Sedang Membaca
Keajaiban Banten (VII): Misteri Debus, Seni Teatrikal Sufi Nusantara
M. Ishom el-Saha
Penulis Kolom

Dosen di Unusia, Jakarta. Menyelesaikan Alquran di Pesantren Krapyak Jogjakarta dan S3 di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Keajaiban Banten (VII): Misteri Debus, Seni Teatrikal Sufi Nusantara

Jika muslim Turki punya tari Rummi maka muslim Banten memiliki seni Debus. Debus Banten memiliki ciri khusus yang tidak didapati di daerah lain, seperti debus Aceh dan lainnya. Seperti apa Debus Banten?

Ciri khusus dan utama debus Banten adalah senjata berbentuk godo (Jawa) yang memiliki ujung menyerupai pahat. Alat untuk uji kekebalan ini disebut debus (al-madad).

Dalam atraksi debus, senjata berbentuk sepertirti pahat itu dihujamkan ke tubuh peraga seni tetapi tidak tembus badannya. Benda tajam itu seakan menjadi benda bohongan (gedebus), seperti benda mainan di hadapan orang berilmu kebal.

Konon, permainan debus sudah dikenalkan kepada masyarakat luas di masa Sultan Maulana Hasanuddin, sultan pertama Banten. Tetapi, informasi lengkap tentang gambar senjata debus dan filosofinya terdapat dalam naskah pontang yang ditulis di masa Sultan Abul Mafakhir, penguasa keempat Kesultanan Banten (1596-1651).

Gambar senjata debus merupakan ilustrasi susunan kata “Muhammad” secara berhadapan dan bertemu antara ujung huruf “mim” dipangkal dan huruf “dal” di bagian ujung. Sementara di tengah-tengah antara dua kata “Muhammad” itu tertulis kalimat “la Ilaha illa Allah”.

Gambar senjata debus melambangkan ajaran tasawuf martabat tujuh yang diajarkan melalui kitab Tuhfat al-mursalat. Martabat tujuh sendiri berisi ajaran kesatuan Tuhan dalam alam semesta: mulai dari ahadiyah, wahdah, wadiyah-wahdaniyah, alam arwah, alam amsal, alam ajsam, dan alam insan.

Ahadiyah melambangkan dzat Allah. Wahdah melambangkan nama dan sifat Allah. Wahidiyah dan wahdaniyah melambangkan penciptaan nur Muhammad dan penciptaan nabi Adam. Alam arwah melambangkan ruh seluruh makhluk. Alam amsal melambangkan rupa-rupa makhluk. Alam ajsam melambangkan fisik makhluk. Alam insan melambangkan manusia secara utuh.

Baca juga:  Pesantren di Mata Rendra

Pengertian sederhanya, pada diri manusia bersemayam secara akumulatif mulai dari sifat ketuhanan, anasir penciptaan manusia utama (Nur Muhammad), anasir penciptaan manusia pertama (Nabi Adam), jiwa halus dan kasar yang terhimpun dalam raga manusia. Manusia yang mampu mengelola dan merawat potensi martabat tujuh itu pada dirinya maka selamat lahir batin.

Debus –yang dikonotasikan dengan tubuh tak bisa ditembus– merupakan pembuktian manusia yang selamat. Mengapa tak bisa ditembus?

Sebab manusia yang mampu mengelola dan merawat potensi martabat tujuh seperti ruang kosong. Tubuh manusia yang dihujam menggunakan debus tak berbekas sebab benda itu sesungguhnya mengenai wadah yang kosong.

Wadah yang kosong itu wujud ahidiyah Allah. Sedangkan debus yang dihujamkan itu wujud wahidiyah-wahdaniyah; perpaduan antara anasir Nur Muhammad dan anasir penciptaan Adam. Sebelum Allah menciptakan nabi Adam, Ia terlebih dulu menciptakan nur Muhammad. Dalam hadis Qudsi dijelaskan: “sekiranya tidak ada kamu, Muhammad, Aku tak akan ciptakan jagat alam semesta.” Oleh sebab itu nama Muhammad dijadikan ikon debus.

Muhammad terdiri huruf min (menggambarkan unsur api yang selalu menjilat ke atas seperti posisi berdiri i’tidal), huruf ha‘ (melambangkan angin yang bertiup seperti posisi orang ruku’), huruf mim diulang dua kali (melambangkan air yang mengalir ke bawah laksana orang sujud), huruf dal (melambangkan tanah yang lapang sebagaimana duduknya orang shalat).

Baca juga:  Mural Gus Dur pada Tembok Kusam

Dari empat Anasir itu yang tergolong benda padat hanya unsur tanah, sementara api, angin, dan air bukan benda padat. Secara kimiawi benda padat yang sedikit menjadi larut bersama benda tidak padat lainnya. Makanya debus dengan sendirinya larut tak berbentuk, tajam jadi tumpul, dihujamkan tapi tak berbekas.

Ilustrasi alat debus di naskah Pontan (penulis)

Seni pertunjukan debus dimainkan sebagai bentuk rasa keasyikan seseorang saat bersanding dengan Sang Maha Pencipta. Pemain debus larut terbawa emosi kecintaannya terhadap Tuhannya, sehingga tak menghiraukan jiwa kasarnya dihujam bertubi-tubi menggunakan debus/al-madad.

Boleh saja penonton merasa ngilu menyaksikan benda tajam dihujamkan ke badan. Tetapi bagi pemain debus, realita sesungguhnya adalah larutan yang disiramkan di atas permukaan badan.

Sekalipun begitu, permainan ini tidak boleh dicoba sendiri sebab harus ada pendamping (guru sufi atau Mursyid) yang membimbing laku rohani ini. Dalam seni teatrikal Debus, tergambar kuat pola relasi murid dengan mursyid. Seorang murid agar selamat berjalan dalam track-nya dan tidak salah arah harus didampingi mursyid.

Debus adalah simbol totalitas keimanan seorang muslim. Oleh sebab itu jika bermain debus tapi masih tembus maka hal itu karena imannya belum tembus.

(Pernah dimuat pada 9 April 2019).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top