Pengantar: Mulai Senin, 21 Januari 2019, hingga 20 hari ke depan, kami memuat 20 esai terbaik hasil Sayembara Esai Nasional Tingkat SMA/Sederajat 2018, dimulai dari esai terbaik pertama. Tulisan telah kami edit dengan tanpa menghilangkan esensi esai dan gaya bahasa.
Prolog
Saya masih muda, dan kata para guru di kelas, kami para kawula muda adalah generasi yang akan menyetir arah langkah bangsa ke depan. Agen of change, demikian katanya. Sederhananya, kamilah penentu jatuh bangun bangsa di masa selanjutnya. Jadi, keadaan kami sebagai generasi hari ini adalah sekelumit cerminan masa depan Indonesia.
Mengenai ihwal kondisi anak-anak penerus generasi bangsa, ada beragam warna realita yang simpang-siur di ruang pandang kita saat ini. Beberapa di antara mereka menyadari amanah yang ditumpukan di pundaknya. Mereka giat belajar, meraih penghargaan prestise di berbagai bidang, dan pantang takluk pada keadaan.
Sebaliknya, di antara mereka lebih suka hura-hura dan cuek saja pada identitas diri mereka sebagai generasi bangsa. Nyaris setiap pekan berbagai media mewartakan kenaifan anak bangsa kita. Tawuran, mengonsumsi narkoba, balap liar, hingga perundungan, menjadi zona nyaman mereka —generasi Indonesia— saat ini.
Masihkah bangsa ini mampu mengharapkan masa depan yang cerah? Pertanyaan yang musykil dijawab. Pasalnya, jika kondisi remaja kita dibiarkan semakin bobrok, saya tidak yakin Indonesia akan meraih bonus demografi seperti yang dicita-citakan terwujud pada tahun 2045 kelak. Namun masih belum terlambat memperbaiki semuanya, harapan bangsa ini masih bisa dikobarkan lagi jika kita berhasil membenahi keadaan hari ini menjadi lebih baik.
Pesantren dan Sistem Visionernya
Bagaimana pun, segenap ironi di atas adalah hasil dari kekacauan sistem yang melatarinya. Lebih-lebih di era modernisasi ini, masa ketika pesona hedonisme kian membius tanpa pandang bulu. Dalam kondisi seperti itu, pesantren –menurut saya– dapat menjadi tawaran solutif untuk membingkai pemuda-pemuda yang memiliki visi yang jelas dan mampu menyikapi gemerlap zaman untuk membawa Indonesia pada masa emasnya.
Syekh Musthafa al-Ghulayaini menuturkan dalam kitab Izhat al-Nasyi’in terbitan Maktabah al-Hidayah (Surabaya, tanpa tahun), bahwa nasionalisme (al-wathaniyah) adalah satu naluri manusia secara umum. Orang yang sungguh mencintai tanah airnya akan membuktikan dengan sikap dan perbuatan yang positif bagi tanah air. Berlandaskan kredo hubbul wathan minal iman, “kaum sarungan” turut andil dalam misi menjaga dan memajukan NKRI.
Dalam sistem, kita mengenal istilah input, proses (konversi), dan output. Konsep ini sebenarnya acap berkelindan dalam kehidupan sehari-hari kita. Misal saat kita akan membuat kue, kita butuh bahan-bahan mentah semacam tepung dan telur (input), lalu diaduk, dicetak, dioven dan seterusnya (proses), terakhir kita akan memperoleh hasil kue sesuai dengan proses yang telah dilakukan sebelumnya (output).
Dalam jagad sistem semacam itu, santri, kiai, peraturan, bilik-bilik pondok, masjid, dan elemen pesantren lainnya merupakan input awal untuk memulai sistem kerja pesantren. Para santri yang lumrahnya para remaja, sejak awal menginjakkan kaki di pesantren, dituntut
untuk mengokohkan niat dan himmah (niat kuat, obsesi). Inilah pondasi awal yang akan menyongsong proses yang akan dijalani. Hal ini seperti ditulis Lanny Octavia dkk dalam Pendidikan Karakter Berbasis Tradisi Pesantren (2014).
Di pesantren, kami para generasi muda tidak hanya dijejali ilmu-ilmu keagamaan saja—sebagaimana stereotip yang berkembang selama ini. Seiring bergulirnya zaman, pesantren mulai open minded terhadap segala mobilitas era modernisasi yang kian warna-warni,
baik dari aspek kurikulum atau pun fisik pesantren.
