Setiap orang mampu berbahasa daerah. Namun berbahasa belum pasti bisa menulis. Beberapa suku di Nusantara dianugerahi aksara yang menjadi peninggalan paling penting, bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi menjadi ekstraksi dari tradisi dan cara berpikir masyarakat pemakainya.
Namun begitu, kita akan sulit mencari serta menyebutkan beberapa buku dari daerah masing-masing yang masih memakai bahasa serta aksara daerah. Kurangnya pemakaian bahasa dan aksara daerah dalam kegiatan-kegiatan intelektual serta resmi, bisa jadi salah satu penyebabnya.
Tradisi tersebut, secara turun-temurun tidaklah mati. Tapi berkembang di luar jalur-jalur resmi. Salah satunya, dan yang paling utama, adalah kehidupan di pondok pesantren. Beberapa kitab bisa kita sebutkan, semacam tafsir Al-Ibriz yang memakai Arab Pegon.
Masyarakat Sulawesi, terutama Bugis, yang dianugerahi dengan aksara Lontarak—salah satu dari tujuh aksara di Nusantara, berutang budi kepada Anre Gurutta Haji Daud Ismail. Beliau, sesuai sejarah penulisan aksara Lontara, adalah orang terakhir yang menulis dalam bahasa dan aksara Bugis.
Sebuah master piece dari puncak kepenulisan beliau, Tafsir al-Munir, yang hingga kini masih bisa ditemukan di masjid-masjid daerah Bugis, juga merupakan kitab tafsir terlengkap yang pernah ditulis oleh ulama di Sulawesi.
Sebelumnya memang ada, dan juga ditulis dalam bahasa Bugis, seperti tafsir surat al-Fatihah karya Anre Gurutta Haji Abdullah Pabbajah, serta tafsir Anre Gurutta Haji Ambo Dalle.
Tafsir al-Munir, diperhitungkan bukan hanya karena ia terlengkap, tetapi lahir dari ketekunan tiada tara AGH Daud Ismail yang menuliskannya dengan tulis tangan, sebanyak 30 jilid. Bagi kita yang telah terbiasa dengan mesin tik atau komputer, tentu sudah sangat sulit membayangkan seseorang yang menulis setiap malam, di samping harus membaca berbagai literatur untuk menguatkan bobot penafsirannya.
Tapi ketekunan ini dijalankan oleh Gurutta. Tak ada informasi kapan dimulainya penulisan kitab tafsir ini. Yang jelas, mulai dicetak ada tahun 1981 dan selesai pada 1992 oleh penerbit CV Bintang Selatan, Ujung Pandang. Terdiri dari 30 jilid, tiap jilid memuat satu juz. Belakangan, tafsir ini diterbitkan ulang, yang setiap jilidnya terdiri dari tiga juz, sehingga 30 juz Alquran dimuat dalam 10 jilid.
AGH Daud Ismail bukannya tidak mampu menulis dalam aksara Latin maupun Arab. Beberapa bukunya seperti at-Ta’rif bi al-‘Alim al-Allamat as-Syaikh al-Haj Muhammad al-Bugisi, terbit dalam bahasa Arab. Begitu juga buku Pengetahuan Dasar Islam yang terdiri dari tiga jilid berbahasa Indonesia. Namun memang kebanyakan bukunya ditulis dalam bahasa Bugis.
Karakteristik utama dari karya-karya beliau, begitu juga dengan Tafsir al-Munir, adalah kelugasan dan kesederhanaan.
Mengingat, beliau adalah seorang Qadhi sekaligus pengasuh Pondok Pesantren As’adiyah Sengkang, warisan gurunya Anregurutta Sade, serta mendirikan pesantren sendiri di daerah Soppeng, Yayasan Perguruan Islam Beowe (YASRIB). Terakhir, beliau sempat menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia cabang Soppeng.
Ada dua pesan utama yang dihendaki oleg Gurutta ketika menulis tafsir ini. Pertama, hendaknya orang-orang Bugis, yang secara intelektual banyak yang sekadar mengamalkan agama dan belum tahu tentang dalilnya, bisa mengerti tentang tafsir.
Olehnya, beliau harus menuliskan tafsir yang selugas dan sesedarhana mungkin. Karenanya, beliau berpesan, kitab tafsir itu sebaiknya ditaruh di masjid-masjid, agar setiap orang bisa membacanya kapan saja.
Hingga kini, meski sang mufassir telah mengembuskan nafas terakhir pada 2006, namun jejak tafsirnya, di samping pesantren yang telah dibangun, masih terus menjadi sentral dalam pengajaran keislaman di daerah masyarakat yang berbahasa Bugis.
Dan karena beliau pula, hingga hari ini, kita masih bisa menyaksikan setiap santri dari Bugis masih bisa menulis dengan Aksara Lontara, sebuah aksara yang semoga tetap bisa terjaga di tengah arus globalisasi yang menghendaki keseragaman. (atk)