Sedang Membaca
Thomas Jefferson, Alquran, dan Pembentukan Amerika Serikat
Muhammad Aswar
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mukim di Yogyakarta.

Thomas Jefferson, Alquran, dan Pembentukan Amerika Serikat

Pada tahun 1786, ketika Thomas Jefferson menjabat sebagai Duta Besar Amerika Serikat untuk Prancis, ancaman perompak di laut Mediterania adalah masalah serius bagi Amerika Serikat yang baru didirikan. Memisahkan diri dari Inggris Raya memiliki konsekuensi ekonomi global.

Ketika masih berada dalam koloni Inggris Raya, kapal-kapal Amerika bebas berlayar menyusuri laut sebagai satu-satunya jalur perdagangan global. Di masa itu, ketika hukum internasional belum menetapkan perlindungan teritorial perairan, setiap kapal yang melintas di perairan terdekat dengan suatu daerah harus memiliki perjanjian dan membayar upeti.

Amerika, yang sebelumnya tergabung dalam koloni Inggris Raya memasrahkan upeti dan perjanjian laut dengan Tripoli, penguasa Mediterania ketika itu, pada kerajaan.

Namun setelahnya, kapal-kapal Amerika yang berlayar di daerah Magrib, selalu dijarah oleh perompak yang kini mendiami Aljazair, Libya, dan Tunisia. Hingga suatu ketika, Jefferson bersama John Adams yang saat itu menjabat sebagai Duta Besar untuk Inggris mengadakan pertemuan dengan Duta Besar dari Tripoli, Sidi Haji Abdul Rahman Adja, untuk mempertanyakan mengapa kapal Amerika diserang dan seluruh penumpangnya disandera.

Sebuah dokumen yang disimpan oleh Sekretaris Negara John Jay menunjukkan Sidi Haji Abdul Rahman Adja dengan Jefferson:

“Alquran menitahkan, bahwa setiap bangsa yang tidak mengakui Nabi adalah pendosa, dan orang-orang beriman berkewajiban untuk menjarah dan memperbudak mereka; setiap muslim yang terbunuh dalam peperangan akan dimasukkan ke dalam surga. Di dalam Alqur’an pula dikatakan, barang siapa yang melompat ke geladak kapal musuh dengan dua belati di tangan, dan ketiga di mulut, adalah orang yang paling berbahagia.”

Beberapa orang mengatakan bahwa perkataan Haji Abdul Rahman tersebut adalah pemaknaan dari surat at-Taubah ayat 5 yang diistilahkan dengan “ayat pedang”, yang menganjurkan untuk berjihad dalam arti penyerangan terhadap orang musyrik dan memotivasi para bajak laut Tripoli untuk menjarah setiap kapal yang berlayar di daerah tersebut.

Tetapi Jefferson adalah orang yang paham Alquran, dan mampu melakukan pembelaan balik terhadap pemahaman Haji Abdul Rahman: “Pemerintahan Amerika Serikat dalam segala seginya tidak didirikan berdasar agama Kristen atau Yahudi, dan tidak bertentangan dengan hukum dan keberlangsungan orang-orang Islam.”

Baca juga:  Kisah Al-Farra' Menjawab Persoalan Fikih dengan Ilmu Bahasa

Diplomasi tersebut, lebih tepatnya argumentasi penafsiran Alquran antara Jefferson dan Haji Abdul Rahman, pada akhirnya menghasilkan Perjanjian Tripoli tentang kebijakan pelayaran kapal-kapal Amerika Serikat di laut Mediterania.

Peristiwa tersebut berlangsung sekitar dua abad dari serangan terorisme yang diklaim oleh Amerika Serikat sebagai jihad orang-orang Islam, dan membuat mereka merasa perlu untuk kembali mempelajari Alquran.

Jefferson kembali melakukan diplomasi dengan Negara Islam di masa Perang Barbary setelah menjabat sebagai presiden Amerika antara tahun 1801-1805. Setelah perang Barbary Pertama dimenangkan dan membuat Amerika menguasai beberapa daerah laut penting, Jefferson mengundang Duta Besar Tunisia pada sebuah jamuan makan malam di Gedung Putih.

Ketika itu bulan Ramadan, dan perjamuan yang seharusnya diadakan pada pukul 15.30 diundur sampai tenggelamnya matahari untuk menghormati Duta Besar Tunisia yang sedang berpuasa. Betapa model diplomasi Jefferson teradap negara muslim dengan bekal pengetahuan Alquran dan agama Islam yang sangat mumpuni, tanpa kekerasan.

Sebagaimana dijelaskan Denise A. Spellberg, seorang guru besar sejarah dan kajian Arab di University of Texas, dalam sebuah buku berjudul Thomas Jefferson’s Qur’an: Islam and the Founders (2013; pernah diterjemahkan dan diterbitkan Penerbit Alvabet dengan judul Kontroversi al-Qur’an Thomas Jefferson, 2014), Jefferson adalah salah satu pendiri bangsa Amerika, yang ketika merumuskan bentuk negara tersebut, mengatakan bahwa suatu waktu nanti Amerika bakal dipimpin oleh seorang muslim.

Pendapat tersebut sangat kontroversial bagi sebuah negara yang baru berdiri di atas nilai pluralitas yang tidak berdasar pada agama. Bukan berarti seorang warga negara yang beragama Islam tidak boleh memimpin, tetapi agama apa yang ia anut tidak menjadi pertimbangan utama terpilihnya seseorang sebagai pemimpin.

