Sedang Membaca
Sumber-Sumber Penting untuk Membaca Hubungan Islam, China, dan Nusantara
Muhammad Idris
Penulis Kolom

Peminat literatur Islam klasik dan studi pesantren

Sumber-Sumber Penting untuk Membaca Hubungan Islam, China, dan Nusantara

Terlepas dari perdebatan status kesahihan sebuah hadis Nabi yang berbunyi, “Carilah ilmu hingga ke negeri Cina”, ada sebuah pertanyaan layak diajukan, “Apakah Nabi Muhammad saw. pernah mendengar negara Cina?”

Menurut Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam; A History of the Propagation of teh Muslim Faith, bukanlah sesuatu yang tidak mungkin bahwa ia (Nabi) pernah mendengar sebuah negeri bernama China. Mengingat, hubungan antara China dan Arab sudah terjalin jauh sebelum ia lahir (1913: 222).

Masih menurut Arnold, sumber-sumber sejarah Kwangtung mencatat awal kedatangan orang-orang Islam ke China:

“Pada awal pemerintahan Dinasti Tang telah datang sejumlah besar orang asing ke Kanton. Mereka terdiri dari kerajaan Annam Kamboja, Madinah dan beberapa negara lain.”

Baca juga:

Sejarawan Arab, Muhammad Sya’ban Ayyub dalam tulisannya berjudul Qiraat Tarikhiyyah lil ‘Alaqah bayn al-Muslimin wa as-Shin (Hubungan antara Umat Islam dan China: Perspektif Sejarah) menuturkan bahwa kedatangan rombongan kaum muslim ini diterima dengan baik oleh sang raja. Mereka diizinkan menetap di Kanton untuk berdagang.

Iyyas Salim dalam sebuah penelitian tesisnya berjudul “al-Muslimun fis-Shin (Umat Islam di China) (748-1367 M/ 131-769 H)” mendata sejumlah sumber berbahasa Arab yang menjadi rujukan utama dalam penelitiannya tentang Islam di China. Beberapa di antaranya adalah tiga sumber berikut ini:

Pertama, Rihlah as-Sairafi (Perjalanan as-Sairafi) karya Abu Yazid As-Sairafi. Buku ini merupakan salah satu sumber utama sejarah Islam di China perspektif ‘Islam’. Penulis buku ini konon tidak pernah melakukan perjalanan ke sejumlah negara. Ia hanya merangkum dari cerita para pelancong yang mengunjungi China, India, dan negara-negara lainnya.

Baca juga:  Apa yang Dilakukan Kiai Ahmad Sanusi Sukabumi Saat Dikafirkan

Terlepas dari itu, dalam buku ini As-Sairafi mengulas kehidupan kaum muslim di China dari beberapa sudut; kehidupan keagamaan, ekonomi, hingga hubungan politik dengan penguasa China saat itu.

2. Nuzhat al-Musytaq fi Ikhtiraq al-Aafaq (Perjalanan yang Dirindu, Mengembara ke Tempat Jauh) karya Al-Idrisi. Kitab ini mengulas China secara geografis. Selain itu juga ada ulasan tentang pertanian dan sumber-sumber penghidupan lainnya. Tentang orang China ini, al-Idrisi (1989: 84) mengatakan:

“Mereka menanam padi, memeras susu, kelapa, dan tebu.”

3. Rihlah Ibni Bathutah (Perjalananb Ibnu Batutah). Kitab ini juga menempati posisi yang penting dalam memotret sejarah Islam dan kaum muslimin di beberapa negara. Tak terkecuali tentang Cina dan juga Nusantara.

Ibnu Bathutah dalam catatan perjalanannnya di China misalnya, ia mengisahkan tentang kehidupan keseharian kaum muslimin di sana. Meskipun pelancongannya ke sejumlah negara dilakukan di abad ke-14 Masehi (pertengahan abad ke delapan Hijriah), akan tetapi apa yang ia saksikan pada saat itu menujukkan sejarah kehidupan umat Islam di masa-masa sebelumnya.

Sementara menurut Fahmi Huwaidi dalam bukunya berjudul al-Islam fis-Shin (Islam di China), buku pertama yang berhasil dihimpun dari sebuah perjalanan laut ke negeri cina dan sekitarnya adalah rihlahnya Sulaiman at-Tajir. Ia berulang kali melakukan perjalanan ke China dan India. Meskipun sekitar seratus tahun sebelumnya, Abu Ubaidah, salah satu pedagang Arab telah melakukan perjalanan ke China untuk membeli kaktus dan kayu. Hanya saja, Abu Ubaidah belum -untuk tidak mengatakan tidak- ditemukan catatan perjalanannya.

