Asas contrarius actus dalam hukum administrasi negara adalah asas yang menyatakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (“TUN”) yang menerbitkan KTUN dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya. Apa yang dilakukan presiden Jokowi dalam kedudukannya sebagai pejabat TUN yang mengeluarkan Perpres (Perpres) adalah sudah tepat adanya.
Asas contrarius actus berlaku untuk pembatalan maupun pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Hal ini dikarenakan UU 30/2014 tentang administrasi pemerintah tidak membedakan antara pembatalan dengan pencabutan KTUN. Ketentuan mengenai pencabutan KTUN diatur dalam Pasal 64 ayat (1) UU 30/2014.
KTUN dapat dicabut apabila terdapat cacat wewenang, prosedur, dan/atau substansi. Termasuk kedapatan “cacat substansi” KTUN adalah alasan Keputusan dapat membahayakan dan merugikan kepentingan umum, seperti halnya bahaya miras.
Dalam hal KTUN dicabut, harus diterbitkan KTUN baru dengan mencantumkan dasar hukum pencabutan dan memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (“AUPB”). Bagaimana jika yang dicabut hanya lampiran KTUN, apa perlu penerbitan KTUN yang baru?
Seperti diketahui bahwa Presiden hanya mencabut lampiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang memicu polemik di masyarakat. Presiden tidak mengumumkan penerbitan Perpres pengganti yang baru, mungkin dengan alasan hanya mencabut sebagian isi lampiran, yakni lampiran III.
Fungsi dan peran dari suatu lampiran memang tidak dijelaskan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Akan tetapi disebutkan dalam Angka 192 Lampiran I UU 12/2011 bahwa dalam hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lampiran, hal tersebut dinyatakan dalam batang tubuh bahwa lampiran dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Perundang-undangan.
Jadi apabila dalam Perpres No. 10/2021 disebut lampiran-lampiran termasuk KTUN, maka perlu penerbitan KTUN baru.