Dalam buku-buku tasawuf, para sufi kerap sekali menceritakan atau diceritakan tentang pengalaman spiritualnya bersua dengan orang-orang “aneh”.
Kadang kala kisah tentang perjumpaannya dengan orang yang menurut ukuran orang awam dianggap gila. Tak sedikit pula kisah tentang sufi besar yang belajar kepada anak-anak kecil. Salah satunya kisah tentang Malik bin Dinar berikut ini:
Dikisahkan dari Malik bin Dinar bahwa suatu ketika ia melakukan perjalanan ke sebuah daerah. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan seorang anak yang tengah bermain tanah. Malik bin Dinar melihat sang anak tersebut yang kadangkala ia tertawa, terkadang pula ia menangis.
“Aku berniat untuk mengucapkan salam kepadanya, tapi secara sombong nafsuku menolaknya mengucapkan salam. Lalu aku bergumam, ‘wahai nafsu, Rasulullah SAW tidak pernah tebang pilih dalam mengucapkan salam. Beliau mengucapkan salam kepada orang yang lebih tua maupun anak kecil sekalipun’, lalu aku ucapkan salam kepadanya.
Ia menjawab, “Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatu, wahai Malik bin Dinar.” Sontak aku pun kaget ia menyebut namaku secara jelas dan tepat. Lalu aku tanyakan kepadanya, “Darimana kamu mengenaliku, sementara kita belum pernah bertemu sebelumnya?”
“Aku mengenalimu saat ruhku dan ruhmu bersua di alam malakut. Allah Swt, Dzat yang Maha Hiduplah yang memperkenalkan kita,” jawab sang anak.
Kemudian aku tanyakan kepadanya, “Apa perbedaan antara akal dan nafsu?” Ia menjawab, “Nafsu adalah yang mencegahmu untuk mengucapkan salam. Sementara akal ialah sesuatu yang menggerakkanmu mengucapkannya”.
Aku mengajukan pertanyaan lagi, “Mengapa kamu bermain tanah?” Ia menjawab, “karena aku berasal dan akan kembali kepadanya”.
Aku pun kembali bertanya, “Aku melihatmu tertawa dan kadang kemudian menangis”. “Ya. Ketika aku ingat akan siksa dari Tuhanku aku menangis. Sedangkan saat aku mengingat akan rahmat-Nya yang luas aku pun tertawa.”
“Duhai anakku, dosa apa yang membuatmu menangis?” tanya kembali Malik bin Dinar.
Ia menjawab, “Wahai Malik! Jangan sekali-kali kau tanyakan lagi hal itu. Sebab aku melihat ibuku tidak pernah membakar kayu besar kecuali bersamaan dengan kayu-kayu kecil. Renungkanlah!”
Kisah ini menyiratkan banyak pesan, salah satunya sebuah pesan bahwa belajar tidak memandang kepada siapa pun. Termasuk kepada orang yang usianya jauh lebih muda dari kita sekalipun.
Pesan tersirat dri pesan ini apa, mas? Sebab aku melihat ibuku tidak pernah membakar kayu besar kecuali bersamaan dengan kayu-kayu kecil.