Islam di Kalangan Kulit Putih Amerika Serikat
Benua Amerika memang ditemukan oleh Colombus, namun sepertinya lebih tepat untuk mengatakan bahwa Amerika Serikat adalah negara yang dihuni oleh orang-orang dari seluruh penjuru dunia, seperti yang dinarasikan dengan sangat baik oleh Isabel Allende dalam novelnya The House of the Spirits (1981). Benua yang terakhir kali ditemukan tersebut adalah suaka bagi orang-orang dari seluruh penjuru dunia untuk mencari kekayaan dari tambang-tambang emas yang baru ditemukan.

Baca juga:  Ramadan Kelabu dan Ibnu Muljam yang Tak Patut Ditiru

Bersamaan dengan itu, berbagai warga dunia berdatangan, termasuk Islam. Jane I. Smith (1999) mencatat, setidaknya terjadi lima kali gelombang besar kedatangan orang-orang Islam di Negara tersebut, dimulai dari eksodus Islam Spanyol setelah keruntuhan Dinasti Abbasiyah, berlanjut pada budak-budak Afrika yang dipekerjakan di perkebunan, hingga belakangan atas motif pendidikan.

Di samping itu, kalangan kulit putih yang berdatangan dari Eropa dan kelak menjadi pendiri negara tersebut juga memiliki kedekatan dengan Islam. Jefferson salah satunya. Namun telah ada orang-orang sebelum Jefferson, seperti pendeta Cotton Mather yang suntuk mengkaji tentang kekaisaran Ottoman dan beberapa kali mengutip ayat Alquran dalam berbagai kesempatan; Benjamin Franklin suatu kali berbicara pada abad 17 tentang perompak dari Afrika Utara, bahwa “Apakah pengikut Muhammad lebih buruk dari Iblis?” John Adams, sebagaimana kebanyakan orang Amerika awal yang berasal dari Jerman, hampir semuanya memiliki salinan Alquran.

Bagi kita yang hidup sekarang, yang melihat Amerika sebagai sebuah Negara adikuasa setelah Perang Dunia II, memiliki pandangan yang berbeda dengan orang-orang Amerika awal yang masih meraba-raba akan bagaimana sebuah negara yang baru dibangun tersebut.

Amerika lahir di masa Kekaisaran Ottoman, dan mulai menyusuri samudera ketika orang-orang Islam telah menguasai beberapa bagian laut, entah menjadi perompak atau pelaut yang dimiliki oleh negara. Sehingga, pengetahuan yang mendalam akan Islam adalah suatu kebutuhan demi tercapainya suatu negara yang kemungkinan besar juga akan didiami oleh orang Islam.

Terjemahan Alquran Thomas Jefferson
Thomas Jefferson mungkin orang Amerika kulit putih pertama yang betul-betul mendalami Islam dan Alquran. Hal ini terlihat bukan hanya pada bagaimana ia bisa berdiplomasi dengan negara-negara Islam, tetapi juga berpengaruh besar pada pembentukan undang-undang yang kelak dijadikan dasar negara hingga hari ini.

Baca juga:  Kiai Abdul Wahid Hasyim dan Penerima(an) Pancasila

Jefferson membeli terjemahan Alquran karya George Sale di sebuah toko buku di Duke of Gloucester Street ketika ia tengah menyelesaikan studi hukumnya di The College of Willam and Mary. Terjemahan ini menjadi buku bestseller di masa itu, dan merupakan terjemahan terbaik Alquran dalam bahasa Inggris ketika itu.

George Sale memberikan pengantar: “Lembaga-lembaga agama dan sipil negara-negara asing yang harus kita pelajari, salah satunya adalah Muhammad, seseorang yang menciptan hukum bagi orang-orang Arab, mendirikan suatu dinasti yang hanya kurang dari satu abad menyebar ke berbagai belahan dunia, melebihi apa yang telah dikerjakan kekaisaran Romawi.” George Sale juga seorang pengacara. Pengantar yang ia tulis dalam terjemahan tersebut menunjukkan enempatan Alquran sebagai pedoman hukum.

Sejak 1776 Jefferson sudah membayangkan orang muslim sebagai warga negara masa depan bagi negeri barunya, AS. Entah apakah hal itu karena ia membaca Alquran terjemahan George Sale. Yang pasti, ia merumuskan perundang-undangan mengenai toleransi beragama. Jefferson menyusun lebih dari 100 perundang-undangan untuk Negara Bagian Virgina antara tahun 1776-1779.

Yang paling dibanggakannya adalah nomor 82: Rancangan undang-undang untuk membangun kebebasan beragama yang disebut Statuta Virginia untuk Kebebasan Beragama. “Tidak ada penganut Pagan maupun Mohamedan (muslim) maupun Yahudi yang harus dikecualikan dari hak-hak sipil persemakmuran tersebab agamanya,” tulis Jefferson.

Lalu mungkinkah seorang muslim menjadi Presiden AS? “Setelah kita mengusir intoleransi agama dari negeri kita yang di bawahnya manusia begitu lama berdarah-darah dan menderita, kita belum mendapatkan sedikit pun (toleransi beragama) jika kita menyetujui intoleransi politik yang sama-sama despotis, jahat, dan mampu dengan penganiayaan yang pahit dan berdarah-darah,” kata Jefferson ketika dilantik sebagai presiden ketiga AS, 4 Maret 1801.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top