Ketika kapal-kapal menepi dan ditambatkan, peristiwa ekonomi hanyalah suatu permulaan dari pertukaraan yang lebih luas: kebudayaan.
Di antara barang-barang yang diturunkan dan diangkut ke geladak, orang-orang dari seberang juga menurunkan dan mengangkut dimensi-dimensi kebudayaan.
Maka kota-kota sibuk yang diagungkan dalam sejarah seringkali bangkit dan dikenal lantaran peristiwa ekonomi ini. Entah sebagai lumbung hasil bumi (baik yang terbarukan maupun tidak), atau menawarkan pelabuhan tempat persinggahan para pelaut yang kesepian.
Pada suatu waktu, iringan kapal dari utara menepi di sebuah pulau kecil Unguja. Mereka adalah orang-orang Persia pencari suaka yang terpaksa menaiki kapal dan meninggalkan dataran indah mereka dengan beragam alasan. Konflik agama, kemiskinan dan keterbuangan politik.
Kapal itu mengangkut, salah satunya, sebuah keluarga penganut Zoroaster, yang kelak melahirkan seorang putra bernama Farrokh Bulsara pada tahun 1946. Kita mungkin mengenalnya sebagai Freddie Mercury. Namanya berganti setelah seluruh keluarga mereka meninggalkan Kota Tua di Zanzibar dan mencari penghidupan lain di Inggris. Mereka tidak pernah lagi kembali ke Zanzibar, meninggalkan sebuah kuil Zoroaster yang terbengkalai dan dilupakan.
Ketika Freddie mulai dikenal sebagai bintang rock, kota ini kian ramai dikunjungi para pelancong untuk menapaki kembali kehidupan awalnya. Hingga tahun 2018, setelah film biopic Bohemian Rapshody (2018) sedikti menyitir kehidupan muda Freddie di kota ini, beberapa agen pariwisata secara khusus membuat paket tur untuk mengunjungi semua tempat yang pernah ditapaki oleh Freddie, termasuk kuil Zoroaster tempat ia dan keluarganya beribadah sebelum pindah dan menetap di Inggris. Meski Freddie tidak pernah lagi menginjakkan kaki di Zanzibar sampai wafat, kota ini tetap memiliki peran penting pembentukan musikalitasnya. Para tahun 2018, paket tur ini berkisar Rp. 600 ribu.
Namun, di luar perbincangan tentang Freddie Mercury, Zanzibar memiliki peran yang begitu penting dalam perjalanan sejarah. Zanzibar bisa jadi salah satu kepulauan yang diberkati. Ia dianugerahi hasil bumi yang dibutuhkan seluruh dapur di dunia. Dan pelabuhannya, sepanjang sejarah, telah melenakan hampir seluruh kapal yang berlabuh dari penjuru Afrika, India, Arab, Latin, Eropa, bahkan Indonesia.
Zanzibar adalah sebuah kepulauan di sebelah timur pesisir Afrika, terdiri dari dua pulau utama, Unguja dan Pemba. Secara administratif Zanzibar merupakan wilayah semi otonom dari Negara Republik Persatuan Tanzania. Sebagai wilayah semi otonom, Zanzibar memiliki hak istimewa untuk menjalankan pemerintahannya sendiri. Jika Tanzania secara geografis menyatu dengan daratan benua Afrika, ibukota dan pusat pemerintahan Zanzibar berdiri di atas Pulau Unguja yang jaraknya sekitar 35 kilometer dari lepas pantai Afrika Timur.
Awalnya Zanzibar adalah sebuah wilayah yang independen. Sedangkan daratan utama Tanzania kala itu juga masih bernama Tanganyika. Setelah keduanya bergabung, maka beralih nama menjadi Tanzania, yang merupakan singkatan dari Tanganyika dan Zanzibar. Secara sejarah, negara ini punya dua ibu kota. Satu ibu kota pemerintahan di Dodoma, dan ibu kota perdagangan di Dar Es Salam.
