Ada banyak sarjana Muslim yang memiliki peranan dan jasa besar dalam bidang sains dan teknologi. Dalam tulisan ini akan disuguhkan lima sarjana Muslim yang memiliki perhatian di bidang ilmu-ilmu pengetahuan “non-keagamaan” (saya berikan tanda kutip untuk menghindari perdebatan apakah Islam membagi pengetahuan menjadi pengetahuan agama dan non-agama).
Memilih lima tokoh dari ratusan atau bahkan ribuan tokoh tentu merupakan pilihan yang sulit. Meski demikian hal ini tetap harus dilakukan karena berbagai alasan. Oleh karena itu, saya mencoba memilih lima tokoh Muslim yang diulas dalam tulisan ini dengan didasarkan pada sarjana Muslim yang kurang banyak dikenal secara luas oleh publik. Empat sarjana di antaranya merujuk pada karya Fuat Sezgin. Sebagaimana diketahui karya Fuat Sezgin hanya dibatasi hingga abad ke-4 H. Jadi, Ibn Ridlwan yang hidup di abad ke-5/6 M tidak disebut dalam karyanya.
Sufyan Al-Tsauri
Pilihan pertama jatuh pada seorang sarjana fikih dan muhaddis besar di awal abad kedua M. Ia adalah Sufyan Al-Tsauri, yang oleh Fuat Sezgin menempati posisi pertama dalam jilid yang mengulas ilmu Kimia dan Simiya.
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Sufyan bin Sa’id bin Masruq al-Tsauri, lahir di kota Kufah, Irak, pada tahun 95 H/713 M dan wafat pada tahun 161 H/ 778 M. Reputasinya di bidang ilmu-ilmu keislaman tidak ada yang meragukan. Sufyan Al-Tsauri dikenal sebagai ulama bidang keislaman nomor wahid. Pujian para ulama di masanya dan setelahnya terhadap Sufyan Al-Tsauri tak terhitung jumlahnya (Abdul Halim Mahmud, Sufyan Al-Tsauri) Amirul Mukminin fil-Hadihith, 26).
Kealimannya di bidang fikih sejajar dengan para mujtahid mustaqil (pendiri mazhab) seperti Imam Asy-Syafii, Imam Malik, dan imam Mazhab lainnya. Begitu pula dalam bidang hadis dan keilmuan Islam lainnya. Hampir tidak ada orang yang meragukan kapasitasnya di bidang ilmu-ilmu keislaman. Namun, sesuatu yang jarang diketahui oleh publik, bahkan oleh saya sendiri sebelum membaca karya Fuad Sezgin berjudul Tarikh At-Turats al-Arabi, bahwa Imam Sufyan Al-Tsauri juga memiliki perhatian dan keahlian di bidang ilmu-ilmu thabi’iyat (fisika?). Risalahnya tentang Kimiya’ merupakan salah satu karyanya yang menegaskan keahliannya di bidang tersebut. Perhatiannya yang besar di bidang ilmu kimiya’ juga direkam oleh Ibn Qutaibah dalam ‘Uyun al-Akhbar dan penggalan al-Jahiz dalam Kitab al-Bukhala’.
Kisah mengenai kepakaran Sufyan Al-Tsauri dalam bidang ini juga direkam oleh Al-Hajjaj, salah satu ahli matematika yang sezaman dengannya.
Dikisahkan: seorang laki-laki dari daerah Ray biasa dipanggil dengan sebutan Hajjaj. Ia tinggal di Azdan. Ia ahli matematika. Kemudian Hajjaj datang kepada Sufyan Al-Tsauri. Ia menanyakan persoalan matematika. Lalu sambil menatap wajah sang penanya, Sufyan Al-Tsauri berkata, “Darimana persoalan kamu memperoleh persoalan yang kamu tanyakan itu? Pertanyaan yang kamu ajukan tidak ada yang bisa menjawabnya kecuali seorang laki-laki di daerah Ray yang dipanggil Hajjaj”. Sang penanya menyergah, “Saya, Hajjaj”. Kemudian Sufyan Al-Tsauri menyambut Hajjaj dengan penuh kegembiraan, lalu ia mengajukan sepuluh pertanyaan kepadanya tentang matematika. Al-Hajjaj ahli matematika itu menjawab semua pertanyaan tersebut. Setelah selesai, Sufyan berkata kepada Hajjaj, “Jawabanmu salah semua”.