Kehidupan Sosial Muslim di China
Menurut As-Sirafi, orang-orang China baik kaya maupun miskin memiliki perhatian yang tinggi dalam bidang tulis-menulis.

Baca juga:  Ranggawarsita, Soekarno, Indonesia

“Ketika harga-harga kebutuhan pokok naik, maka raja akan mengeluarkan makanan dari gudangnya dan menjualnya dengan harga yang jauh lebih murah dari harga di pasar,” tulis as-Sairafi.

Orang-orang China memiliki sikap moderat dalam muamalah dan utang. Utang-piutang antar dilakukan pencatatan. Ketika ada perselisihan di antara peminjam yang yang dipinjami, maka buku yang mencatat utang akan dihadirkan.

Kehidupan sosial keagamaan bagi kaum muslim di China mengalami pasang-surut. Pada masa Dinasti Tang, C. P. Fitzgerald, dalam Flood Tide in China, sebagaimana dikutip dalam tesisnya Iyyas Salim menggambarkan bahwa pada masa Dinasti Tang, khususnya pada paruh kedua abad kedua dan ketiga Hijriyah, hubungan antara masyarakat Islam dengan umat agama lain di Cina sangat akrab.

Pada masa selanjutnya, keakraban tersebut melebur dan semakin mencair. Umat Islam China yang awalnya berasal dari para pendatang ini kemudian secara berangsur mengakomodasi budaya China baik dalam tradisi, bahasa, hingga nama-nama anak mereka dengan menggunakan nama-nama China.

Dan beberapa tahun belakangan ini, konon sebagian kaum muslim di China terintimidasi oleh pemerintah di sana. Terlepas dari itu semua, Fahmi Huwaidi dalam catatan akhir di bukunya mengatakan, yang mesti diingat adalah bahwa sejarah diterimanya dakwah Islam di China adalah melalui jalan damai. Selain itu, kaum muslim pada waktu itu berinteraksi secara baik dengan penduduk setempat.

Masjid Nusantara dan Arsitektur Cina
Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya menilai bahwa Cina merupakan salah satu peradaban besar yang memiliki pengaruh terhadap kebudayaan Nusantara. Tak terkecuali peran orang-orang Islam asal China yang juga turut andil dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara. Bahkan tak sedikit sejarawan yang berasumsi bahwa beberapa wali yang dikenal dengan Walisongo berasal dari negeri Tirai Bambu ini.

Baca juga:  Ibnu Sina dan Asal Usul Namanya yang Jarang Diketahui

Hubungan dagang antara China dan Nusantara sudah terjalin sangat lama. Bahkan konon jauh sebelum adanya penyebaran Islam di tanah ini.

Pada abad 19 terjadi migrasi besar-besaran dari berbagai negara. Selain migrasi orang-orang dari negeri Hadramaut, pada abad ke-19 Batavia juga dibanjiri oleh para pendatang dari China. Raffles mencatat bahwa pada awal abad tersebut komposisi penduduk Batavia yang berjumlah sekitar 47.217 orang ini terdiri dari 14.207 budak belian (30%), orang Arab 437 orang, orang Ambon dan Timor 106 orang, dan orang China 11.854 orang (25 %).

Sejumlah data juga menginformasikan bahwa orang-orang Tionghoa dan tentu termasuk juga tradisi di dalamnya, berperan dalam proses pembangunan di sejumlah masjid di Nusantara. Menurut Van Heuken, pada tahun 1761, Masjid Al-Anwar atau yang lebih dikenal dengan Masjid Angke dibuat oleh seorang arsitek asal Tionghoa (2003:34). Jauh sebelum masa itu, sejarah juga mencatat pengaruh Cheng Ho dan orang-orang Tionghoa lainnya dalam arsitektur masjid-masjid di Nusantara.

Di beberapa tempat lain, masjid di Palembang misalnya, menurut catatan harian Kompas, 17 Oktober 2005, ada empat masjid yang menyerap budaya China, di samping Jawa, Arab, Eropa, dan Palembang, yakni Masjid Muara Ogan (dibangun tahun 1889), Masjid Lawang Kidul (1881), Masjid Suro (1906), dan Masjid Sungai Lumpur.

Sebagaimana sikap akomodatif kaum muslim di China yang meninggalkan nama-nama Arab dan menggantinya dengan nama-nama Cina, masyarakat di sini juga menggunakan arsitektur Arab dan bentuk atau model ala China dalam membangun sejumlah masjid.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top