Pada kenyataannya, Dar Es Salam jauh lebih sibuk baik dalam hal perekonomian maupun pemerintahan. Karena kebanyakan kantor-kantor pejabat kedutaan besar negara-negara asing terletak di sini. Itulah mengapa warna bendera Tanzania terdiri dari warna hijau dan biru yang digabung dengan sebuah garis diagonal warna hitam. Hijau melambangkan daratan Tanganyika dan biru melambangkan Zanzibar yang dikelilingi laut.
Pariwisata menjadi sektor andalan yang dijual Zanzibar kepada dunia. Negara beriklim tropis ini menyuguhkan keindahan pantai pasir putih dan pemandangan bawah laut. Di sektor pertanian, komoditas andalannya adalah cengkih, kapulaga, kayu manis, kunyit, oregano dan rempah-rempah lainnya. Maka tak heran jika Zanzibar juga punya julukan pulau rempah, mengikuti jejak Maluku.
Untuk pergi kesana, harus mencapa Dar Es Salaam terlebih dahulu. Dari situ, menuju pelabuhan yang akan membawa penumpang ke Zanzibar dengan feri. Ongkosnya sekitar 25 ribu Tanzanian shillings (Tsh) (kalau dikonversi sekitar 17 USD) sekali pergi. Kalau pas laut tenang, 1,5 sampai 2 jam pun sampai.
Zanzibar diberkati oleh letak geografisnya. Angin yang berhembus menempatkan pulau itu para rute perdagangan Samudra Hindia yang membuatnya sibuk didatangi para pendatang dan penjajah dari Arab, Asia Selatan, dan dataran Afrika. Pertama-tama adalah Afrika, lalu secara berkala kapal-kapal Persia mendarat di Zanzibar sejak abad ke-10. Orang-orang Persia lantas melebur ke dalam penduduk lokal. Persilangan Persia dengan penduduk asli Zanzibar kemudian melahirkan dua suku besar, Hadimu dan Tumbatu. Mereka adalah penganut Islam mayoritas dan dalam beberapa hal tetap menjalankan budaya Persia. (Bahkan hingga hari ini, orang-orang di Zanzibar masih sering menyebut dirinya “Shirazi”, untuk menautkannya dengan Persia kuno, Shiraz.)
Lain halnya bagi orang Arab. Mereka menancapkan pengaruh lebih jauh, dengan menjalin kerjasama dagang bersama arsistokrat dan pemilik tanah di sepanjang pulau Zanzibar. Orang-orang ini yang kemudian memegang jalur dagang sepanjang pulau. Bersamaan dengan kedatangan orang-orang Arab, Portugis juga pernah sampai ke pulau ini pada abad ke-16 untuk mencari cengkeh dan pala. Namun ketika kekuatan mereka melemah pada abad ke-17, mereka banyak meninggalkan pulau.
Orang-orang Arab Oman, yang memukul mundur Portugis dari Muscat pada tahun 1650, mulai menyisir dan mengambil kendali keseluruhan wilayah kuasa Portugis, termasuk Zanzibar. Setelah serangkaian peperangan di pantai Afrika yang mengakibatkan kerugian besar kepada kesultanan Oman, sultan yang berkuasa ketika itu, Sa’id bin Sultan, memindahkan ibukota kerajaan dari Muscat ke Zanzibar pada tahun 1832.
Zanzibar berkembang pesat terutama pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, lantaran permintaan budak perkebunan dari Amerika Utara dan Selatan yang juga meningkat. Dan Zanzibar adalah jalur utama perbudakan (dan juga gading) menuju pedalaman Afrika.
Pada 1861 Zanzibar memisahkan diri dari Oman dan membentuk kesultanan sendiri. Di bawah sultan Barghash (memerintah tahun 1870-1888), mereka menguasai seluruh wilayah Afrika yang pernah dikuasai Oman. Namun, pada saat yang sama, Inggris Raya dan Jerman sedang membagi wilayah Zanzibar di daratan Afrika untuk mengamankan kontrol ekonomi.
