Meminjam dan meminjamkan buku telah menjadi kebiasaan yang berlaku sejak lama di seluruh belahan dunia. Adanya perpustakaan adalah wujud nyata adanya banyak orang yang butuh meminjam buku. Baik itu perpustakaan pribadi ataupun yang dikelola oleh lembaga pendidikan. Meskipun, sampai hari ini jumlah perpustakaan, khususnya di Indonesia belum banyak. Sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan masyarakat.
Karena ada kebiasaan ini, maka perlu kiranya ada aturan khusus tentang pinjam-meminjam buku. Imam Sufyan Al-Tsauri menyebutkan, orang yang pelit meminjamkan buku maka akan mendapatkan salah satu dari tiga ujian: adakalanya ia lupa akan ilmu yang dimilikinya, meninggal dalam keadaan ilmunya tidak bermanfaat, atau buku-bukunya akan lenyap.
Kutipan Imam Sufyan al-Tsauri ini memang penting menjadi “pepeling” bagi orang-orang yang pelit dalam meminjamkan buku. Namun, bukan berarti harus dimaknai secara umum. Adakalanya dalam konteks tertentu, justru harus menutup rapat-rapat meminjamkan buku kepada orang lain yang biasanya tidak mengembalikan buku yang dipinjaminya.
Dalam kaitan pinjam-meminjam buku, ada satu buku menarik yang ditulis oleh Muhammad Khair Ramadan Yusuf berjudul “Adab I’arah al-Kutub fit-Turats al-Islamiy”.
Buku ini terdiri dari delapan bab utama dengan beberapa sub-bab. Bab awal dalam buku ini mengupas seputar izin meminjam buku. Bab pertama buku ini menjelaskan anjuran meminjamkan buku kepada orang lain.
Dalam bab kedua dijelaskan motif-motif peminjaman buku. Menurut penulis buku ini, di antara motif meminjamkan buku kepada orang lain adalah karena kedermawanan, khawatir masuk kategori orang yang menyembunyikan ilmu (dan ini sebagaimana tertuang dalam berbagai literatur keislaman merupakan tindakan yang dikecam syariat), meminjamkan dengan syarat agar peminjam benar-benar membaca dan mempelajari isi buku yang dipinjaminya, dan motif lainnya. Tidak hanya itu, buku ini juga memaparkan sejumlah fatwa berkenaan dengan anjuran meminjamkan buku hingga etikanya. Bahkan juga uraian sebaliknya: penjelasan terkait tidak mengizinkan orang lain meminjam buku.
“Tidak diragukan lagi bahwa pemilik buku yang tidak meminjamkan bukunya ada (dalam literatur Islam). Bahkan beberapa di antaranya dilakukan oleh para ulama atau pemilik perpustakaan. Saya sendiri termasuk salah satu dari mereka. Terutama setelah salah satu buku terbaik dan termahal milikku lenyap (setelah dipinjam orang lain),” tutur Khair Ramadhan Yusuf, penulis buku ini.
Pengalaman pahit yang dirasakannya inilah yang bisa jadi mendorongnya menyusun buku ini. Tidak sampai di situ, ia secara khusus menulis bab khusus tentang celaan bagi peminjam buku yang tidak mengembalikan buku yang dipinjamnya. Ia menyitir kisah al-Hafidz az-Zuhri yang mewanti-wanti muridnya, Yunus bin Yazid agar tidak mengkhianati buku (ghulul).
Sang murid bertanya kepada gurunya, “Apa yang dimaksud “ghulul” atas buku, wahai guruku?”
Sang guru menjawab, “Tidak mengembalikan buku kepada pemiliknya!”
Apakah Anda pernah meminjamkan buku kepada teman dan tidak/belum dikembalikan? atau justru malah sebaliknya? meminjam buku dan tak ada niat untuk mengembalikannya?