Untuk mendapatkan informasi lebih luas mengenai ketekunan Sufyan al-Tsauri dalam bidang ilmu thabiiyyat ini Sezgin merekomendasikan buku karya Hans-Peter Raddatz berjudul Die Stellung und Bedeutung des Sufyān at̲-T̲aurī
Al-Fazari
Sejumlah sumber sejarah berbeda pendapat mengenai nama lengkap al-Fazari. Sebagian menyebut Ibrahim ibn Habib, sementara sebagian lain menyebutnya Muhammad ibn Ibrahim ibn Habib. Kim Floker dalam Fazārī: Muḥammad ibn Ibrāhīm al‐Fazārī, menyebutkan adanya ketidakpastian dan kebingungan para sarjana mengenai dua nama tersebut. Apakah memang ayah dan anaknya, atau hanya satu orang. Sedangkan Al-Biruni, menurut Fuat Sezgin, hanya menyebut al-Fazari saja.
Al-Fazari yang diulas di sini bukan Al-Fazari ahli hadis. Yang disebut terakhir ini nama lengkapnya Muhammad bin Abdul Hamid Adam al-Fazari, seorang ahli hadis dan juga Qadhi di Damaskus.
Ia lahir di Kufah, Irak, dari keluarga keturunan Arab yang awalnya tinggal di daerah Fuzarah, kemudian pindah ke Kufah. Sebuah sumber menyebutkan bahwa pada tahun 144 H/747 M ia pindah ke Baghdad untuk melakukan pengembaraan keilmuannya. Mula-mula ia belajar bahasa asing, seperti Sanskrit yang mengantarkannya untuk mempelajari karya-karya ilmuwan India masa lalu. Kepakarannya di bidang bahasa asing ini membuat Khalifah Abu Jakfar Al-Manshur kepincut untuk meminta Al-Fazari bekerja di Baitul Hikmah. Sang Khalifah secara khusus memintanya untuk menerjemahkan karya-karya astronomi berbahasa Sanskrit ke dalam bahasa Arab.
Fuat Sezgin merangkum sejumlah karya-karya Al-Fazari di antaranya: Al-Qasidah fi Ilm an-Nujum, Kitab al-Miqyas lil Zawal, Kitab al-‘Amal bi-Ashtralab, Kitab al-‘Amal bil Ashtralab al-Musattah, Kitab al-Zaij ‘ala Siniyyil ‘Arab. Karya-karya ini menurut Kim Floker masih berserakan dan belum ada yang berhasil terkumpulkan.
Fuat Sezgin juga memberikan informasi awal yang sangat luar biasa mengenai sosok ini. Ia memberikan petunjuk kepada para pembaca karyanya bahwa biografi Al-Fazari bisa dilihat dalam; Al-Ya’qubi, al-Buldan: 241; al-Mas’udi, Muruj al-Dzahab: vol.8, hal. 290-291, Ibn Sa’d, Thabaqat: 13, Yaqut al-Hamawi, Irsyad: vol. 17: 117-119, al-Qifti, Hukama‘: 270-271, Al-Shafadi, al-Wafi: vol. I, hal. 336-337, dan lain-lain.
Jabir ibn Hayyan
Menurut sejumlah riwayat ia lahir pada tahun 101 H/ 721 M. Ia lahir di kota Thus (sebagian sejarawan lain menyebut Kufah), sebuah kota kecil di bawah naungan kota Masyhad. Orang tuanya pindah dari Syam yang saat itu sedang mengalami gejolak politik dan ekonomi. Ayahnya bekerja sebagai penjual minyak wangi (al-Aththar).