Inggris menjadikan Zanzibar sebagai wilayah protektorat pada 1890, dan berlangsung selama lebih dari 70 tahun; otoritas kesultanan berkurang dan perdagangan budak dibatasi. Hampir semua aristocrat Zanzibar memilih bersekutu dengan Inggris, kecuali Khalid bin Barghash, yang melanjutkan kepemimpinan pamannya, Hamad bin Thuwain.
Perang Anglo-Zanzibar akhirnya pecah pada 27 Agustus setelah beberapa waktu Inggris mencoba menggulingkan Khalid dengan memilihkan calon sultan sendiri. Perang tersebut hanya berlangsung kurang dari satu jam dan menjadi perang terpendek dalam sejarah. Khalid kalah dan kesultanan diambil alih oleh Hamud bin Mohammed yang didukung Inggris.
Zanzibar telah mencapai puncak kejayaannya bahkan sebelum Inggris Raya mengambil alih kesultanan. Dan sebuah keberkahan lain mengiringi kota itu setelah sultan Barghash dibuang oleh pemerintah Inggris. Selama masa pembuangannya, dia banyak bersentuhan dan mempelajari budaya India, Arab dan Eropa.
Pada tahun 1869, ketika saudaranya meninggal, dia dipulangkan dan ditunjuk sebagai penguasa Zanzibar. Sultan Barghash kemudian menghabiskan waktunya untuk membangun sebuah kota modern bernama Stone Town (tempat Freddie Mercury lahir dan tumbuh semasa kecil). Kota ini telah medahulu teknologi, telah dipenuhi dengan lampu jalan, irigasi, jalanan yang lebar, dan rumah sakit. Dia juga membangun enam istana.
Kemewahan dan ketenangan hidup mengelilingi kerajaan semasa pemerintahan sultan Barghash. Dan pada suatu waktu, setelah ia mengunjungi Mesir, sultan Barghash memberangkatkan beberapa seniman untuk mempelajari musik takht dan qanun. Karena kecintaannya pada musik, setiap hari dia akan mengajak orang-orang istana untuk mendengarkan lantunan-lantunan indah padang pasir.
Mohamed Ibrahim, sang musisi yang belajar langsung ke Mesir, lantas pulang dan mendirikan sebuah orkestra. Mohamed Ibrahim, dengan intusis musikalnya, lalu meracik musik mesir dengan gabungan dari berbagai pengalaman mereka bersentuhan dengan beragam kebudayaan: Arab, Afrika, India, Latin, Indonesia, dan Eropa. Inilah kelahiran sebuah musik di dunia, dan kita mengenalnya kini dengan taarab.
Musik ini dimainkan puluhan musisi yang menggabungkan alat musik Barat dan Timur, termasuk akordeon, biola, qanun (mirip dengan sitar), nay (seruling Arab), tablah, double bass, biola, oud, dan instrumen lainnya.
Bagi telinga Indonesia, taarab memiliki keserupaan dengan jenis musik yang dimainkan oleh musisi Hadrami pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Dan tahun kebangkitannya pun mirip. Sebut misalnya Syech Albar dan orkestra keliling Komedi Stamboel. Sama-sama memperdengarkan kemerduan Timur Tengah, disertai instrumen Barat, tetapi sama-sama menggunakan bahasa masing-masing. Di Nusantara, orang-orang Hadrami menggunakan bahasa Indonesia, sementara pemusik di Zanzibar menggunakan bahasa Swahili.
Namun dalam perkembangannya, musik Nusantara ditandai dengan corak mendayu ala Melayu. Kelak, jenis ini pada satu sisi melahirkan dangdut dan kasidah. Sementara taarab, yang masih mempertahankan kekhasannya hingga hari ini, tetap menggabungkannya dengan notasi yang ramai dan datar Afrika.
Kita mungkin memiliki kesamaan dengan Zanzibar, termasuk letak geografis, agama, sejarah rempah, bahkan musik. Kita memiliki The Tielman Brothers yang melahirkan musik ala the Beatles, dan Zanzibar memiliki seorang Freddie Mercury. Namun, di samping itu, tentu sejarah bisa menceritakan sesuatu yang jauh lebih penting dan panjang.