Jika Herakleitos, Hegel, dan Mircea Eliade benar, bahwa gerak sejarah bersifat silklikal (tidak ada yang benar-benar baru di bawah kolong langit, segala sesuatu mengalami pengulangan), mari kita beranda-andai: kehidupan keislaman terpental jauh sebelum al-Ghazali. Perdebatan dan perselisihan justru kembali kepada perkara halal dan haram, negara Islam atau bukan, cadar atau jilbab, moderat atau radikal. Berulang-ulang. Sejak Perang Paderi, Masyumi, hingga hari ini. Semua perdebatan yang sejatinya tidak penting lagi jika kita masih mewarisi Imam al-Ghazali.
Bukan sesuatu yang baru. Sejak masa Nabi Muhammad orang-orang telah berselisih paham. Tetapi perselisihan tersebut bisa langsung teratasi dengan mendatangi Nabi. Pada masa khalifah empat, hal itu masih bisa diselesaikan dengan cepat, sebab orang-orang masih berasumsi bahwa hanya satu pendapat yang benar, dan figur-figur sahabat masih menjadi justifikasi yang kuat.
Baru sekitar dua abad setelah Nabi Muhammad wafat, dengan munculnya mazhab, selisih pendapat menjadi masalah yang serius. Setiap mazhab memiliki kebenarannya masing-masing. Mereka mengeluarkan fatwa menggunakan ayat Alquran dan hadis yang sama, namun hasilnya berbeda. Dan para ulama mulai menyadari, sekarang hingga seterusnya, agama Islam akan terpecah dan memunculkan perdebatan.
Setidaknya ada dua faktor utama mengapa perselisihan akan terus mewarnai sejarah Islam. Pertama, umat Muslim selalu dibayang-bayangi ide persatuan, baik secara politik dan praktik keagamaan. Meski sejatinya Islam bersatu hanya kurang dari satu abad, tetapi kerinduan dan cita-cita utopis untuk kembali ke masa Nabi tetap tidak pernah hilang, bahkan hingga hari ini.
Di sisi lain, Islam tampaknya ditakdirkan menjadi agama yang penuh perdebatan. Sejak wafatnya Nabi Muhammad, hukum final dan pasti betul-betul telah tertutup. Sementara praktik sosial dan politik terus berubah dan berkembang. Permasalahan-permasalahan baru bermunculan. Umat Islam hanya bisa menggunakan akalnya yang terbatas untuk menafsirkan Alquran dan riwayat-riwayat para sahabat yang berserakan. Perdebatan tidak mungkin lagi bisa dihindari. Setiap ulama mulai berandai-andai apa yang akan dikatakan Nabi atau para sahabat perihal masalah yang belum pernah ada di masa mereka.
Di tengah perdebatan yang tidak kunjung tersatukan itulah, pada abad ke-13 dan ke-14, ilmu kalam dan tasawuf muncul ke permukaan sebagai penengah bagi kemandegan fikih dan politik. Kita bisa menyebut al-Ghazali sebagai tokoh yang mulai memasukkan logika ke dalam bangunan perdebatan Islam dan usul fikih. Sementara Ibnu Arabi berjasa mengembalikan semua perbedatan itu dalam satu tema sentral, Wahdat Al-Wujud.
Tasawuf bisa jadi merupakan jalan yang lebih radikal. Lewat Wahdat Al-Wujud, Ibnu Arabi berpendapat bahwa semua makhluk memanifestasikan satu dari 99 Nama Tuhan. Manusia bisa mencapai Tuhan lewat 99 cara. Oleh karena itu—kecuali segelintir orang suci dan para nabi yang sanggup memadukan beberapa Nama Tuhan—manusia hanya bisa melihat Tuhan dari perspektif yang terbatas sesuai dengan Nama yang termanifestasi dalam dirinya.
Ide Ibnu Arabi tersemai indah dalam laku tarekat yang mungkin jumlahnya ratusan. Berbeda dengan mazhab fikih, “mazhab-mazhab” dalam tarekat tidak pernah menyalahkan satu sama lain. Sebab para sufi mengakui keabsahan berbagai jalan spiritual. Itu tergantung kepada karakteristik masing-masing orang.
Al-Ghazali, dalam pemahaman Sir Muhammad Iqbal, melakukan penyadaran bahwa akal manusia sangat terbatas dalam menerjemahkan titah Tuhan. Teks-teks keagamaan sudah final dan baku, tetapi akal kita berbeda-beda dalam mendekatinya. Al-Ghazali menyasar pengujian kembali dasar akal dalam menafsirkan teks-teks keagamaan. Beliau menghadirkan ilmu kalam untuk membangun semua praktik keagamaan berdasarkan logika yang benar.
Tidak seorang pun ulama meragukan adanya hukum agama yang benar dan tunggal, tetapi pengetahuan manusia tentangnya terbatas. Begitu pula, berkat al-Ghazali, kita mulai menyadari bahwa fikih adalah jaringan kesimpulan yang berasal dari pemahaman mendalam tentang bahasa, logika, teks keagamaan, dan kesabaran para ulama terdahulu menimbang dan menyatukan ribuan bukti. Ilmu kalam mengajari umat Islam untuk menajamkan pikiran. Di sisi lain juga mengajarkan kerendahan hati ketika berusaha menerka keinginan Tuhan.
Seiring kematangan masyarakat Islam dalam memahami filsafat dan tradisi berpikir yang diterjemahkan dari berbagai bahasa, ilmu kalam menjadi semakin sistematis dan canggih. Perdebatannya di tahun-tahun 1300-an memasuki metodologi agama, bukan lagi pada agama itu sendiri. Pembelajaran meluas bukan lagi pada teks pokok, Alquran dan hadis, tetapi juga tata bahasa Arab, retorika, dan usul fikih.
Kekuatan al-Ghazali dan ulama kalam lainnya kini kita warisi dalam tradisi keilmuan Islam yang sangat ketat. Bahwa untuk menjadi seorang otoritatif dalam membicarakan agama, haruslah dengan bangunan akal yang kuat, penguasaan segala tata bahasa Arab dan usul fikih. Hal ini menjalar ke seluruh madrasah Islam di dunia, mulai dari Dars-I Nizami di India hingga pondok-pondok salaf di Indonesia.
Adanya al-Ghazali dan Ibnu Arabi tidak menutup segala perdebatan. Kita masih mewarisi perdebatan yang tak kunjung selesai tentang boleh dan tidaknya musik digunakan dalam peribadatan. Atau tentang hukum gambar dan patung. Sampai sekarang orang-orang teguh pada pendapatnya masing-masing. Namun lewat peningkatan pengetahuan dan akhlak, justru muncul genre musik dan teknik gambar yang mencoba menengahinya.
Karena larangan menggambar makhluk yang bernyawa, seni Islam di Abad Pertengahan mengembangkan teknik miniatur dan geometris. Seni miniatur lantas digunakan sebagai ilustrasi untuk mensyarahi kitab-kitab induk. Seni geometris digunakan dalam arsitektur masjid, kerajaan, bangunan publik maupun privat. Kedunya justru menjadi seni khas yang berbeda dengan seni dari peradaban dan belahan dunia lain. Di Jawa, Wali Songo mengembangkan karakter wayang yang mirip tetapi bukan manusia. (RM)