Anak dan ahli waris tak segan menjual tanah warisan. Bahkan terkadang sesama ahli waris menjadi calo tanah warisan agar cepat dibagikan. Dengan perkembangan ini timbullah gagasan melakukan kontra-inklusi tanah warisan dengan membagi rata antara ahli waris laki-laki dan perempuan.

Baca juga:  Ngobrol Bersama "Romo Vatikan"

Tujuan utamanya agar keinginan dapat mengakses tanah warisan dengan melakukan upaya kontra-eksklusi tanah dapat berbanding lurus dan sejajar. Ahli waris diharapkan tetap memiliki tanah, dan tidak hidup terlunta-lunta akibat tanah warisan yang dibagi-bagikan lantas dijual.

Gagasan ini memang tak mudah seketika diterima karena kalangan agamawan menganggapnya bertentangan dengan pandangan teologis: Pertama, pandangan umum yang menganggap hak waris laki-laki atas perempuan adalah satu banding dua. Kedua, warisan harus cepat dibagikan.

Padahal konteks dari doktrin teologis itu berhubungan dengan masyarakat yang mengandalkan hidup dari perputaran benda bergerak. Bukan pemeliharaan asset benda tak bergerak seperti tanah. Coba kita renungkan, agar kepemilikan tanah oleh masyarakat dapat terjamin kelestariannya. Wallahu a’lam

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top