Hari-hari ini ramai orang menyoal tentang ibadah haji yang dihentikan sementara tahun ini. Menarik, mendengar atau membaca pendapat banyak orang yang tentu saja tidak bisa seragam.
Dalam Tadzkirah Al-Awliya’ disebutkan satu kisah tentang haji. Kitab yang dikarang oleh Fariduddin Al-Athar Al-Naisaburi dalam bahasa Persia ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab oleh Muhammad Al-Ashiliy Al-Washtaniy Al-Syafi’i.
Dalam kitab itu disebutkan satu kisah menarik, tentang diterimanya pahala ibadah haji semua orang semusim itu oleh Allah SWT, justru karena ada seseorang yang membatalkan ibadah hajinya.
Suatu saat Abdullah bin Mubarok yang bernama lengkap Abu ‘Abdirrahman Abdullah ibn al Mubarak al Hanzhali al Marwazi, seorang ulama besar, sedang naik haji dan tertidur di Masjidil Haram. Dalam mimpinya, beliau bertemu dengan dua orang malaikat yang saling bercakap.
Seorang malaikat bertanya pada lainnya, “Berapa banyak orang berhaji tahun ini?” “600 ribu,” jawab yang lain. “Berapa diantara mereka yang hajinya diterima?,” lanjut si malaikat pertama. “Tidak ada yang diterima,” jawab malaikat kedua.
“Ketika aku mendengarkan percakapan itu, jiwaku benar-benar terguncang dan hatiku sakit terasa sangat pedih,” kata Abdullah bin Al-Mubarok. “Semua manusia ini berkumpul, bersusah payah, mereka datang dari tempat yang sangat jauh dan membelah gurun. Sedangkan ibadah mereka sia-sia belaka di hadapan Allah,” rutuk Abdullah bin Mubarok.
Seorang malaikat kemudian berkata, “Ada seorang lelaki tukang sol sepatu di Damsyiq yang bernama Ali bin Al-Muwaffaq. Dia tidak hadir haji, tetapi Allah SWT menulis baginya ganjaran haji yang sempurna. Allah juga menerima pahala haji semua manusia, berkat dia.”
Abdullah bin Mubarak yang terbangun dari tidurnya tiba-tiba sangat ingin berangkat ke Damsyiq dan merasa tak ada yang lebih diingini selain bertemu dengan orang itu (Ali bin Al-Muwaffaq).
Ibnu Mubarok sangat ingin mengetahui amal-amal yang dilakukannya sehingga ia mencapai derajat yang dicatatkan baginya pahala haji. Bahkan menjadi sebab diterimanya pahala haji bagi banyak kaum muslim tahun tersebut.
Singkatnya, sampailah Ibnu Mubarok di Damsyiq, ia sampai di depan pintu rumah tanpa petunjuk sama sekali dan ia mengetuk pintu itu. Maka muncullah seseorang.
Ibnu Mubarok menanyakan tentang namanya, orang itu menjawab, “Namaku Ali bin Al-Muwaffaq.” “Apa pekerjaanmu?,” sergah Ibnu Mubarok. “Aku ini tukang sol sepatu, pekerjaanku adalah memperbaiki sepatu,” jawab pria itu.
Ibnu Mubarok langsung ceria karena ia sudah bertemu orang yang membuatnya penasaran. “Aku ingin berbincang denganmu, di sana ada masjid, mari berbincang di sana. Aku akan menceritakan apa yang kulihat di mimpiku. Aku adalah Abdullah bin Mubarok.”
Mendengar nama masyhur itu, sang tuan rumah terkaget hingga pingsan. Itu adalah nama yang ditabalkan sebagai ulama agung. Maka ketika ia siuman, Abdullah bin Mubarok bertanya tentang hal yang disebut di mimpinya.
“Sesungguhnya selama tiga puluh tahun aku menghendaki mendatangi Ka’bah, untuk berhaji. Aku sangat terobsesi dengan itu,” si pria memulai ceritanya.
“Maka, aku mengumpulkan sedikit demi sedikit dari upahku selama menjadi tukang sol. Hingga tabunganku mencapai 350 dirham. Aku ingin berhaji tahun ini. Namun masih merasa kurang, hingga bermaksud menggenapkannya menjadi 400 dinar.
Aku berkata pada diriku sendiri, ‘Sabarlah, barangkali tahun ini aku bisa mendapatkan 50 dirham, hingga genaplah 400 dirham agar bisa menunaikan haji'”.
Pria itu menghela nafas dan melanjutkan ceritanya, “Sebenarnya istriku hamil. Sampai suatu hari ia mencium aroma masakan dari tetangga seberang. Ia mengidamkan masakan itu, ia memintaku agar mencarikan makanan itu.
Maka aku mendatangi pintu rumah itu, bermaksud mendapatkan sedikit makanan lezat yang sedang mereka masak. Pemilik rumah itu adalah seorang tetangga perempuan yang menjanda.”
Tiba-tiba mata lelaki itu berkaca-kaca, ia menceritakan perkataan perempuan janda itu, “Perempuan itu berkata padaku sambil menangis, ‘Saudaraku, aku mempunyai anak-anak yatim yang masih kecil. Mereka seminggu ini belum makan.
Ketika aku masuk ke sebuah reruntuhan bangunan, aku menemukan bangkai keledai. Aku mengambil sebagian dagingnya. Itulah yang ada dalam periukku sekarang. Itu halal bagi kami, tapi haram bagi kalian'”.
Si lelaki tetap merenung mengingat kejadian itu, “Sejak mendengar itu, hatiku terguncang perih, aku sangat iba kepada mereka. Aku pun pulang dan mengambil tabungan hajiku sejumlah 350 dirham.
Lantas kubawa ke perempuan janda itu dan kuberikan padanya untuk nafkah dirinya dan anak-anaknya. Aku merasa mencukupkan derma itu sebagai pengharapan atas ridho Allah SWT.”
Lelaki tukang sol sepatu itu kembali menarik nafas dan berkata, “Hajiku cukup di depan rumahku, semoga Allah mencukupkan derma ini untuk menunaikan haji bagiku.”
Ibnu Mubarok yang mendengar itu kemudian berkata, “Engkau benar, benarlah malaikat dalam mimpiku. Allah Maha Adil dalam hukum dan keputusan. Allah Maha Mengetahui tentang hakikat segala sesuatu.”
Cerita dahsyat tentang Ali bin Al-Muwaffaq yang menghajat haji namun memilih berderma pada tetangganya ini juga disebut dalam kitab Irsyadul ‘Ibad ilaa Syabilir Rosyad karya Syaikh Zainuddin Al-Malibari.
Dalam kitab Tadzkirah Al-Awliya’ pun diceritakan, bahwa Abdullah bin Al-Mubarok kerap membagi tahun menjadi tiga.
Satu tahun akan ia gunakan untuk persiapan dan menunaikan haji, satu tahun untuk bertani, dan satu tahun untuk berdagang.
Pada saat berdagang itu, ia akan membagi-bagi segenap keuntungan untuk para yatim, janda, dan mereka yang membutuhkan.
Allahu a’lam. (SI)