Jabir tumbuh besar di kota Thus sembari membantu orang tuanya menjaga toko parfum. Konon, ia sedikit berbeda dari saudara-saudaranya. Ia lebih memilih untuk melakukan uzlah dan merenung. Ia juga memiliki kecerdasan yang luar biasa. Daya kritisnya sudah muncul sejak kecil. Ia menanyakan hal-hal yang ia lihat; tentang esensi sebuah benda dan asal-muasalnya. Ia tanyakan semua kemusykilan yang ada di kepalanya kepada orang tuanya. Karena keterbatasan pengetahuan orang tuanya terkait pertanyaan yang diajukan Jabir, jawaban yang ia dapatkan pun tentu tak memuaskannya.
Jabir ibn Hayyan telah menulis puluhan karya tentang ilmu kimia, dari mulai yang tipis hingga berjilid tebal. Di antara beberapa judul karya tulis tentang ilmu kimia antara lain: Al-Riyadh al-Akbar, Al-Maqalat al-Kubra fi ‘Ilm as-Shun’ah, al-Ma’rifat bis-Shun’ah al-Ilahiyyah wal-Hikmah al-Falsafiyyah, al-Ardl, dan lain-lain.
Nama Jabir hampir selalu muncul di setiap disiplin keilmuan dalam jilid-jilid Tarikh At-Turats al-‘Arabiy-nya Fuat Sezgin. Di dalam jilid tentang Ilmu Tumbuhan dan Pertanian (An-Nabat wal-Falahah), nama Jabir bin Hayyan disebut oleh Fuat Sezgin sebagai penulis tentang ilmu tumbuhan dari bangsa Arab terawal. Kitab an-Nabat, Kitab al-Hasyaisy, dan Kitab Al-Falahah, merupakan karya peninggalan Jabir di bidang ilmu tumbuhan dan pertanian.
Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyatakan bahwa ia adalah imam bagi disiplin ilmu Kimia. Kealimannya di bidang ilmu Kimia ini menempatkan Jabir sebagai ilmuwan besar yang karya-karyanya tidak hanya menjadi rujukan di dunia Arab, melainkan di Eropa dan belahan dunia lainnya. Tak pelak karya-karya Jabir pun sebagian besar telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Pertemuan Jabir ibn Hayyan dengan Imam Jakfar As-Shadiq merupakan salah satu pertemuan teragung dalam kehidupan Jabir. Konon, Imam Jakfar sendiri mengungkapkan kebahagiaannya berjumpa dengan Jabir. Dalam pertemuan tersebut, Jabir mengisahkan bahwa ia telah menghafal banyak syair, menguasai ilmu gramatikal Arab, menghafal al-Quran dan ilmu-ilmu lainnya. Karena “kedekatatannya” dengan sosok Jakfar As-Shadiq ini, kemudian Jabir bin Hayyan kerap diasosiasikan sebagai Syiah.
Jakfar Ibn Shadiq
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Jakfar al-Shadiq ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn Zainal Abidin. Imam keenam menurut Syiah ini lahir pada tahun 80 H/699 M. Sejumlah sumber lain menyebutkan Jakfar lahir pada tahun 83 H/703 M.
Menurut Fuat Sezgin, berdasarkan data-data yang ia temukan, tidak ada sesuatu yang bisa menyangkal fakta sejarah bahwa Jakfar memiliki pengetahuan yang cukup luas di bidang Kimia. Fuat Sezgin mengatakan:
Saya sependapat dengan Stapleton bahwa tidak ada keraguan sama sekali mengenai pengetahuan Jakfar As-Shadiq dalam bidang ilmu Kimia ini. Hanya saja, ia (Stapleton), tidak menjelaskan lebih lanjut apakah Jakfar As-Shadiq meninggalkan risalah tentang ilmu ini atau tidak?
