Azizah, mungkin ini nama samaran yang diberikan oleh para periwayat, adalah salah seorang wali perempuan yang sejak kecil sudah menunjukkan tanda-tanda kewaliannya.
Dikisahkan, ia sejak kecil diminta oleh orang tuanya untuk menggembala domba milik ayahnya. Demi menunaikan titah ayahandanya, ia menggembala kambing di sebuah bukit. Alih-alih sebagaimana para penggembala hewan ternak lainnya yang menggembala di tempat yang banyak rumputnya, ia justru memilih menyendiri dengan membawa kambing-kambing milik ayahnya ke atas bukit yang tanahnya jarang ditumbuhi rumput, terjal dan cukup berbahaya. Meski demikian, kambing-kambing yang digembalakannya pulang dalam keadaan kenyang sebagaimana penggembala lain yang membawanya ke tempat yang rumputnya subur.
Apa yang Azizah lakukan dalam hal menggembala sendirian ini sebenarnya tidak diketahui oleh ayahnya, hingga orang-orang yang iri kepadanya -entah karena satu dua hal- mengadukan ihwal Azizah ini kepada ayahnya. Karena terpengaruh oleh aduan dari teman-teman puterinya ini, ayahnya memanggil Azizah. Ia tidak boleh lagi menggembala sendirian. Harus di tempat yang rumputnya subur sebagaimana penggembala lain.
Bukannya menuruti perintah ayahnya, Azizah justru berkukuh untuk tetap menggembalakan kambing ayahnya di tempat biasanya. Sebagai konsekuensinya ia berulang kali mendapatkan “ganjaran” dimarahi oleh ayahnya. Hal itu membuat penasaran sang ayah untuk mencari jawaban atas teka-teki puterinya ini.
Singkat cerita, suatu waktu saat Azizah sedang menggembala di tempat pilihannya, ayahnya bersama dengan beberapa masyarakat desa menguntitnya. Tujuannya adalah memergoki dan mencibir Azizah ihwal tempat penggembalaan yang kering itu. Tak disangka Azizah justru berkata kepada ayahnya dan orang-orang yang mengikutinya. “Lihatlah bagaimana kambing-kambing ini sedang makan, bukan?” Ayahnya menyaksikan secara langsung dengan mata kepalanya sendiri mulut kambing-kambing tersebut penuh dengan rumput” terang Azizah kepada mereka.
Sejak kejadian itu orang-orang tidak lagi berani mencibir Azizah. Bahkan ia dianggap memiliki kelebihan dari Allah SWT.
Saat Azizah tumbuh dewasa ketakwaan dan ibadahnya semakin meningkat tajam. Ia menghabiskan waktu untuk beribadah, di saat yang bersamaan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi kewajibannya juga terselesaikan dengan baik.
Dalam kisah ini diceritakan bahwa Azizah yang sedang tumbuh mekar menjadi seorang gadis ini memiliki paras yang cantik. Bahkan ia menjadi bunga desa. Tak pelak banyak lelaki yang kepincut untuk meminangnya. Namun, semuanya ia tolak dengan baik.
Suatu waktu saat ia berjalan sendirian di sisi sebuah tepi bukit, seorang laki-laki yang berhasrat untuk memilikinya menguntitnya dari belakang. Saat Azizah kian mendekati bibir jurang, sang laki-laki yang posisinya tidak jauh di belakang Azizah ini kemudian bermaksud untuk menyergap dan menyelamatkan Azizah. Namun apa yang terjadi? Azizah justru pindah ke atas bukit. Ia tidak jatuh ke jurang dan tidak juga tersergap si laki-laki tersebut. Kejadian ini mengejutkan sang laki-laki muda ini sekaligus membuat ia malu dan akhirnya menaruh hormat kepada Azizah. Sejak kejadian itu, nama Azizah kian dihormati oleh masyarakat desa tempat ia tinggal.
Kisah ini, menurut Rahal Boubrik, merupakan sebuah fabel yang dikisahkan oleh Jacques Berques dalam Structures sociales du Haut-Atlas (1995: 290-291)
Ada catatan menarik dari Rahal Boubrik mengenai kisah Azizah sang penggembala kambing ini. Rahal memberikan komentar bahwa tidak sedikit kisah para wali yang dikaitkan dengan menggembala. Ini mengingatkan kita pada awal kehidupan Nabi Muhammad SAW itu sendiri. Pengulang-ulangan keramat para wali yang dikaitkan dengan menggembala hewan ternak menunjukkan bahwa kewalian itu sangat dekat dengan masyarakat kecil yang dalam hal ini digambarkan sebagai sumber kehidupan bagi kelompoknya.