Tentunya pengadopsian ini tidak menafikan nilai-nilai luhur pesantren yang sudah terpancang sedari dulu. Lumrahnya tipe
pesantren ini dikenal dengan pesantren semi-modern dan modern (khalafi), seperti dikatakan Rusydi Sulaiman dalam Pendidikan Pondok Pesantren: Institusionalisasi Kelembagaan Pendidikan Pesantren (Jurnal Anil Islam, Volume 9 Nomor 1, Juni 2016).
Kita ambil contoh saja dari pesantren Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep. Dalam tatanan pendidikan formal SLTA-nya, ada empat lembaga yang didirikan dengan visi dan misi yang jelas berbeda, yaitu Madrasah Aliyah (MA), MA Tahfidh, SMA, dan SMK. Dengan
demikian, kami para santri memiliki wadah yang memadai untuk mengasah potensi diri sesuka hati demi menyambut zaman yang kian kompleks.
Lebih dari itu, di tatanan non-formalnya, selain madrasah diniah, terdapat pula berbagai medium kreatif untuk santri memupuk bakat dan minatnya. Sanggar-sanggar teater, organisasi, komunitas-komunitas literasi dan jurnalistik juga menggeliat dalam khazanah
ilmiah pondok pesantren Annuqayah. Ini menandakan misi visioner pesantren untuk mencetak bermacam output santri yang mumpuni di bidangnya.
Namun, yang paling spesial dari pesantren adalah keadiluhungan nilai dan budayanya yang masih lestari. Kesederhanaan, kemandirian, musyawarah, tanggung jawab, uswah hasanah, dan toleransi adalah segelintir kearifan karakter pesantren yang masih eksis hingga kini.
Saya kemudian teringat perihal wacana pendidikan karakter yang digadang-gadang pemerintah belakangan ini. Jauh sebelum itu, sejatinya pesantren sudah menerapkannya terlebih dahulu, dan para santri yang notabene generasi bangsa dituntut untuk membumikan
nilai serta praktik-praktik luhur tersebut pada ranah yang lebih luas, yaitu negara-bangsa.
Bagi saya, pesantren adalah miniatur Indonesia dengan pluralitasnya. Di pesantren, saya memiliki teman dari banyak daerah dengan budaya yang berbeda dan dialek yang berupa-rupa. Namun prinsip toleransi yang membuhul erat mengantarkan kami pada satu jalinan ukhuwah yang kuat.
Gonta-ganti peralatan mandi, pinjam baju dan sendal, makan bersama memakai selembar daun pisang, adalah hal-hal sederhana yang biasa saya lakukan bersama teman-teman sepondok tanpa mempersoalkan dari daerah mana mereka, apa sukunya, bagaimana bahasanya. Jargon yang sering kami lontarkan adalah (dalam bahasa Madura) odik mateh bik kancah sapondhuk (hidup mati bersama teman satu pondok).
Muara (output) dari rentetan sistem tersebut adalah terproduksinya generasi-generasi penerus bangsa dengan orientasi anfa’uhum linnas atau bermanfaat bagi sesama manusia. Sejatinya, prinsip inilah yang mengantarkan kami para santri tekun berproses di pesantren.
Kami tahu, selepas mondok di pesantren, kami tidak mungkin hanya berdiam diri dan berpangku tangan saja. Kami adalah harapan-harapan masyarakat yang telah dinanti-nanti kepulangannya.
Epilog
Sebagai seorang generasi bangsa, saya cukup berang dengan ulah pemuda-pemuda yang abai bahkan cenderung apatis terhadap terhadap masa depannya. Diam-diam tanpa mereka sadari, mereka juga telah menelantarkan masa depan bangsanya. Mereka serupa mimpi buruk yang berpotensi membuat kegemilangan bangsa di masa depan laiknya utopia yang mustahil terlaksana.
Namun di balik kepiluan ini, Indonesia sejatinya masih memiliki harapan besar untuk menapaki masa depannya dengan optimis. Masa depan baik dan buruk hanya soal waktu.
Kita tahu, keadaan kita esok ditentukan hari ini. “Waktu tidak berpihak pada siapa pun,” ucap Winston Churchill, seperti saya kutip dari kaskus.co.id. “Tetapi waktu dapat menjadi sahabat bagi mereka yang memegang dan memperlakukannya dengan baik”.
Yang terpenting bagi generasi saat ini adalah kepedulian kepada nasib bangsanya kelak. Di mana pun mereka belajar dan berproses, Indonesia senantiasa menunggu “kepulangan” mereka dan membawanya menjadi bangsa yang lebih baik di masa mendatang, termasuk kami, santri Indonesia.
Tulisan yang luar biasa. Prolog yang menarik. Epilog yang menyejukkan. Sukses selalu Faiz.