Men-“duduk”-i lahan tanah dan aset milik orang lain dalam hukum Islam adakalanya diharamkan dan adakalanya dibolehkan. Diharamkan apabila menduduki lahan orang lain itu niatnya ghasab, menyerobot. Adapun bagi pihak yang merasa lebih berhak daripada pihak lain, ia dibolehkan menduduki tanah dan aset, dengan maksud menolak pengalihan/pemindahtanganan kepada pihak selain dirinya.
Penolakan dengan cara menduduki tanah dan aset itu disebut syuf’ah.
Secara bahasa syuf’ah berarti partner atau mitra, yaitu: mitra bisnis dan usaha, tetangga bersebelahan, dan pemilik tanah terdekat. Secara istilah, syuf’ah adalah hak yang dimiliki mitra bisnis, tetangga bersebelahan dan pemilik tanah terdekat untuk menolak pemindahtanganan lahan dan aset seseorang atau kelompok kepada pihak yang lainnya.
Hukum syuf’ah di zaman Rasulullah saw pertama kali diberlakukan dalam konteks pengelolaan rumah dan bangunan, perkebunan dan pekarangan, serta benda-benda lain yang belum dipecah-pecah.
Kemudian pada perkembangannya, syuf’ah juga diterapkan di bidang kemitraan usaha dan penyertaan modal. Dalam pengertian, sebagai mitra bisnis dibolehkan menarik saham dan modal yang dimilikinya dari partner kerjanya dengan alasan berjaga-jaga dari kerugian.
Dibandingkan dengan hukum bisnis dan dagang, penerapan syuf’ah dalam hukum pertanahan sudah tak terlalu populer di masyarakat. Terutama semenjak hak kepemilikan mutlak atas tanah (beschikken) diatur ketat melalui sertifikasi bumi dan bangunan.
Kini, pemilik bumi dan bangunan merasa bebas memindah-tangankan apa yang dimilikinya kepada pihak lain yang memiliki penawaran tertinggi, tanpa memperdulikan tetangga sebelahnya maupun pemilik tanah terdekatnya. Begitu pula notaris dan pejabat pertanahan cukup menyebutkan batas-batas obyek bumi dan bangunan tanpa harus meminta tanda tangan pemilik yang bersebelahan.
Uniknya, masyarakat pun tak peduli dan merasa tak perlu tahu, apalagi mencampuri urusan tetangga dan orang-orang di sekelilingnya. Padahal, ada ketentuan syuf’ah dalam bermitra dan bertetangga. Dalam adat-istiadat juga ada norma “menawarkan kepada orang-orang terdekat”, atau setidaknya melibatkan mereka menjadi saksi bertransaksi. Inilah wujud etika syuf’ah dalam tradisi masyarakat.
Betul, bahwa dalam hadis Rasulullah saw ada penjelasan: “syuf’ah tak berlaku dalam harta yang telah dipecah-pecah.” Termasuk “dipecah-pecah”: rumah tapak, tanah kavling, dan lain sebagainya. Tapi di era modern ini ada rumah susun -termasuk perumahan rakyat yang satu dinding dimanfaatkan dua rumah tangga: Masih ada juga kampung Bojong yang memanfaatkan satu jalan kampung secara bersama-sama.
Oleh sebab itu, masih relevankah syuf’ah dijadikan dasar sabotase warga untuk menjaga lingkungan bersama dan lahan konservasi serta melindungi tanah adat lainnya? Apakah masih diperlukan syuf’ah menjadi spirit gerakan Kontra-Ekslusi pertanahan oleh rakyat?