Jaringan keilmuan yang merupakan bagian dari jaringan sosial adalah sebuah struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul yang ditenun melalui silsilah keilmuan. Pada titik ini, alumni-alumni pesantren Bangkalan asuhan Mbah Kholil menyebar dan membentuk jaringan keilmuan yang bertumpu dan memusat kepada sanad keilmuan dalam diri Mbah Kholil Bangkalan.
Beliau menjadi salah satu “pusat” bagi sanad keilmuan di sebagian wilayah di Nusantara. Meminjam dan sedikit mereduksi istilah dalam kajian hadis, Mbah Kholil merupakan “common link” bagi jejaring ilmu.
Kealiman Mbah Kholil Bangkalan tidak hanya didengar oleh para santri di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Cirebon Jawa Barat saja, melainkan masyhur di kalangan pesantren di sebagian wilayah di Nusantara, termasuk di tanah Sunda. Hal ini kian menegaskan bahwa Mbah Kholil pada saat itu menjadi pusat otoritas keilmuan di kalangan pesantren baik di Jawa maupun Pesantren tatar Sunda.
Salah satu murid Mbah Kholil yang kemudian menjadi penyebar sanad keilmuannya di tanah Sunda adalah Ajengan Shobari Ciwedus Kuningan (w. 1916). Mama Sobari merupakan putra dari Kiai Adroi dan berasal dari Banten. Ia merupakan santri kelana yang mengenyam pendidikan di banyak pesantren. Konon, ia pernah singgah ke sejumlah Pesantren di Cirebon dan beberapa pesantren di Jawa Tengah, hingga ke tanah Madura untuk berguru kepada Syaikhana Khalil Bangkalan.
Sepulang dari Bangkalan, ia melanjutkan pesantren yang didirikan oleh Kakekya, K.H. Kalamudin, di desa Ciwedus, Kecamatan Cilimus Kuningan. Santrinya tidak hanya berasal dari daerah Sunda, melainkan dari beberapa daerah. Abah Syarif Muhammad (Kang Ayip Muh Jagasatru), Kiai Sanusi Babakan Ciwaringin, hingga Kiai Syamsuri Baedowi Tebuireng pernah tercatat sebagai santrinya Mama Ciwedus ini.
Sementara santri yang berasal dari Sunda sendiri tak terhitung jumlahnya. Beberapa di antaranya menjadi penyebar utama sanad keilmuan di tanah sunda seperti Mama Syuja’i Kudang Tasikmalaya dan Mama Nahrawi Kresek Garut. Dari dua pesantren ini kemudian muncul nama Mama Gentur yang belajar kepada dua ajengan tersebut dan akhirnya menjadi pusat keilmuan di tanah Sunda setelahnya.
Di Bogor, tepatnya Pondok Pesantren Al-Falak Pagentongan yang diasuh oleh Tubagus Falak, Pesantren Bangkalannya Mbah Kholil dan beberapa pesantren lainnya seperti Tremas Pacitan dan Tebuireng Jombang menempati posisi tersendiri.
Dikisahkan bahwa setiap ada santri Pagentongan yang merasa sudah cukup ilmu untuk kembali ke kampung halamannya (boyongan) diwajibkan untuk pergi ke Timur terlebih dahulu. Nyantri lagi di Jawa. M. Mastuhu, dkk (1982: 20) menuturkan kisah yang diceritakan oleh Mamak Aceng (putera Abah Falak) terkait dialog santri dan Abah Falak:
Kyai (Abah Falak): Telah cukup ilmuku yang kuajarkan kepadamu. Pergilah engkau kepada kyai di pesantren lain.
Santri: Ya, kyai. Saya sudah berguru kepada kyai di Cianjur, Cirebon, dan Menes. Sekarang saya akan pulan ke kampung halaman sendiri, untuk mendirikan pesantren baru.
Kyai: Untuk mendirikan pesantren sendiri? Pergilah dahulu ke Timur untuk mencai berkah. Tambahlah lagi ilmu yang lebih tinggi pada kyai di pesantren yang masyhur.
Santri: Pesantren manakah yang mashur di daerah Timur itu?
Kyai: Pesantren Tremas di Pacitan. Pesantren Bangkalan di Madura. Pesantren Tebuireng di Jombang. Masih banyak lainnya. Tapi tiga itulah sekurang-kurangnya.
Dialog yang dituturkan ulang oleh putra Abah Falak ini menunjukkan posisi Mbah Kholil dan sejumlah Kiai Pesantren di Jawa Timur sebagai pusat keilmuan dan tabarruk-an para santri di tanah Sunda.
Dari jalur lain juga ditemukan sanad keilmuan salah satu Kiai di Sunda yang menuju titik sentrum keilmuan, Mbah Kholil Bangkalan. KH. Umar Bashri, pendiri Pondok Pesantren Al-Fauzan, berdasarkan penuturan keturunannya saat Anjangsana Fakultas Islam Nusantara UNUSIA Jakarta kemarin menyebutkan, bahwa sebelum belajar ke Mekkah, beliau pernah belajar ke Cirebon. Tepatnya kepada Kiai Hasan Hariri Pajaten, Lemahabang. Masih berdasarkan penuturannya, Kiai Hasan ini merupakan santri dari Mbah Kholil Bangkalan.
Sepanjang perjalanan Anjangsana saat itu saya terus dibuat kagum oleh sosok Mbah Kholil Bangkalan ini. Jalinan dan jaringan keilmuannya menyebar luas bukan hanya di Jawa, melainkan di Sunda. Belum lagi ditambah data mengenai pesantren-pesantren di Sunda yang terhubung dengan Mbah Hasyim Asy’ari seperti Pondok Pesantren Sirna Miskin Bandung, Pesantren Suka Miskin Bandung, dan yang terkoneksi dengan Mbah Karim, Mbah Marzuqi, dan Mbah Mahrus Lirboyo Kediri seperti Kiai Abdul Aziz Affandi Manonjaya, yang semuanya, lagi-lagi, kembali berpusat kepada Mbah Kholil Bangkalan Madura.
Wallahu A’lam bis-Shawab
Allahummanfa’ana bibarkatihim wahdinal husna bihurmatihim…