J. Ruska secara khusus mengulas “pendiri” Mazhab fikih Jakfari ini sebagai sosok yang memiliki perhatian di bidang ilmu Kimia dalam tulisannya berjudul “Aarbische Alchemisten II. Ga’far“. Jakfar dikenal memiliki kedekatan dengan Jabir ibn Hayyan dan bahkan Jabir menganggapnya sebagai guru utamanya dalam ilmu Kimia.
Fuat Sezgin mencatat enam karya Jakfar As-Shadiq yang berkaitan dengan ilmu-ilmu Kimia:
- Risalah al-Washaya wal-Fushul
- Rislaah fil-Kimiya’
- Ta’rif Tadbir al-Hajar
- Risalah fil-Iksir
- Al-Adillat ‘ala Khalq wat-Tadbir
- Risalah fi Fadhl al-Hajar wal-Musa
Ibn Ridlwan
Nama lengkap Ibnu Ridlwan adalah Abul Hasan ibn Ridlwan ibn Ali ibn Jakfar. Ia dilahirkan di Giza, Mesir pada tahun 388 H/ 998 M. Ia tumbuh besar dan menjadi dokter kenamaan hingga wafat pada tahun 453 H/ 1061 M. Ia dikenal sebagai sarjana ensiklopedis (al-‘alim al-mawsu’iy) karena penguasaannya di berbagai disiplin ilmu pengetahuan; bidang kedokteran, matematika, astronomi, ilmu cuaca, hingga filsafat (Lihat dalam Ibn Abi Ushaibi’ah, Uyun al-Anba’ fi Thabaqat al-Athibba’).
Al-Dzahabi, sejarawan terkemuka, memuji kealiman Ibn Ridlwan. “Ia adalah filsuf yang cerdas, mendalami ilmu kedokteran dan ia menguasainya..”
Salah satu karya yang diwariskan oleh Ibn Ridlwan kepada kita adalah sebuah karyanya di bidang kedokteran berjudul Daf’ Madlar al-Abdan fil Mishr. Salah satu manuskrip kitab ini disunting, diterjemahkan, dan diberikan komentar oleh Michael W. Dols, dengan judul Medieval Islamic Medicine: Ibn Ridwan’s Treatise “On the Prevention of Bodily Ills in Egypt”.
Dalam pengantar karyanya ini Ibn Ridlwan menjelaskan alasan mengapa ia menulis buku ini. Ia menuturkan:
Tujuan saya menulis karya ini adalah sebagai salah satu upaya untuk (memahami bagaimana) menolak penyakit yang terjadi di Mesir. Untuk itu, yang perlu saya jelaskan adalah mengenai sebab-sebab munculnya penyakit ini agar kita memiliki pengetahuan bagaimana cara menghindar dari penyakit ini.
Dari judul kitab ini memang terlihat jelas maksud dan tujuan dituliskannya kitab ini memang untuk penduduk Mesir. Oleh karena itu di bab terakhir, fasal lima belas, mengulas keutamaan tinggal di Mesir. Bahkan jika dilihat secara seksama terkesan agak “rasis” untuk ukuran zaman sekarang. Tak heran ia menuai kritik dari orang-orang di luar Mesir. Meskipun kemudian ia mencoba menjelaskan hal tersebut di akhir kitab ini Ibn Ridwan berkata:
Setelah saya rampungkan kitab ini, saya mendengar komentar sebagian orang dari negeri lain. Mereka mengira bahwa saya mencela mereka ketika saya jelaskan keburukan akhlak mereka. Lalu aku katakan kepadanya, “Bukan seperti yang kalian sangka. Faktanya memang orang Mesir itu mudah diobati dan secara umum akhlaknya baik”.
Demikian ulasan lima saintis dalam dunia Islam yang di mana tulisan ini sebagian besar merujuk pada karya Fuat Sezgin berjudul Tarikh At-Turats al-‘Arabiy. Wallahu A’lam bish-Shawab.